23
Si Tengah melihat teman kuliahnya sedang jalan dengan seorang laki-laki bertubuh tinggi, agak bungkuk, meski. Dia tak kenal laki-laki itu. Mungkin pacarnya. Mungkin sepupunya. Mungkin juga teman dekatnya yang baru datang dari luar kota. Mereka kelihatan asyik sekali bercanda. Si Tengah menunggu angkutan umum di dekat mereka tapi dia tak mau menyapa mereka. Tak mau mengganggu.
Dia pun kembali ke rumah kami.
"Lumayan juga hari ini," katanya kepada PRT di tetangga sebelah. "Cerah dan tidak ada kecelakaan lalu lintas meski ramai sekali di jalanan."
Keesokan harinya...Kami masih mengingat-ingat wanita itu. Dia punya senyuman paling manis dikombinasikan dengan bibir yang penuh, lesung pipi? Dagunya yang kenyal, mirip sarang madu. Bagaimana dia berjalan dari sana, tak terganggu oleh orang-orang yang lewat dan sibuk dengan hal yang remeh temeh dan omong kosong. Bagaimana dia tersenyum dan seakan mengatakan bahwa: aku mengenalmu. Dan kami suka mengatakan: ah, masa? Tapi kami tak mungkin melupakannya. "Bahkan sampai mati pun kami akan mengingatmu."
Kemudian hari, jauh setelah hari ini, kira-kira dua ratusan hari, baru kami tahu namanya Tasha. Gadis berdarah Arab-Castilia. Dia bekerja sebagai stylist di perusahaan yang dibangunnya dengan 3 saudaranya dengan uang tabungan sendiri. Memang dia baru berhubungan dengan klien yang baru terjun ke dunia keartisan. Kami merasa senang sekali bisa bertemu dengan saudaranya yang 3 itu dan diam-diam dalam hati berharap, "ini sebagai pendekatan"
"Kelewat pede lu."
"Mungkin saja, siapa tahu, mereka menerima aku di rumahnya dan dengan itu kami bisa kenal lebih dekat dengan Tasha."
Tapi kedua saudara yang lain tak kalah cantiknya. Sayang, yang seorang sudah bertunangan dan yang lainnya sedang didekati oleh 3 orang cowok. "Wah, kau tidak masuk hitungan, kawan," cemooh Si Sulung.
"Dan kau akan patah hati lagi," timpal Si Tengah.
Si Bungsu hanya tersenyum, tapi mengejek juga.
Kebahagian bertemu dengan 3 wanita cantik itu tidak menular sampai ke dalam rumah kami, sama halnya dengan pesimistis 3 saudara kami itu. Si Bungsu ternyata menyembunyikan sakit perutnya. Si Tengah marah-marah mirip ibu-ibu gila. (Tentu saja tidak mirip Ibu). Dan Si Sulung menonton sinetron melulu.
"TV tidak bermartabat seperti itu ditonton..."
"Terserah...hiburan, goblok."
"Hiburan untuk orang yang malas berpikir. Nrimo lu."
Sejam berlalu dengan apiknya dalam kemarahan Si Bungsu karena Ibu tak ada di sisinya dan dia mesti melewati sakit perut kurang ajar itu sendirian di kamar tidurnya. Dia hanya bisa mengeram, "Ibu...Ibu" panjang-panjang.
Si Sulung tiba-tiba marah-marah. Mungkin terkontaminasi sinetron buruk? Buku perpustakaannya hilang.
"Periksa baik-baik dulu," tanggap Si Tengah.
"Kalian memang suka iseng. Bangsat semua ini...."
"He...kau jangan sembarangan...kebiasaanmu taruh barang sembarangan dan sekarang tanggung akibatnya...jangan menuduh orang lain dunk."
"Setan lu."
"Kuntilanak lu."
Mereka disela dering telepon.
Telepon itu datang dari seorang cewek yang tak kami kenal. Dia ingin bicara dengan Si Sulung. Katanya penting, ga penting, tapi penting. Mereka berdua berbicara lama, saling mengumpat dengan canda, dan berjanji akan bertemu. Ternyata buku perpustakaan itu dipinjam sama cewek ini.
"Yang suka minum softdrink di kantin itu ya?"
"Yang sesekali coba merokok, kalau lagi sendiri."
"Sama gilanya seperti kakakmu itu."
Kami dan Si Tengah mencela Si Sulung ketika dia pergi mandi.
Malamnya, seperti biasa, kami duduk-duduk di tempat jemuran pakaian. Kala begini, hati sudah tentram, yang ada hanyalah perasaan senasib sepenanggungan, dan saling melindungi antara saudara. Kami membuka olok-olok itu. "Jadi cewek itu bilang dia lupa taruh dimana?"
"Nanti di kampus, teman-teman angkatanmu, mengejekmu habis-habisan."
"Gw tonjok mereka kalau berani."
"Kau itu lebih tua tapi kayak anak SMP. Culun banget. Masa bisa terpesona dengan kemolekan tubuh cewek itu."
Dan dia mengaku kalau dia tertipu. Kenapa? Dia tak mau menjawab. Kami bertiga tertawa mengejeknya sejadi-jadinya. Keesokan harinya kami berangkat ke kampus, dan dari jauh sudah mencium bau olok-olokan teman seangkatan Si Sulung. Tapi kami pura-pura tidak pedulu, tidak tahu. kasihan dia nanti. Sampai pulang kuliah, mungkin dia masih diejek teman-temannya, sehingga kekesalannya terbawa sampai ke rumah. Lucunya, Si Sulung malah disiram secara tak sengaja oleh Si Bungsu yang kesal karena mencuci piring bertumpuk-tumpuk dan sisa makanannya tidak mau hilang. Entah dari jaman kapan piring itu tidak kena air.
Sepersekian detik, semua orang diam. Akhirnya kami bertiga bahu membahu mengepel lantai dan menjemur benda-benda yang kena siram. Untung di luar cerah, sedikit terik. Dan untung juga, laptop baru tidak kena air. Meski baru laptop itu ngadat mulu.
"Kesingnya jorok."
"Kasihan sekali kalau sampai rusak."
Padahal Si Sulung paling sayang benda itu. Di kasih sama dosen pujaannya yang kurus botak itu. Dosen yang Si Sulung selalu mengerjakan tugas papernya dengan serius, dan mendapatkan hasil ujian A.
"Tapi banggalah sesekali pada kakakmu itu," kata Si Tengah bijak.
"Puih."