13
Kami sama sekali tidak religius. Tapi kami akhirnya pergi ke Gereja juga. Gereja yang telah kami pilih untuk mengikuti Ekaristi Kudus. Maka kami membuat skenario menarik: tidur sampai pukul 6 sore, mandi, brdandan, dan pergi ke Gereja. tak banyak orang yang tahu bahwa kami sebenarnya mencari sosok Roro juga di situ. Mungkin saja ada Roro.
"Yang jadi masalah, kita tidak tahu Roro beragama apa."
"Tidak menjadi aral."
Mungkin juga tidak ada Roro.
Kami datang, diam, pulang. Tak cukup berhasil sebab kami harus melewati berikade orang-orang yang menawarkan brosur dan aksesoris, oleh orang yang kami kenal entah kapan itu. Kami juga menangkap sekelebatan teman-teman dari Kampus. Kami terkesiap beberapa saat kemudian, ketika mendengar sang Pastor mengucapkan, "terima kasih untuk Roro." Oh, wow, dimana dia? Di saat lagu penutup yang menyentak-nyentak sedang dimainkan, mata kami yang hitam melihat seorang perempuan yang sangat menarik hati. Rambutnya hitam panjang. Mata coklat. Hidung mungil. Melihat ke dalam matanya, meneduhkan sekali. Sekonyong-konyongnya kami tak risaukan lagi apakah akan bersua dengan Roro atau tidak sama sekali.
"Kulitnya sawo matang."
"Bersih."
Dia berpaling, kemudian berbicara dengan 3-4 orang pemuda yang kelihatan senang sekai.
"Ya, memang." kami akan gembira bukan kepalang kalau bisa tahu namanya. Kami berempat saling berbicara satu sama lain--tapi sebenarnya melihat betapa mungil dan merah mudanya bibir itu.
Langit biru tua. Awan menghiasi sudut-sudut terjauhnya seakan manusia bisa menggapainya kalau ingin.
kami pulang dengan gegas sebab kami tak ingin bertemu orang-orang yang kami kenal. kami sebenarnya hanya ingin membersihkan ruang memori untuk wanita tadi.
"Yang bibirnya merah muda itu?"
"Absolutely. Jangan bodoh, siapa lagi yang kau lihat sampai bingung mau bilang apa, begitu?"
"Banyak perempuan cantik di sana."
"Tapi tak banyak bibir merah muda."
"Terserahmulah."
Dan kami makin bahagia ketika menyadari jika perempuan itu ada, Roro kemungkinan besar ada di situ. Oh, wow, kami akan sering datang ke tempat itu. Namun betapa bodohnya identifikasi serampangan seperti itu.
"Apakah Roro dan perempuan itu satu tubuh?"
"Kau dengar Pastor bilang Roro tadi?"
"Ya, tapi yang kita tahu, Roro itu SMA dan sedang sibuk mengurusi Pensi."
"Dan kita belum melihat wajahnya."
Sampai di rumah kami masing-masing berpencar. Ada yang nonton tv, ada yang main komputer, baca buku, atau menelpon kenalan. Salah satu dari kami, Si Bungsu tiba-tiba mengatakan: "Menurutku, bagian Salam Damai adalah bagian yang bikin gregetan."
"Mengapa?"
"Sebab kita akan bingung."
"Why?"
"Sebab orang akan menjulurkan tangannya padamu tanpa menjabatnya."
"Memangnya?"
"Mereka mungkin porselen antik mahal, dan kita adalah martil. Tentu saja tak bisa bersentuhan dengan kuat, akan pecah satunya. Orang bersalaman seperti enggan. Aapa gunanya jika kita berdoa sambil bercerita dengan kekasih kita? Berbisik-bisik ketika orang lain sedang mendengarkan bacaan Kitab Suci?"
Kami rasa obrolan ini sudah kelewat berat. Pela-pelan merapat di ruang tengah, pindah ke balkon dan mulai mendengarkan Si Bungsu. Kami bertiga sangat mengasihinya, meski kadang dia bikin ulah yang tidak-tidak.
"Bolehkah kita menggelitik salah satu orang terdekat kita atau berbicara layaknya kita sedang nongkrong di ruang makan atau foodcourt?"
Kami cemburu. sekaligus memikirkan betapa tidak tahu apa-apanya dan tidak dewasanya dan tidak profesionalnya orang-orang ini. Mungkin hal inilah yang diam-diam membuat salah satu dari kami, Si Tengah, terganggu dan pindah ke tempat lain.
Karena kami adalah saudara dan tak mau salah seorang terpisah dari kami gara-gara sepasang kekasih atau keluarga yang kekanak-kanakan itu, kami mengatakan dengan bijaksana (versi kami lho): JIKA TIDAK BISA BERADAPTASI KAU MESTI MENYADARKAN MEREKA."
Tapi Si Bungsu menjawab dengan geram. Kami jadi tak yakin apakah itu Si Bungsu atau roh orang yang sudah mati. "martil tak bisa membuat porselen, martil boleh menempa baja panas. Aku tak sudi ada satu tempat bersama orang-orang yang mengganggu jalan pikiran orang lain di sebelahnya."
Dan kami gemas ingin meninju sesuatu.
Apakah kami manusia yang baik beragama?
0 komentar:
Posting Komentar