10
Kami datang ke sebuah rumah dimana pada masa lalu, kami sangat akrab dengannya. Setelah dua tahun berlalu, rasanya kami mendapati diri kami masih seperti yang dulu: muda, santai, dan penuh semangat kekanak-kanakan; sementara orang-orang yang kami kenal, terus bertransformasi. Semua kenyataan itu bisa disebabkan oleh usia, keriput, aksesori, potongan rambut, kata-kata yang digunakan, gesture, dan konsep yang dibawa-bawa kemana-mana di dalam kepalanya. Terpancing...terpancing untuk mengomentari perubahan mereka yang begitu drastis, namun kami sadar diri: kami hanya datang untuk sesaat saja. Kami tak bisa menjumpai dan berbicara satu persatu dengan mereka.Tapi kami selalu tahu kami merindukan mereka, entah apa perasaan mereka terhadap kami.
Setan, iblis...entah apa, kami mulai sadar bahwa kulit kami adalah kulit yang paling cemerlang di antara semua manusia di situ. Apalagi gaya kami yang cool, memancing seorang lelaki bertubuh mungil dan bertampang keledai, semacam security, memandangi kami terus bahkan sampai lima menit kemudian ketika kami lewat satu jengkal di depan batang hidungnya yang melesak ke dalam.
Dalam hati kami berkata: Rasis! Sehinggga ingin sekali kami datangi dia dan tanyai dia, kenapa kau pandangi kami seperti melihat orang asing seperti itu? Kau bukan saja bikin kami salah tingkah saat kami jadi tontonan gratis rang-orang yang belum tentu semuanya tercengang pada kecemerlangan kami, namun kau juga mengganggu jalannya ritual suci ini.
Petang tiada hujan.
Lalu lintas macet.
Manusia diuji kesabarannya untuk mengantri dengan adil.
Kami melangkah pulang ketika dunia beranjak dengan goyah ke tengah malam, seperti pria tua mabuk berbaju compang camping yang sedang mengarah ke dermaga Liverpool. Dalam hati kami berbisik: kami adalah manusia spesifik di tepat tadi itu, maka kami merasa bukan menjadi bagian dari tempat tadi itu, sebab kebanyakan mata memandang kami dengan stigma tertentu. Maka kami pelajari ilmu yang anehnya sempat mencuri masuk ke kantong koin emas kami yang akan segera kami habiskan di meja judi?
Kami melangkah pulang ketika dunia beranjak dengan goyah ke tengah malam, seperti pria tua mabuk berbaju compang camping yang sedang mengarah ke dermaga Liverpool. Dalam hati kami berbisik: kami adalah manusia spesifik di tepat tadi itu, maka kami merasa bukan menjadi bagian dari tempat tadi itu, sebab kebanyakan mata memandang kami dengan stigma tertentu. Maka kami pelajari ilmu yang anehnya sempat mencuri masuk ke kantong koin emas kami yang akan segera kami habiskan di meja judi?
1) Carilah tempat-tempat yang liberal-modern untuk kaukunjungi
2)Jadilah populer agar tidak cebderung di stigma
3)Beradaptasilah sebisa mungkin dengan mayoritas
4)Atau jika kau cukup kuat, anggap mereka semua tai kuciang
Oh, Zat Ilahi, kami merasa kami makin terasing dari dunia yang telah kami tinggalkan. Kami benci mendamaikannya kembali dengan jiwa kami. Semua yang telah berlalu tak lebih dari omong kosong orang-orang sukses yang menggangap uang bisa dipetik dari pohon duit. Oh, para failasuf, bukankah manusia sejati adalah manusia yang bisa mengurangi "kerusakan" pada dunia, orang lain, dan dirinya sendiri? Oleh karena itu, kami hanya bisa saling menasihati satu sama lain (ketika selimut sudah ditarik sampai ke ujung dagu, hujan lagi gerimis, dan kucing mengeong pilu sekali, nyaris seperti bayi yang kehilangan puting susu ibunya): "Jangan pernah lari..."
"Dari keluargamu.."
"Sebab ketika saat itu terjadi, kau akan tahu..."
"Betapa sempurnanya sisi kehidupan yang telah mereka sediakan untukmu..."
"yang tentu saja tak pernah diberikan orang lain untukmu..."
Sebab relasi di dunia di luar sana, dibangun di atas dasar "SIAPA SIH LOE?"
0 komentar:
Posting Komentar