Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Robbie Williams - She's The One with lyrics

  • Kamis, 29 April 2010
  • A. Moses Levitt
  • Laki-laki+Roma (Roro)

    77

    Chelsea mengalahkan Arsenal malam itu. Kami benci itu. Tapi kami sedikit terobati karena Roma berada di urutan 2 klasmen sementara Serie A Italia.

    "Harus kasih selamat buat Moses di fb dulu nih," celoteh Si Tengah dengan semangat.
    Sekedar kau tahu, Moses dan Si Tengah bersahabat baik. Keduanya gila setengah mati pada As Roma sejak klub asal ibu kota itu masih punya banyak pemain Brazilia seperti Dos Santos. Tapi kecintaan keduanya pada Roma seyogyanya terletak pada sebuah konsepnya yaitu: bahwa laki-laki yang jantan, profesional, dan sejati, juga ksatria adalah laki-laki yang setia, mempertahankan tanah leluhurnya.

    "Dan Totti menunjukkan teladan itu dengan sempurna," kata Moses bungah.
    "Menurutku, itu yang namanya laki-laki, bukan sekadar pemain bola," timpal Si Tengah tak kalah sukacitanya.
    Roma...Roma...Roma...!!!!!

    Berdoa+bonsai (Roro)


    76

    Kami merasa malu pada diri sendiri, juga pada tetangga sebab mereka begitu rajin pergi sembahyang di musollah atau masjid di kompleks ini, sementara kami, sudah nyaris 1bulan lebih tidak ke Gereja. Padahal dalam seminggu kami cuma pergi mengikuti Ekaristi pada hari Sabtu atau Minggu, pagi atau sore. Biasanya ada 5 perayaan Ekaristi dari Sabtu hingga Minggu. Dan kami cuma milih satu saja dari antaranya.
    "Gitu aja susah, heran deh," celetuk seorang tetangga, si ibu langsing yang suka menyiangi rumput dari pot-pot bunganya. 

    Kami merasa tersinggung. Sangat tersinggung. Tapi ternyata si ibu langsing sedang mengajari putrinya memangkas bonsai. Sementara kami tidak memangkas apa-apa. Kami juga hanya duduk melihat-lihat orang-orang berkegiatan. Kami memang sedang malas. Bahkan untuk berdoa kepada Tuhan yang sudah memberikan kami semua hal yang indah di dalam hidup kami.

    "jangan sampai ketahuan, Ibu," kata Si Sulung.
    "Aku paling takut kalo ketahuan Bapak," timpal Si Tengah.
    "Kakek juga bisa berang, cez," seloroh Si Bungsu.
    Tapi kami berjalan ke belakang. Mandi dari selang air tanpa menanggalkan pakaian. Kemudian kami buka pakaian itu satu persatu hingga telanjang. Handuk kami lilitkan di badan, bulu dada tersisir air dengan rapi. 

    "Mau kemana lo?"
    "Liat aja ntar."
    "Gw juga mw mandi nih."
    "Mu ngapain lo?"
    "Mw sembahyang."
    "IKUT!!!!"
    Kor dari ruang tengah membahana mengisi otakku.

    Agamis+nasionalis (Roro)

  • Selasa, 27 April 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , ,
  • 75

    Banyak hal yang ingin kami ceritakan satu sama lain, tapi sebaiknya mulai darimana ya?
    "Mungkin sebaiknya mulai dari hari Selasa, cez," usul Si Tengah sementara dia mencukur jenggot kambingnya.
    "Kenapa mesti hari Selasa?"
    Karena hari itu, begini ceritanya: hari Selasa... ketika kami mesti tergopoh-gopoh ke kampus untuk bertemu dengan dosen pembimbing akademis kami. Dia bule dan tampan, meski sudah tua. Kami kadang-kadang menyamakan dia dengan Sam Sephard atau Sam Sheperd yang membintangi film penuh ciuman basah NoteBook...tentu kami ingat, sebab kepingan cakram itu berada paling atas dari susunan kepingan-kepingan lainnya.
    Si bule ini, waktu bertemu dengannya, dalam ruangannya, yang kecil dan ber-AC, kami terlontar, terlonjak, sadar bahwa manusia tercipta dan hidup dalam ruang dan waktu. Manusia bukan yang Ilahi.

    "Manusia bakalan mati, bos!" seru teman kami, Nox Nix (baca: no onni) dari ujung aspal, warung kopi, yang beroperasi 10 jam sehari. "Dan orang tua bakalan lebih dulu mati daripada orang muda, secara usia."
    Kesadaran itu menohok hati kami.
    Si dosen sudah pasti tercipta oleh sesuatu yang bukan dirinya.
    "Pakar biologis, gw ga sebut Darwin lho, menegaskannya berasal dari spermatozoite dan ovume ayah ibu." Tiba-tiba si Ama Dinn menggagas dari balik tembok.
    "Dia hidup dalam ruang dan waktu."
    "Waktu dan ruang Eropa."
    "Sebelum beranjak remaja..."
    Percakapan itu makin ramai. Semuanya berawal dari hari Selasa.

    "Ruang dan waktu memotong masa hidupnya," Nox Nix belum puas juga berargumen. Kami ingin Nox Nix menyambung kalimat putus di atas. Sebelum beranjak remaja...
    Remaja yang menyenangkan sebab dia tingga di Eropa. Yang lebih maju kira-kira 20 kali lipat dari Indonesia.
    "Waktu itu belum tentu Indonesia sudah merdeka."
    Kemudia si remaja Eropa pergi ke tanah-tanah di Timur. Tanah yang pernah dicari Colombus, tanah yang diserbu orang Saxon, Hispanic, dan klan Aragon di semenanjung Iberia sana. Karena bau bumbu masakan rempah-rempah kita, telah menusuk hidung paruh burung bule-bule Eropa berbulu pirang itu.
    "Apakah dosen kita itu termasuk kolonialis-imperialis yang berkamuflase agamis-karitatif?" tanya Ama Dinn masih dari balik tembok.
    "Tidak, sama sekali tidak. Dia bahkan lebih menginginkan negri ini tanpa kekerasan berdarah dari orang Indonesia manapun."
    "Kau serius?"
    ...

    Alamat+presenter (Roro)

    74

    Dan keajaiban macam apa lagi ini, ketika kami diberi alamat rumah Roro? Bukankah alamat ini begitu dekat dengan rumah Babby, teman kami yang presenter tv itu? Memang tak mungkin kami bisa berteman dengan seorang presenter tv yang standarnya pasti menarik dan hebat itu. Tapi karena sebuah seminar tentang buku, buku Magic, kami akhirnya jadi berteman dengan si Babby ini. Waktu itu kami berkenalan dengan identitas disamarkan, namun akhirnya ketahuan juga bahwa kami adalah mahasiswa tahun ke-2 yang tampangnya tak seberapa, masih kampungan, dan sering curi-curi pandang padanya.

    Sekarang, tepatnya sudah tiga bulan kami menjadi teman Babby. Kami menghitung lamanya peretemanan ini sebab, "Orang-orang pasti akan iri pada kita," kata kami suatu ketika, saat itu kami sedang makan di kantin kampus bersama Babby dan seorang temannya yang DJ itu.

    Cepat kami temukan Babby, tapi dia ada di Sentul, entah ada acara spesial apa lagi yang diikutinya di sana. Dia tak mengangkat telepon. Hujan tambah deras. Nyaris banjir di luar. Kami mesti segera mengatakan, "Babby, bisakah kami datang ke rumahmu malam ini? Gawat darurat."
    Malam ini?
    Tentu saja dia keberatan. Sekarang jam berapa? dan dia toh belum tentu mau menerima tamu setelah pulang dari Sentul. Kami rasa, dia akan capek, pengen mandi air hangat, berendam, dan menikmati aroma terapi. Tanpa boleh diganggu. Memangnya kami orang penting macam apa z? Untuk ukuran fakultas saja, kami hanya disapa 2 sampai 3 orang jika datang kuliah. Itupun mungkin karena kami pernah berbagi contekan dengan mereka ketiak UTS tahun lalu.
    "Mereka terpaksa berbaik-baikan sama lo."
    "Gw tau."
    "Menyedihkan ya?"

    Lalu kami putus asa. Babby, tolonglah kami. Sms kami kirimkan. Tak ada balasan. Hingga kami pulang ke rumah dan tidur dengan semangat yang pelan-pelan pudar. Tapi kami menghibur diri, "Roro ada di Pondok Gede. Dia real."

    Ibu+sakit (Roro)

  • Sabtu, 24 April 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label ,
  • 73

    Oh, Roro di Jakarta.
    Apakah ini sekadar mimpi yang terbagi dalam dua kata: omong-kosong. Kosong-melompong.
    Tidak. Pondok Gede dapat kami jangkau dalam kedipan mata. Kami selalu tahu angkutan umum menuju ke sana. Harus berganti mobil dimana. Oh, nyaris setiap jalan dan gangnya melintas dengan detail dalam kepala kami. Setelah 2 tahun. Kami akhirnya menemukan Roro. Kami tak peduli apakah Roro yang ini yang Ibu maksud. Kami tak peduli seperti apa Roro ini. Semua gambaran perempuan dalam kepala kami berhamburan keluar tiada berbekas, diganti sosok Roro yang tak lagi absurd, abstrak, kini jadi patung yang bisa bergerak lagi bicara.

    Gegabar sekali mulut kami ingin bertanya pada ibu teman kami ini. Setinggi apakah Roro? Dia kerja ataukah sudah kuliah? Berapa bersaudarakah mereka? Bahkan nyaris terlontar pertanyaan bodoh itu: sudah punya pacarkah dia?
    Kami bekap. Kami pukul lidah dan bibir biar diam. Hati kami atau otak kamilah yang bekerja bagai kompi-kompi super canggih milik badan intelegensi.

    Hujan turun tapi apa peduli dengan air dingin yang tercurah dari awan hitam itu. Ibu akan senang jika kami beritahukan padanya. Ibu akan, tak tahulah kami... Ibu akan bagaimana dengan pencapaian ini. Semoga menemukan Roro berbuah banyak keajaiban bagi Ibu yang memang sakit dan tak bisa kami ungkapkan sakitnya apa, pada siapapun.

    Duplikat+ibu (Roro)

  • Jumat, 23 April 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , ,
  • 72

    "...selama Roro bukan dari kampung kami."
    Itulah kalimat yang terekam sampai kemudian kami begitu tua dan mati.
    Kalimat itu, menurutku berdiri sendiri sebab dia begitu saja meluncur keluar dari lidah tulang rawan kami. Ibu teman kami terkejut. Katanya: "Tentu saja Roro bukan dari kampung kalian."
    "Begitukah Ibu?"
    "Ibu kenal baik tantenya Roro ini."

    Apakah kami harus berpura-pura tidak terkejut dan senang kemudian akan mengatakan sejujurnya? Terdiam lama. Orang bodoh. Kami berkata dalam kegemuruhan suka, "Tinggal di depan sini tantenya Roro itu, Ibu?"
    Lihatlah, makin lama perempuan tua ibu teman kami ini mirip seperti Ibu kami. Si Sulung agak risih, baginya Ibu tak pernah tergantikan ibu lain manapun, tapi Si Bungsu yang cengengesan itu suka pada perempuan ini. Maka kami pun menyederhanakannya menjadi sepupu Ibu.
    Memang, rasanya seperti bertanya pada Ibu sendiri dan mendapati bahwa dia tahu segala sesuatu tentang pohon silsilah kelurga besar Roro. "Tidak di kota ini. Tapi Roro dan keluarganya tinggal di Pondok Gede."

    Roro di Jakarta! Oh, Tuhanku, benar..ku terpesona...menyaksikan karya agungmu semua...
    suara merdu Talita Doo Doo (kami lupa ingat nama penyanyi kesayangan Bapak itu) dan biarlah wanita bersuara merdu itu menyanyi memuji Tuhannya sambil memaafkan kekurang ingatan kami akan sebuah nama.

    Jodoh+balita (Roro)

    71

    Hari ini tidaklah padat seperti biasanya. Namun kami akhirnya menemukan Roro. Kami, sebelumnya, berkunjung ke rumah seorang kerabat Ibu dan bercengkerama dengan anak-anaknya yang masih balita. Cukup lama kami di rumah itu. 
    "Berapa jam z?"
    "Lima jamlah."
    Kami disuguhi segala macam: mulai dari ice cream monde sampai cerita dongeng dari Enyt Bliton atau Enid Blyton? Kami terus terang, bahagia sekali sebab diberi kepercayaan menggendong balita di dalam rumah itu. Kemudian tanpa mengurangi kesenangan kami tinggal di rumah itu, kami pamitan dan pergi ke rumah seorang teman. Di rumah teman kami itu cuma ada ibu dan saudaranya. Kami bercerita, anehnya langsung datang langsung bercerita, seakan ini semua cuma pengulangan yang paralel... tentang kuliah dan ibu menanyakan kepada kami: "Apakah kau akan memilih gadis dari pulau ini untuk diajak kawin?"
    "Ya mungkin."
    "Bisa saja tidak. Kalau sudah ada jodoh yang menunggu di kampung?"
    "Ah, tidak juga. Selama Roro bukan dari kampung kami."

    Limabah+pabrik (Roro)

  • Kamis, 22 April 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , , ,
  • 70

    Anehnya kami, biar telah merasa bersalah semalam karena pulang subuh-subuh ke rumah, paginya malah tidur terus sampai jam 2 siang. Orang harus mengbangunkan kami berulang kali. Suasana akan menjadi sepi, ketika di luar hujan dan bau tanah menyentuh hidung. kami tarik tempat jemuran ke dalam lindungan atap kanopi teras belakang... dan mandi. Air tidak lagi dingin. Lama kami mandi hingga kami merasa puas bermain air. Teringat kami lagi bagaimana dulu sring mandi di kali di ujung kampung. Kali itu mestinya sekarang sudah kotor dan tercemar sebab dia menggambarkan bahwa 2 buah Baja Ringan telah beroperasi selama 8 bulan. Kami sarankan Ibu jangan pernah menyentuh air itu.
    "Terpikirkan oleh Ibu untuk bilang pada tetangga lain," balas Ibu. "Tapi itu air mereka. Sudah lama mereka hidup dari situ. Sekarang air PAM macet-macet. Dan kalian tahu sendiri, orang seperti Mak Paun tidak punya keran air PAM, juga banyak keluarga lainnya."
    "Nah, oleh karena itu, Ibu yang mesti membantu mereka. Bapakkan punya bak penampung besar. Mereka bisa ambil air di situ dengan bayaran murah. Bukankah mereka itu sanak saudara kita?"
    "Tidak segampang itu meyakinkan mereka. Jalan keluar terbaik adalah membersihkan sungai itu dari limbah pabrik," kata Ibu dengan yakin, sama tak yakinnya seperti kami tang sekarang tengah membayangkan limbah kimia itu sedang terapung-apung di permukaan air sungai, di bawa kemana-mana, melukai apa saja yang dilaluinya.
    "Apalagi sekarang ada masalah soal penimbunan minyak dan gula pasir. Jangan-jangan Ibu dan Bapak dikira menimbun air dan menjual demi keuntungan. PAM bisa marah."
    "Makanya mereka juga mesti cari jalan keluar untuk orang-orang seperti Mak Paun."
    "Pipa-pipa air itu dihitung dengan rupiah, anakku."
    "Memang ironis, Ibu. tapi Ibu mesti bantu mereka."
    Setidaknya kalau mereka kekurangan air bersih, suruh mereka datang ke rumah. Tuhan pasti membantu mensosialisasikan bahaya memakai air dari sungai.
    "Semoga begitu, anakku." Dan tiba-tiba dia bertanya dengan memelas, "Roro?"
    "Ibu--"
    "Yah."
    "Nyaris mustahil."
    Tapi kalimat itu tak kami katakan. Kami simpan dalam hati dan berdoa agar Tuhan juga membantu kami menemukan Roro--demi Ibu? Siapakah sebenarnya Roro ini? Sanak saudara Ibu dan Bapak yang hilang? Atau cuma iseng-iseng Ibu belaka?

    mungkinkah menulis jauh lebih baik daripada kuliah?

  • A. Moses Levitt
  • kamu mesti menentukan yg mana duluan

    Ask me anything

    apa yg paling kamu benci saat ini?

  • A. Moses Levitt
  • sekretariat...

    Ask me anything

    Nama+dongeng (Roro)

    69

    Tengah malam telepon berdering. Ogah-ogah kami turun dari tempat tidur. Di luar gerimis. Ternyata Si Sulung sudah di depan pesawat telepon. 
    "Kau menunggu telepon dari seseorang?"
    "Mungkin Ibu."
    "Dasar anak kecil."
    "Bilang kalau kau benci Ibu."

    Riccha menelpon. Latar belakangnya musik techno. Apa dia sedang party? Dia sedang ada di puncak.
    "Balapan?"
    "Setan lo, gw lagi di rumah Bokap."
    Riccha menemukan nama Rara, bukan Roro. Satu-satunya Rara di universitas swasta terkemuka. Temannya, sesama presenter, dulu, kenal dengan seorang gadis belia, semester 2 yang bernama Rara. "Meski dia tidak dipanggil dengan Roro...nama tengahnya Rara Parameswari gitu, kayaknya..."

    Padi+jerami (Roro)

    68 

    "Belum" 
    "Bagai mencari sebutir pada dalam jerami." 
    "Aneh sekali." 
    "Menakjubkan." 
    "Kok menakjubkan z?" 
    Nah...tentu saja menakjubkan. Tak ada nama Roro atau rara dari ribuan mahasiswi di universitas ini. Mungkin di universitas lain. Mungkin bisa bertemu jika dicari di arsip kepolisian. 
    "Gila kau. Ibu gak mungkin menyuruh kita mencari seorang pelaku tindak kriminal." 
    "Tolol jga kau. Pelaku tindak kriminal apanya? Semua warga negara yang mau kemana-mana perlu surat izin kelakuan baik dari kepolisian setempat. Tentu saja Roro atau Rara bukan penjahat. Kau pikir Ibu apa?" Okay! Pilihan yang paling enak kedengarannya adalah Raro atau Rara ada di universitas lain. Tapi berapa banyak universitas di kota ini? Mudahnya, kami menggunakan kontak kami: Temi, Bernadu, Bob, Riccha, dan Pasugihan. Mari membaca di perpustakaan sambil menunggu nama-nama ini keluar dari ruangan kuliah. Mari mencari-cari di katalog perpustakaan. Tapi dasar tidak antusias dan tidak yakin dapat menemukan nama Roro atau Rara di situ, kami tak banyak memperhatikan. Setelah 200 nama pengarang dan judul skripsi, berhentilaha kita. Menyerah. 

    "Ayo turun," ajak Si Tengah. 
    "Kenapa?" 
    "Kontak kita gak akan kita temukan mendorong pintu perpus itu dan meminjam buku." 
    Ya memang. Temi nongkrong di kantin atau warkop, sam seperti Bernadu. Bob berleha-leha di ruang seksi pendaki gunung. Mereka hendak ekspedisi ke Watugunung-Sewugunung. Riccha menelpon teman-temannya yang artis lokal dan presenter itu. Sedangkan Pasugihan merokok di toilet. Berbagi tugas, kami berpencar, menemukan Pasugihan paling susah sebab kita mesti mengecek toilet satu persatu. Ketika kita menemukan dia di toilet anak-anak Hukum, eh dia sedang fly. Tapi dia tahu apa yang harus dikerjakannya. Garis besarnya; kontak-kontak kami ini mesti menemukan Roro atau rara lewat koneksi mereka di universitas lain. Riccha berjanji akan mengabari selekas mungkin jika menemukan atau pun tidak. Bob mengatakan, "Mana ongkos keringatnya?" 2 hari berjalan. Tak ada kabar soal nama Roro atau Rara ini dari Temi, Bob, Bernadu, dan Pasugihan. Menunggu Riccha dan akhirnya...

    Dewi+bogor (Roro)

  • Minggu, 11 April 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label ,



  • 67


    Apakah negri ini tidak memproduksi seorang anak manusia bernama Roro?
    Sudah nyaris 4 semester kami keluyuran di uar sana, diterjang panas dingin..
    "Kalo lo tuh seng, udah karatan dan tebakar."
    "Tapi gimana caranya kita temukan Roro?"
    "Mungkin kita harus ke paranormal atau mama-mama yang gipsy gitu, cez."
    "Keerlaluan...lo kate Roro itu demit?"
    Tapi dia ngilang?"
    "DPO?"
    Ah, mungkin saja tak ada pasangan orang tua yang menamakan anaknya dengan nama Roro. Tapi mereka lebih suka menamai anak-anakna dengan nama bule..
    "Bulepe?"
    Mereka lebih suka nama anak-anaknya mirip aktor aktris Hollywood gitu. tak suka mereka menamai anak-anaknya dengan nama melayu, nama kampungan, nama yang terlalu diperhitungkan dengan hari baik dan berat ringannya nama yang disandang. Kalo pake nama bule kan, tidak perlu repot-repot memikirkan semuanya itu? Tapi bagaimanakah awal dan akhir pengorbanan kami, Ibu? Kalau sampai semester 8 kami tak emukan Roro juga, kami akan pulang kampung dan kawin dengan anak perawan lain saja. Roro mungkin imajinasi Ibu.
    Kemudian teringatlah kami akan seorang teman bernama Dewi. Mungkin Dewi ini bisa menghubungkan kami dengan Roro.
    "Kok bisa?"
    "Dewi itu nama sansekerta...Devi."
    "Wow.. lo pintar juga."
    "So, dimana kita bisa ketemu Dewi?"
    "Di kampus."
    "Tapi besok hari Minggu."
    "Kita datang Senin."
    "Aku harus ke Bogor."
    "Gimana dunkz?"
    Related Posts with Thumbnails

    La Musica