73
Oh, Roro di Jakarta.
Apakah ini sekadar mimpi yang terbagi dalam dua kata: omong-kosong. Kosong-melompong.
Tidak. Pondok Gede dapat kami jangkau dalam kedipan mata. Kami selalu tahu angkutan umum menuju ke sana. Harus berganti mobil dimana. Oh, nyaris setiap jalan dan gangnya melintas dengan detail dalam kepala kami. Setelah 2 tahun. Kami akhirnya menemukan Roro. Kami tak peduli apakah Roro yang ini yang Ibu maksud. Kami tak peduli seperti apa Roro ini. Semua gambaran perempuan dalam kepala kami berhamburan keluar tiada berbekas, diganti sosok Roro yang tak lagi absurd, abstrak, kini jadi patung yang bisa bergerak lagi bicara.
Gegabar sekali mulut kami ingin bertanya pada ibu teman kami ini. Setinggi apakah Roro? Dia kerja ataukah sudah kuliah? Berapa bersaudarakah mereka? Bahkan nyaris terlontar pertanyaan bodoh itu: sudah punya pacarkah dia?
Kami bekap. Kami pukul lidah dan bibir biar diam. Hati kami atau otak kamilah yang bekerja bagai kompi-kompi super canggih milik badan intelegensi.
Hujan turun tapi apa peduli dengan air dingin yang tercurah dari awan hitam itu. Ibu akan senang jika kami beritahukan padanya. Ibu akan, tak tahulah kami... Ibu akan bagaimana dengan pencapaian ini. Semoga menemukan Roro berbuah banyak keajaiban bagi Ibu yang memang sakit dan tak bisa kami ungkapkan sakitnya apa, pada siapapun.
2 komentar:
excellent.suatu kisah yg menarik untuk ditelusuri. jika boleh ditambah dengan kisah ttg keadaan ibu yg sakit untuk lebih mengantar dan memainkan rasa dari pembaca.
kritik yg ok, No...nanti kita jelaskan seperti apa keadaan ibu di kampung. Menurut engko, ibu seharusnya sakit apa?
Posting Komentar