70
Anehnya kami, biar telah merasa bersalah semalam karena pulang subuh-subuh ke rumah, paginya malah tidur terus sampai jam 2 siang. Orang harus mengbangunkan kami berulang kali. Suasana akan menjadi sepi, ketika di luar hujan dan bau tanah menyentuh hidung. kami tarik tempat jemuran ke dalam lindungan atap kanopi teras belakang... dan mandi. Air tidak lagi dingin. Lama kami mandi hingga kami merasa puas bermain air. Teringat kami lagi bagaimana dulu sring mandi di kali di ujung kampung. Kali itu mestinya sekarang sudah kotor dan tercemar sebab dia menggambarkan bahwa 2 buah Baja Ringan telah beroperasi selama 8 bulan. Kami sarankan Ibu jangan pernah menyentuh air itu.
"Terpikirkan oleh Ibu untuk bilang pada tetangga lain," balas Ibu. "Tapi itu air mereka. Sudah lama mereka hidup dari situ. Sekarang air PAM macet-macet. Dan kalian tahu sendiri, orang seperti Mak Paun tidak punya keran air PAM, juga banyak keluarga lainnya."
"Nah, oleh karena itu, Ibu yang mesti membantu mereka. Bapakkan punya bak penampung besar. Mereka bisa ambil air di situ dengan bayaran murah. Bukankah mereka itu sanak saudara kita?"
"Tidak segampang itu meyakinkan mereka. Jalan keluar terbaik adalah membersihkan sungai itu dari limbah pabrik," kata Ibu dengan yakin, sama tak yakinnya seperti kami tang sekarang tengah membayangkan limbah kimia itu sedang terapung-apung di permukaan air sungai, di bawa kemana-mana, melukai apa saja yang dilaluinya.
"Apalagi sekarang ada masalah soal penimbunan minyak dan gula pasir. Jangan-jangan Ibu dan Bapak dikira menimbun air dan menjual demi keuntungan. PAM bisa marah."
"Makanya mereka juga mesti cari jalan keluar untuk orang-orang seperti Mak Paun."
"Pipa-pipa air itu dihitung dengan rupiah, anakku."
"Memang ironis, Ibu. tapi Ibu mesti bantu mereka."
Setidaknya kalau mereka kekurangan air bersih, suruh mereka datang ke rumah. Tuhan pasti membantu mensosialisasikan bahaya memakai air dari sungai.
"Semoga begitu, anakku." Dan tiba-tiba dia bertanya dengan memelas, "Roro?"
"Ibu--"
"Yah."
"Nyaris mustahil."
Tapi kalimat itu tak kami katakan. Kami simpan dalam hati dan berdoa agar Tuhan juga membantu kami menemukan Roro--demi Ibu? Siapakah sebenarnya Roro ini? Sanak saudara Ibu dan Bapak yang hilang? Atau cuma iseng-iseng Ibu belaka?
0 komentar:
Posting Komentar