Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Paskah+female (Roro)

  • Jumat, 29 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , , ,

  • 51

    Kami teringat pada Roro. Kami jadi terobsesi padanya. Meski peluangnya kecil sekali untuk menemukannya. Semakin banyak wanita yang kami temukan, semakin banyak yang tidak tahu menahu soal Roro.
    Ketika orang Kristen merayakan Paskah, kami memilih liburan di rumah saudari bungsu Nenek. Dia wanita tua beraga ketat. Meski berbeda agama dengan kami, dia memperlakukan kami seperti cucu-cucu yang datang dan merayakan hari Yahweh membebaskan umat Israel dari belenggu Mesir. 
    Mungkin sepupu kami tahu soal Roro. Sedikit saja sudah senang. Tapi mereka tak tahu apa-apa. Pada Malam Paskah, teman seorang sepupu datang bersama bapaknya untuk ikut merayakan Paskah sebab katanya," Aku deket banget sama Nenek kalian."
    "Ooooooooo."

    Gadis itu manja. Kawat gigi. Sering melihat jam tangannya seperti menghitung waktu satu kegiatan untuk masuk ke kegiatan lain. Pakaiannya modis sekali. Pakai syal yang diikat di kepalanya yang anggun, menjulur sampai ke pinggulnya yang mencong ke dalam dan ke luar dengan sama proporsinya. Yang kami suka darinya, dia senang memakai terusan atau rok yang kainnya halus bagai bludru atau nila.
    "Roro mungkin feminim seperti dia." Kami diam-diam berharap.
    Dan Nenek berusaha mendekatkan salah satu dari kami berempat padanya.
    "Dia 18 tahun. Kuliah tahun pertama. Anak tunggal, dan ingin punya banyak saudara."
    "Cocoklah kalau bergaul dengan kami," kata Si Sulung sok simpatik. Sok Cool. Tai lu!
    Tapi dia lebih dekat dengan Si Bungsu. Yang orangnya cuek mampus dan selalu memikirkan teknologi informasi termutakhir buatan Jepang atau Inggris.
    "Kenapa bukan USA?"
    "Sudah basi."
    "Oh, begitu?"
    Dan akhirnya bulan Mei awal, dia berpacaran dengan gadis itu. Namanya saja kami lupa ingat. Jadi, ceritanya sekarang, dari 4 orang bersaudara laki-laki, 1 orang sudah punya pacar. Yang belum punya pacar, 3 orang, termasuk kami, yang kelihatan bakalan jomblo4ever....

    Anak+pilihan (Roro)



    50


    Suatu saat kami akan membuat buku. Buku yang berisi pembelaan anak-anak yang telah dipersalahkan oleh sejumlah elemen dunia.
    "Misalnya apa tuw, Bang?" tanya tukang tambal ban di dekat rumah, tempat kami biasa tunggu angkotan yang lagi ngetem, lama banget.
    "Nih pertama ye, orang tua, trus kedua, masyarakat, dan yang ketiga, agama."
    "Kok agama dibawa-bawa, Bang?" Dia lagi belepotan oli. Vespa butut milik seorang pria butut juga sedang divermak.
    "Lihat aja ntar, Bang. Cabut dulu ye!"


    Lalu datang angkot merah itu, bagai hantu entah dari lubang mana.
    Banyak wajah segar dan gress berpepetan di dalamnya. Kami mungkin harus mengusutkan tubuh sedemikian rupa baru bisa nyelip.Tapi asyik kalo lu nyelip di antara itu....
    "Ah lupakanlah!"
    Yang pasti, satu saat akan kami kumpulkan daftar hal yang dibenci oleh anak-anak atas orang tuanya, masyarakatnya, dan agamanya. Kami yakin, ada begitu banyak kejutan dimana anak-anak dikatakan tidak bersalah oleh pengadilan Moral dan Psi.
    "Jadi?"
    Yah, kira-kira kesimpulan sementara, mereka dalah korban malpraktek orang tuanya.



    Konsekuensi+nikah (Roro)

  • Kamis, 28 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , , ,
  • 49


    Pasangan suami-istri tak sanggup membentuk keluarga keci!
    Orang-orang seperti ini kami temukan di keseharian kami di luar rumah. Mereka kelihatan saja hebat dari luar tapi di dalamnya, mereka benar-benar tidak bisa mandiri untuk sebuah kodrat pernikahan. Sebab mereka adalah tipe partner yang marah jika mereka tidak dibantu oleh orang lain.
    "Dalam otak mereka, jika mereka sedang melakukan suatu pekerjaan, pekerjaan lain bukan untuk mereka tanggung juga."
    "Iya, mereka ber-partner untuk tanggungan mereka sendiri."
    Mereka pikir, jika aku bekerja di kantor, aku tak bertanggun jawab penuh atas waktu untuk anakku. Jika aku menjaga anakku, aku tidak boleh melakukan hal lainnya. Orang-orang harus mengerti aku dan mengulurkan tangan tanpa kuminta. 
    "Mereka salah besar jika mereka masih berpikir demikian."
    Itulah kenapa banyak fenomena, generasi sekarang jauh dari rumah. Perilaku menyimpang, nakal, kena narkoba, tak peduli pada pendidikan, orang lain, dan segi-segi baik bagi diri sendiri, keluarga, agama, dan masyarakat. 
    Si Sulung tampak jengkel sekali ikut dalam pembicaraan serba berat ini, sebab di sini kami berempat tak langsung turut melibatkan Bapak dan Ibu dalam proses mendidik kami hingga kini. Dia sempat marah besar waktu kami bilang, dia terlalu pengecut untuk menggugat kedua orang tua meski dia seorang laki-laki sulung. Dia balas memaki kami, mengatakan kami tidak tahu terima kasih.
    "DURHAKA!"
    "GAK!"
    "SO WHAT?"
    Menurut yang kami pelajari di kampus, nama filsuf itu bukan Durhaka melainkan Durkhaim. Emile Durkhaim.
    wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwwkw........................


    Ternyata anak-anak bandel ini, perasaan mereka telah dibentuk, diarahkan sedemikian menyimpang ke sana oleh kedua orang tua yang tak siap menjadi orang tua meski mereka kelihatan prof dan matang secara finansial dan umur. Wah, lucu ye?



    Suami-istri+super (Roro)

  • Selasa, 26 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , ,
  • 48


    Kami yakin, ada sebagian suami-istri yang lebih berhasil berpacaran seumum hidupnya sebagai pasangan kekasih. Untuk itu mereka tidak boleh menikah.
    "Boleh kawin?"
    "Mau lu."
    Jika menikah mereka tak boleh punya anak dengan alasan, mereka lebih berhasil menjadi suami-istri tanpa bayi. Sebab kami yakin, anak mereka tidak mendapat perhatian yang berkualitas apalagi berkuantitas. Tidak jadi masalah mereka egois, hedon untuk diri sendiri dengan konsekuensi mereka tidak mempunyai anak. Sebab anak akan membuat mereka tidak nyaman dan merasa orang lain harus bertanggung jawab dan menanggung sebagian kesusahan dari beban memelihara anak mereka.
    Kami merasa keluarga seperti ini mesti disadarkan dengan sebuah terapi.
    "Misalnya?"
    Semua anggota keluarga tidak ikut membantu merawat atau menjaga anak mereka. Kalau perlu pura-pura tidak senang atau menjaga jarak dengan mereka.
    "Berikan contoh nyata," kata Frengki.
    Bagaimana seorang guru muda yang ditempatkan tugas di sebuah kampung di Kalimantan atau Sulawesi atau Irian Jaya. Membangun keluarganya sendiri dibantu istri. Punya 2-3 anak yang diurus sendiri sebab tak ada sanak saudara di sekitar mereka. Bagaimana mereka menghandle semua urusan anggota keluarga bersama-sama. 
    "Bukannya memilih orang lain yang melakukannya atau menolong apa yang seharusnya jadi prioritas mereka dan menjadi konsekuensi sebuah pernikahan, maksud lu?"
    IYE!

    Amamartin+banjir (Roro)

  • Senin, 25 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , ,
  • 47


    Keesokan harinya, hujan turun selama 4 jam, tak berhenti. Kami di kampus, sedang kuliah, dosen yang super-duper disiplin,  cemas setengah mampus. Mungkin barang-barang kami di rumah sudah terdampar sampai ke kali malank. Bisa menyeberang bermil-mil dari rumah untuk menemukannya itupun andai masih dalam keadaan utuh.
    Memang benar, setelah pulang, kira-kira jam 3 sore, sudah gelap, rintik-rintik, air cokelat mengalir dimana-mana. Banjir sudah semata kaki dan kami untungnya bisa  menyelamatkan semua barang. Menggantungkan beberapa barang ringan pada paku dan yang lainnya di naikkan ke atas meja atau kursi itupun dengan cemas, jangan-jangan karena bertumpukan, nanti rusak karena uap air, lembab.
    Kemudian ketika hari akan gelap, kami duduk-duduk di teras, di atas kursi bambu sambil merokok dan melihat orang-orang lewat. Bahkan tukang bubur ayam masih berani lewat juga.
    "Air di pojokan sana deras berputas-putas, kok bisa ya dia lewat?"
    "Cari duit sampai korbankan segalanya."
    "Ulet. Banjir sudah tradisi."
    "Tradisi nenek lu."
    "Jaga mulut lu, setan."


    Setelah itu bingung. Tidur dimana? Pakaian dua kantong di laundry. Rp.156.000. Pergi amakn di warung minang pakai nyeker. Cewek-cewek yang pulang kampus atau kerja, melihat-lihat geli. Ada yang tak segan-segan ketawa ngakak.
    "Bagus lu!"
    Setelah itu, tidur di rumah tetangga. Untung!


    Ah, besok paginya pergi ke laundry lagi karena kemeja baru kena tinta ballpoint yang juga baru beli. Di laundry, setelah berdandan dan yakin goodlooking, kami dikejutkan oleh kasirnya yang muncul dari balik counter. Dia spontan senyum-senyum. Bikin salah tingkah. Mungkin naksir, mungkin mencela. Tapi kami pikir dia juga tidak mungkin meremehkan kecakepan kami sebab wajahnya tidak bersih-bersih amat. Butuh dua tiga kali perawatan kulit wajah dan mungkin juga bau mulut.
    "Lucu ye."
    "Padahal lu kan sikat gigi jam 12 tadi malem. Sedang sekarang jam 6 sore dan baru selesai makan gorengan dan cumi goreng."
    Pasti kami saling mengukur diri. Bisa jadi kami jodoh karena kekurangan-kekurangan kami itu
    "wkwkwkwkwkwk............!"

    Banjir+legislatif (Roro)

  • Rabu, 20 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , , ,
  • 46


    Pulang kuliah hari Jumat...


    Kami membantu teman yang kebanjiran sementara di rumah sendiri kebanjiran. Dari rumah Ibu menelepon, katanya mereka harus naik ke lantai dua karena banjir. Kakek marah-marah melulu. Nenek sibuk mengumpulkan guci-gucinya yang antik. Bapak malah santai saja. Dia meminta seorang bujang yang ikut dengannya untuk bantu-bantu di rumah, menaikan sofa dan ranjang ke kursi dan meja. Buku-buku dan pakaian di laci lemari bagian bawah dikosongkan.
    Kami bertanya: "Apakah barang-barang kami di kamar bawah rusak?"
    Tidak, di kamar atas yang rusak. Basah, sebab air hujan membias ditiup angin timur yang kencang.
    "Aduh, banjir atas bawah sekarang," keluh Si Bungsu.
    Kasihan Paman dan Bibi kami yang rumahnya berlantai satu. Apalagi rumah-rumah baru di depan mereka, fondasi dan garasinya tinggi-tinggi.
    "Semeter di atas tanah. otomatis air hibaan lari ke rumah mereka," kata seorang teman.
    "Kasihan!" yang lainnya menimpali, seakan mengasihani diri sendiri.

    Tapi kami bilang pada Ibu: "Katakan pada Bapak, kalau partai dimana dia jadi salah satu motornya itu bisa memberi solusi kecil untuk orang-orang seperti Paman dan Bibi yang kebanjiran dan butuh tempat berlindung yang nyaman, seperti di rumah, dan tidak dibiarkan terlantar begitu saja, kami akan mencontreng partai itu untuk semua pemilihan, baik presiden maupun legislatifnya."
    Ibu tak berkata apa-apa, meski kami mendengar seperti dengungan lebah di telinga kami. Sambungan telepon pun terputus dan kami hanya bisa bilang dalam kegetiran: "Kami akan jadi hamba partai itu jika kau baik-baik saja, Ibu!"





    Kontrol+pemerintah (Roro)

    46


    Dari pembicaraan dengan Door, kami sadar bahwa kami lebih mirip Ibu. Kami lebih suka menanam segala macam bunga yang bisa di dapat dari tetangga di halaman rumah kami. Ibu akan berkeliling pagi, siang, sore, dan malam untuk menikmati ruang kosong itu, yang baru kemudian, dari Nicky, kami tahu ruang kosong itu disebut dengan berbagai versi.
    "Taman" kami bilang kami sudah tahu.
    "Ruang terbuka" yah memang terbuka, anak kecil juga tahu.
    "Pekarangan taman obat" ini mulai agak rumit.
    "Lahan serapan air" dia mungkin bercita-cita menjadi insinyur pertanian, dulu.


    Kami jadi mengidamkan kota kelahiran kami berubah landskap menjadi tata kota di pedesaan Eropa dan Amerika. Satu hal yang ingin sekali kami bicarakan dengan Bapak agar dia membicarakannya dengan anggota-anggota partainya yang lain. Kalau mereka dapat kursi, setidaknya mereka dapat mengingatkan masyarakat akan tata kota itu. dari kenyataan itu, ada hal yang aneh. Sebab menurut Kakek, tanah di suatu tempat adalah tanah milik pemerintah negara itu.
    "Sehingga untuk membangun sesuatu di atas tanah itu, kita mesti minta izin," kata Kakek.
    Lalu, kenapa pemerintah tidak membuat peta tata kota saat ini dan memperhatikannya? Aparat pemerintah banyak. Masih banyak pembangunan yang tidak sesuai dengan tata kota.
    "Kemana fungsi kontrol pemerintah?" tanya Si Bungsu tiba-tiba kritis.
    Kecuali orang-orang seperti Kakek kami hanya duduk-duduk saja di kantor.
    "Bangunan toh tak jadi dalam semalam," sergah Si Sulung dari arah dapur. Dia lagi bikin kopi untuk tamunya di kamarnya.


    Tapi, entah kenapa, kami merasa bersalah sekali. Rasanya ada yang kurang pada diri kami. Seperti kami baru saja menipu orang baik-baik. Seperti kami menyelewengkan kepercayaan seorang teman. Dan benar saja, ketakutan terbesar kami sebelum tidur malam ini adalah "tidak dipercayai lag oleh orang lain, terkhusus teman-teman kami."
    Kami akan hancur jika hal itu sampai terjadi.



    Jejaring "laba-laba"+sosial

  • Selasa, 12 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label ,
  • Seperti posting gw terdahulu, ada sebuah jejaringan sosial bernama Geni.com. Slogannya: everyone's related!
    Bentuknya mirip-mirip Facebook atau Friendster, tapi Geni.com ini khusus buat kamu sama keluarga. Geni.com memang dirancang untuk sebuah keluargaa agar bisa tetap berhubungan secara interaktif.
    "Cocok buat lo yang ngambekan sama bokap lo!"
    "Ih....lo kali!"
    Yang lucu di sini adalah ada pohon keluarga. Pohon keluarga ini mungkin mirip seperti pohon keluarga di rumahnya keluarga besar Sirius Black yang dihibahkan ke Harry Potter itu (Richa babbbypink tahu banyak kalo soal HP, ya, kan babbydear?). Pohon silsilah ini bisa menampung silsilah keluarga sampai ke buyut. Kamu juga bisa taro foto, profil, biodata, sampai notifikasi ke setiap anggota keluarga kala salah satu di antara keluarga kamu itu ada yang ultah atau rayain hari istimewa apalah.
    Misalnya kamu merayakan Lebaran, Natal, Tahun Baru, Imlek, Nyepi, dll, kamu bisa upload video di Gini.com ini. Atau foto-foto kamu sama pacar, sama temen deket yang akan kamu jadiin pacar, atau diam-diam naksir kamu tapi lagi ngambek karena kamu jalan sama orang lain. Dan yang kerennya, anggota keluarga kamu lainnya yang gak hadir bisa tetap merasakan kebersamaan keluarga berkat video atau foto yang kamu bagi.
    "Bukan kebersamaan keluarga dodol!"
    "Jadi apa dunk?"
    "Kehangatan keluarga," kata Mayolush, temen gw itu.

    Jejaring "laba-laba"+sosial


    Gini aja, kalau kamu gak puas dengan Facebook dan Twitter, tenang saja, ada banyak situs jejaringan sosial yang kayak laba-laba itu yang bisa kamu ikuti. Dari yang sudah lama banget eksis sampai yang baru mulai banyak dilirik. Kamu mau tahu gak? kalau gak, gpp deh....
    Yang pertama kita menuju ke formspring.me.
    Penasaran ya? kalau gitu baca seterusnya. Di formspring.me, kamu bisa bertanya apa saja. memang tempat ini buat orang-orang yang rame kayak kamu untuk bertanya-tanya. Tapi usahakan agar gak kelihatan begonya. Xixixixixixixixi!!! Situs ini diciptakan sebagai ruang tanya jawab buat teman-teman atau siapapun itu, untuk nanya ke kamu. Biasanya sih, dimulai dari pertanyaan iseng, kamu lagi ngapain dan udah maam atau belom? (Desni tahu banyak soal pertanyaan itu...wkwkwkwk). Tapi pertanyaan yang mereka lemparkan juga kadang beratnya minta ampun. Misalnya, bagaimana membedakan laki-laki dan perempuan jika hanya kelihatan jempolnya?


    Nah, di formspring.me ini, kamu bisa menyiarkan respons kamu atas pertanyaan yang kamu anggap menarik ke Tumblr, Twitter, Facebook, atau Blog milik kamu sendiri. Kayak yang lainnya juga, formspring.me gratis. Itu artinya kamu gak perlu bayar waktu registrasi. Sign-up-nya aja mudah. Cuma kayaknya kamu butuh satu menit untuk buat akunnya.
    "Itu mengandaikan kalo lu ketik pake sebelas jari...nah, kalo gw yang pake dua jari, bisa sejam kelarnya."

    Tatakota+nenek (Roro)

    45


    Apa yang tidak dipunyai tempat kelahiran kami adalah tatakota yang baik.
    "Mungkin juga arsitek yang handal," jawab Si Sulung. Ketika itu kami berempat sedang berdiri di depan pagar tembok sambil melihat dengan bengong anak-anak bertelanjang dada main lompat kotak di gang sempit itu.
    "Mungkin juga orang seperti Nenek," celetuk Si Bungsu. Memang dua hari terakhir ini dia sering mengigau tentang Nenek dan itu pertanda Nenek akan segera pergi jauh dari kami semua.
    Kenapa harus orang seperti Nenek? Jangan terus berpikir keras, nanti otakmu pecah. Begini saja, kau duduk manis di kursi kayu itu dan kami bercerita kepadamu. Jika kau bosan, kau boleh meninggalkan kami bercerita di sini sendiri.


    Kota kami memang tak berkekurangan namun, menurut Si Tengah, yang merujuk pada pendapat Si Bungsu, kota kami tak punya orang seperti Nenek. Orang yang tak punya pikiran tentang menata kota. Dia mungkin tak tahu apa itu tatakota. Nanti akan kami tanyakan secara langsung jika punya kesempatan dan keinginan menjenguknya.
    Soal tatakota ini, kami mendapat sumbangan pikiran dari teman kuliah kami yang bernama Nic Door. Sesuai nama belakangnya, dia adalah pintu. Pintu dimana kalau kami membukanya, kami akan kejatuhan buku-buku tebal yang uptodate. Masuk selangkah ke dalamnya, kami akan melihat rak-rak buku menjulang tinggi ke langit-langit yang anehnya tidak nampak biru tapi orange.
    "Emang, ada jeruk gede banget di atas."
    "Bisul ajul lul."
    Tangga melingkar akan membantu orang-orang untuk sampai pada buku yang dicarinya. 
    Sesuai nama belakangnya, Door, Nic juga mengatakan bahwa orang yang tinggal di kota, harus mulai pindah ke kota kecil.
    "Urbanisasi itu jadi alternatif ke-8 atau 9. Relokasi penting sekali sehingga rumah-rumah tidak dibangun menumpuk di kota sampai-sampai nanti suatu saat kalau kau sudah menikah, kau harus pergi ke luar negri atau ke Lombok, misalnya, kalau tabungan cukup, untuk mendapatkan privasi bercinta."
    "Kenapa sampai begitu?" kami bertanya, memancing, pura-pura bego, padahal pada dasarnya bego. Semua teman kuliah juga tahu. Tapi buat yang sudah tahu, diam-diam ya. Tq!
    "Karena tak ada jarak. Terlalu sesak. Susah bernapas. Apalagi menjerit waktu kau nanti setelah menikah--orgasme."
    Demi mendengar itu, kami sedih sekali. Oh, kesesakan kota dan ketakutan orang desa, apakah yang mesti dicuri lagi dari kemanusiaan kami? Bahkan untuk menjerit saat orgasme pun, kami tak bisul.

    Tubles+pacaran (Roro)

  • Senin, 11 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label , , ,
  • 44

    Berjalan sebentar lebih jauh di tengah malam buta. Di samping kiri, seorang gadis cantik sedang duduk jongkok.
    "Ngapain, cez?"
    Gadis itu sedang menunggu motor pacarnya atau miliknya sendiri diperbaiki di Tubles. Dia lalu memandangi kami terus-menerus, tak putus-putusnya seperti seorang sakratul maut memanjatkan doa, seolah kami akan didapatinya berbuat suatu kejahatan. Tapi...dia mungkin saja kecewa sebab kami segera menghilang ke dalam malam, jauh dari lampu dan kehangatan yang eksklusif. Bahkan orang-orang yang datang ke dunia eksklusif itu pun berbicara hanya kepada istri, suami, anak, pacar, atau saudara yang pergi dengannya.
    "Bagaimana kalau itu selingkuhan?"
    "Meneketehen."
    Mereka bahkan semakin jauh dari dunia yang sudah eksklusif itu. Dunia yang tak lebih dari 4-5 orang. Tertawa dan bercerita seolah tak ada orang lain di samping kiri-kanan mereka. Semua orang mengklaim sebanyak mungkin dunia kerlap-kerlip itu. Dan rombonga kami pun menjauh. Terbenam dalam kelam dan berbisik satu sama lain.
    "Mana Pa'Nick?"


    Ah, terus terang saja, kami berharap Roro kami jumpai atau kami dengar namanya disebut. Namun dia bagai pesan Ibu yang absurd dan diselimuti takhayul.
    "Kau juga tak perlu Roro yang menghabiskan waktu untuk makan makanan asing dan siap saji kan?" tanya Pa'Nick dari arah depan, seakan mengajak kami berkelahi, membuka kegetiran kami, membayangkan Roro yang Ibu sanjung-sanjung terselip di antara ketiak para penyuka makanan asing.
    "Lantas kenapa kalau mereka doyan makanan asing?" Anastasya bertanya, seolah dia tersinggung.
    "Asal saja mereka tidak menjelek-jelekkan makanan bangsa sendiri."
    "Sok Nasionalis sejati lo!" seru Julbee dari arah samping.
    "Ih, ini anak, muncul dari mana die?"
    Dan tertawalah mereka, dalam keakraban yang sudah dinantikan sejak setahun silam. HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!!





    Kompensasi+psycho (Roro)


    43


    Lebih enak pulang jalan kaki. Menunggu angkutan umum untuk seorang teman tadi, tapi tidak dapat. Maka kami melanjutkan perjalanan sampai berpisah di sebuah perempatan. Air tergenang di pinggir jalan, membuat kami mesti mengukur kapan mesti lewat kapan mesti berhenti, dan sejauh apa percikan air cokulut itu jika kendaraan beroda lewat?
    'Seru tapi kesal!"
    Kenapa?
    "Seru karena aku jalan berpegangan tangan dengan cewekku. Dan kesal karena aku mesti pasang badanku agar dia tidak keciprat air jorok."
    Dan sepasang kekasih itupun berjalanlah. Di sebuah tempat rekreasi yang baru dibuka sebulan yang lalu, di dekat rumah kami, orang-orang pada sibuk memarkir mobil. Seketika kami melihat dunia eksklusif dalam dunia besar yang pelan-pelan hancur. 
    "Seperti kota Gotham dalam BadMan?"
    Pelarian psikologi dari orang-orang yang muram dan tak tega melihat dirinya hancur. Mereka meninggalkan kesemberawutan di sekitar rumahnya dan memilih duduk-duduk di tengah taman bunga Poison Ivy. Di tengah lampu-lampu gantung yang ditata mirip penyambutan perayaan 17-an Agustus atau tahun baru. Dunia kecil ini begitu indah. Tak ada duka dan bencana, seakan tak ada tragedi mengincar tumitmu. Seakan tak ada tragedi Situ Gintung, atau seakan tak pernah ada pedagang obat kuat di warung remang-remang di pijok sana.
    "Ini, dari sini lu bisa langsung liat mbak-mbaknya jualan."
    Orang-orang yang datang dengan mobil dan parkir, kelihatan bahagia sebab malam telah gelap sangat. Lampu dinyalakan sebagai penghangat. Kegelapan yang mendominasi memaksa segelintir orang berduit berlari ke dalam dunia-dunia kecil yang penuh lampu gantung, makanan cepat saji dan pelayan-pelayan yang baik hati, juga tukang parkir yang ramah.
    "Semuanya atas nama uang dan penyambung napas," celetuk Si Tengah.
    "Asal kau jangan begitu saja."

    Super+konfidens (Roro)

  • Minggu, 10 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label ,
  • 42

    Kepercayaan diri kami bertambah tinggi hari ini. Ada alasan tentunya. 
    Dari rumah, kami berdandan habis-habisan, tidak berharap ditaksir sama salah satu gadis tapi hanya mencoba memberi kenyamanan untuk semua orang di tempat kami datang. Kami bertemu dengan seorang teman kuliah yang baik hati tapi prinsipil minta ampun. Tapi kami sedikit ternganga dengan ibu-ibu yang berpakaian mini.
    "Udah tuir kok begitu?"
    Kami lalu pergi ke warnet, mencari bahan tentang Ekologi. Selama masa penantian loading, sering sekali kami beradu pandang dengan gadis cantik dengan anting-anting putih besar, sebesar lingkaran leher kami. Ketika dia menahan senyumnya, kami tambah mengembung. "Seperti jurus kodok dalam salah satu film Stefen Chao?" tanya Si Sulung menggodai.
    "Jantung pun ikut menggelembung, bos," timpal kami.
    "Itu namanya jatuh cinta pada pandangan pertama."
    "Sotoi lu!"


    Kenapa sotoi?
    Sebab gadis itu, dengan kelompoknya yang terdiri dari gadis-gadis cantik dan cowok-cowok ganteng, sedang duduk bersenderan sambil menyanyikan sesuatu. Tapi, anehnya, dia yang paling sering melihat ke arah kami. Mungkin dia seorang teman Roro? Pulangnya, kami tak lagi melihat wajahnya. Habisa dari situ, kami pergi berbelanja keperluan kamar mandi sebentar di salah satu tempat jualan. Karena kami merokok, kami berdiri di luar saja, mengutus yang lainnya masuk. Setelahnya, kembali ke rumah?
    Malam yang baru selesai hujan, terasa hangat dan menyenangkan. Melihat gairah keramaian diuber-uber dimana-mana. Orang-orang belanjar makanan gorengan, sebab mungkin mereka tidak masak di rumah, dan jajan pada akhir pekan di luar rumah jauh lebih menyenangkan. 
    "Apalagi dengan selingkuhan!" seru Si Sulung.
    "Sotoi lu!"







    Bulu kaki+wanita (Roro)

  • Kamis, 07 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 41

    Kami bertemu lagi dengan wanita kasir di Indomaret itu lagi. Masih "Bercahaya" dan menarik hati seperti pertama kali kami melihatnya. Sebagai kasir, sebagai kasir memang seharusnya dia baik dan rajin senyum. Tapi lebih dari pada itu, kebaikan dan senyumnya memang berasal dari dirinya sendiri sebagai keseluruhan pribadi terbaik yang pernah kami temui.
    "Dia begitu menggoda kan?" goda Si Tengah. Dia baru saja keluar dari kamar mandi yang lubang saluran airnya tertutup bulu apa rambut yang kami curigai milik Si Bungsu. Kenapa Si Bungsu tak berdosa itu yang dicurigai? Yah, karena dia baru sadar kalau dirinya beranjak dewasa dan bermunculan rambut atau bulu di sekujur tubuhnya. Si Sulung pernah nyeletuk kalau Si Bungsu takut dibilang monyet.
    Herannya, pikiran birahi tak melintas di benak bila mengenang-ngenang dia. Orang berkata: "Itu cinta Platonis atau ketertarikan cinta asali." Dimana jiwa bertemu dengan jiwa. Jiwanya yang bercahaya mempengaruhi kami hingga kami ikut punya cahaya. Diam-diam kami berharap Roro adalah semacam kembaran dari wanita ini.


    Hari itu di rumah agak sepi, tapi stereo yang mengalunkan keroncong dan burung beo tetangga yang ngomong "slamat pagi-slamat pagi" menggaduhkan suasana. Kegaduhan yang anehnya menentramkan. Serasa kembali berada di rumah. Maka kami mulai berjalan mengukur setiap tapak rumah kami dan bercerita pada kegaduhannya tentang wanita kasir ini: "Dengan jilbabnya, dia lebih cantik, lebih wanita dari pada gadis-gadis yang sering kami temui atau lihat bahkan sering lihat dengan pakaian yang semakin menunjukkan mereka adalah perempuan, wanita, sebab dengan begitu mudah kami melihat pusar terawat yang berbeda dengan pusar kami yang ditumbuhi bulu-bulu halus (laki-laki), dada yang halus mulus, tidak berbulu seperti kami. Dan pahanya mulus tak berbulu tergulung-gulung, kritingnya seperti punya kami."


    Hari telah bergulir ke senja. Rumput yang hijau agak kuning dan tergurat-gurat merah muda di kejauhan adalah imaji kami, bukan realitas, sebab mana ada di kubangan batako dan aspal ini ada terselip rumput hijau? Meski begitu sebagaimana para sastrawan, kami bertanya juga: "Apakah Roro punya kumis dan bulu kami?"
    Dan Si Tengah menimpali dengan gayanya yang pecicilan: "Dan apakah Ibu akan ngakak jika benar begitu?"





    Berdarah+dingin (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label





  • 40


    Kami ingin menjadi berdarah dingin dan profesional seperti James Bond dalam Quantum of Solace. Tapi secara fisik, kami lebih mirip Pierce Brosnan yang berbulu. Tak peduli soal itu, kami mulai kehilangan sebagian besar masa remaja yang berharga sebab kami tidak bisa mengingatnya dengan runut.

    Teologi+tubuh (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 39

    Kuliah kami hari ini benar-benar menakjubkan. Membahas tentang tubuh. Tubuh yang adalah ciptaan Tuhan atau dalam bahasa filsafatnya tubuh yang dibentuk oleh zat tertinggi, sebuah entitas yang suprasemesta? Ah, biarlah para filsuf atau failasuf yang berbicara panjan glebar soal itu, kami hanya ingin menceritakan yang ini.
    "Di luar tubuh sakralmu--"
    "Tubuh sakral yang gimana maksudnya?"
    "Tubuh yang dibentuk dari tanah liat, pada saat hujan, dan dihembusi napas, sehingga menjadi bagian dari kesucian pencipta itu sendiri. Tubuh yang tidak boleh dilihat hanya sebagai fisik yang bisa hidup, consummatum, dan mampus."
    "Oh, begitu..."


    Tapi di luar semuanya itu, kenyataan teknologi dan media massa, pelan-pelan merusak salah satu sisi sakrak dan indah dari tubuh person, individu, uniq, dan berbeda satu dengan yang lainnya. Tubuh yang punya nama: Hitler atau Nietchze atau nama-nama populer lainnya. Di luar sana, oh, di luar sana, oh, di luar sana...
    "Mulai lebay deh lu," cemooh Si Sulung.
    Emhhhhh...di luar sana, misalnya, seorang adik perempuan menemukan bahwa sang kakak bisexual, bekerja di sebuah salon kecantikan sekaligus sebagai germo alias mucikari. Dia selalu dalam mobilisasi tinggi. Mengantar cewek-cewek muda yang menjadi langganan di salon sekaligus member...
    "Tapi mreka ga ember kaya lu deh," itu ejekan Si Sulung lagi. Maka kami pindah ke dapur dan dari sana, kami menceritakan kisah ini padamu.
    Yah, mereka adalah member yang sekaligus bisa dibooking oleh om-om hidung besar itu. Bahkan teman cewek si adikpun ada dalam jaringan sang kakak. Pacar sekaligus member. Para member ini sangat agresif. Alasan dari semua tindakan mereka adalah Uang. Money. Doku. Duit. Sebab mereka tidak punya jalan lain lagi untuk mendapatkan uang. Si adik yang tahu sang kakak menjalani hidup demikian, akhirnya tak mengakui sang kakak sebagai kakak kandungnya.
    "Iya, kayak lu...gw ga ngaku lu ade gw...melow banget zih." Si Sulung Cerewet muncul di pintu dapur.
    "Kau mau buat kopi?"
    "Hari gene, minum kopi? Susu kaleee..." Lihat kan? Dia mulai jadi bencezz.
    Kakak beradik itu bertengkar hebat dan ada dalam ketegangan yang janggal. Mengetahui fakta demikian, kami takut setengah mampus.
    "Apakah ada nama Roro di situ?"
    "Gak lah. Orang ga disebut-sebut namanya." Si Sulung kami biarkan mengoceh.
    "Bagaimana perasaan Ibu ya?"
    "Roro ga ada di situ, tuliiiiiiii!"


    Kenyataan dunia memang busuk. Ilmu pengetahuan  dan teknologi justru nyaris seluruhnya dipakai untuk tindakan-tindakan merusak kemanusiaan. Padahal dari awal Iptek gembar-gembor hendak memanusiaakan manusia. Buktinya, internet dan media massa terlalu sering mengekspos hal-hal negatif tanpa memikirkan hal-ahal positif yang bisa disebarkan kepada umat manusia.
    "Jangan jauh-jauh, di Jakarta Timur dulu kalo bisa." Si Sulung memang sok tahu. Dikiranya stasiun tv itu milik bapaknya? Sorry Pak, ngomongin nama lu.
    Sekarang, nenek atau kakek, tidak mengajarkan cucu-cucu untuk melakukan ini itu. Tapi manusia belajar dari massmedia. Pergeserannya semakin jauh. Kita tidak belajar lagi dari generasi terdahulu lewat oral tradition, tapi lewat benda teknologi, yang tentu saja tidak punya perasaan. Bukan belajar dari manusia tapi dari benda yang manusia ciptakan. 
    "Lu kira lu ga mendewakan teknologi? lu tau ga? Lu juga ga punya hati kayak mesin pembuat kopi." Si Sulung mulai bacot. Ini bakalan panjang. Jadi sebaiknya kami menyingkir ke atas. Sorry kalo kami tinggal, marah tuh sama Si Sulung Bacot.........dag!!!!





    Televisi+anak-anak (Roro)

  • Senin, 04 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 38


    Hari ini Minggu. Minggu adalah hari libur dan kami ingin bersenang-senang seperti semua orang lainnya. Tapi...
    Nonton di tv, orang-orang permasalahkan anak-anak dilibatkan dalam kampanye dan berpolitik. Dulu, kami seperti anak-anak itu. Tak pernah dimarahi apa-apa. Kami punya beberapa baju kaos partai, topi, sejumlah besar stiker yang kami tempelkan sesuka kami dimana saja. Bendera kami ikatkan di sembarang tempat. 
    "Rasanya cuma ada satu partai saja ya?"
    Soalnya jarang kami lihat warna lainnya. Anak-anak yang tak tahu apa-apa itu adalah kami, dulu. Berjoged di terik siang, berebutan naik truk, bis atau pikup. Bapak tak pernah setuju kami naik sepeda motor sendiri atau boncengan dengan dia. Makanya kami sembunyi-sembunyi dengan cara mengikatkan bendera partai di kepala untuk penyamaran darinya. 
    "Tapi, aneh Ibu, dia selalu tahu aku dimana."
    Kadang-kadang dia menyuruh kami pulang jika kami melanggar peraturan yang dibuatnya. Inilah peraturannya yang krusial itu:

    1) Ikut orang dewasa. Salah satu sepupu yang kalian kenal baik dan tidak jahat dalam masyarakat seperti biasa minum atau ribut-ribut di rumah.

    2) Tidak boleh duduk di atap bus, pinggiran truk atau pikup.
    3) Kalau disuruh Ibu berdiri dekat-dekat dia, harus patuh.


    Sementara itu, hari berganti petang dan kami hanyalah penonton yang tak bisa mengganti chanel. Di tv, orang-orang mempersoalkan anak-anak menonton penyanyi dangdut bergoyang erotis dengan memamerkan pusar atau celana dalam atau tali bra di panggung.
    "Bahkan orasi tak diperdulikan," kata seorang sesepuh kampung.
    "Tapi ini pesta rakyat,Mbah," debat yang lebih muda.
    "Jadi yang mesti ada adalah rakyat gembira. Buat apa orasi?" Si Sulung nimbrung dari pojok ruang rekreasi.
    Tapi apa pun pilihannya, tetap dipersoalkan. dan bertahun-tahun yang lalu, kamilah anak-anak yang diperdebatkan itu. sekarang kami suka lagu-lagunya Corinner Rea, John Meyer, juga Justine Timberlake dan Timbaland. Dangdutan dan pamer-pamor lekak-lekuk tubuh tak melekat pada pikiran dan akhlak kami.
    "Ga mengganggu kaleee, bos..."
    Kalau sedang kerja paper atau lagi acara kumpul-kumpul, kami biasanya dengar Enya dan Sarah Brightman.
    "Ah, biasanya setelah kampanye, semuanya jadi hambar," celetuk Si Bungsu dari baris depan ruang rekreasi.
    "Sok tahu lu," balas Si Tengah. Matanya melotot pada penyanyi dangdut yang perutnya penuh lemak.
    Kebahagian yang semu, bagi kami. Tak perlu mempengaruhi jiwa kami. tapi tetap saja. 
    "Aku tidak setuju kalau tidak ada alasan yang kuat untuk anak-anak sekolah ikut kampanye bahkan kemudian orang-orang dewasa melanggar lalu lintas."
    "Topi dan kain jadi helm?"
    Ah, dasar tolol........UTAMAKAN KESELAMATAN!



    Kampanye+dangdut (Roro)

  • Minggu, 03 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 37


    Beberapa hari, setelah pulang sekolah, kami berpencar untuk menempelkan stiker partai. Logo dan nama partai. Juga mengikat bendera partai. Stiker itu kami tempelkan di pintu depan rumah para tetangga. Di jendelanya dan di pagarnya juga. Yang anehnya tak pernah kami menempel stiker atau bendera yang bergambar orang. Caleg jarang sekali kami kenal sebab kami lebih suka menanti para penyanyi lokal naik ke panggung. Lagu-lagu pop populer diaransemen ulang dan liriknya diganti pula sesuai kebutuhan propaganda. Untuk satu partai itu, kami sampai hafal lagunya. 
    "Lagu dangdut."
    Biasanya dengan speaker-speaker besar bersusun tinggi, membawa kami anak-anak berjoged ria, menggila di terik matahari. Para orang dewasa tampak senang, sesekali bergoyang.
    "Seorang artis pernah jatuh di tangga panggung, Kawan."
    "Itu karena dia pake sepatu hak tinggi."
    "Iya. Kakakku yang SMA berlari menyerbu, ingin melihatnya."
    Kami tertawa terbahak-bahak. Yah tentu saja, mereka berlari ingin melihat apakah dia terluka atau rok mininya robek dan....


    Sekarang, kami tak tahu dan tak peduli apa yang dilakukan Bapak. Tak terdengar kabar dia sibuk dengan partai atau kampanye. Kakek mungkin sudah mempengaruhinya. Lagi pula Bapak tidak muda dan seenergik dulu lagi. Kami toh tak mau dia pingsan atau kenapa-napa. Cukup dia darah tinggi saja. Jangan sampai dia stroke di hari tuanya sebab [artainya kalah.


    Dan...Si Sulung naksir cewek yang bekerja di MySalon. Mungil orangnya. Sedangkan saudara kami ini kekar. 
    Katanya: "itu ideal. Saling mengisi."
    Kami bilang: "drum besar membutuhkan air yang banyak, tapi air yang banyak akan terbuang percuma untuk secangkir teh."
    Tapi dia juga naksir seorang kasirberjilbab di Alfamart atau Indomaret. Alasannya," karena wanita ini sering naik angkot bersamaku, Dia begitu sopan santun. Dan bahasanya bagus. Sesuai dengan EYD-lah. dapat dispensasi untuk ngga-nya juga misi-nya." Itu bukan satu paket dengan visi, ini misi yang berarti permisi bos. Misi yang temannya visi itu akan kau temukan dalam partai atau senat kampusmu.
    "Visinya adalah menjadi masyarakat intelektual post-modern yang bisa digaji."
    wkwkkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk..............(kami kemungkinan besar akan pergi bermain biliar dengan membawa misi ini. Semoga ketemu Acek, Frent, Reeno, dan Oom Son supaya kami bisa menanyakan apa misi mereka.) wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkw..........

    Parpol+infantil (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 36

    Setelah 7 tahun dan tidak mengikuti dari dekat lagi aksi kampanye terbuka di Kota Madya kami, kami kini menonton tv yang menggambarkan apa yang dulu kami sering lakukan. Sebenarnya sebagian besarnya tidak, sebab dulu kami mempunyai seorang tetangga yang di masa mudanya sudah menjadi kader partai.
    Kata Ibu: "Om itu pernah menjadi anggota DPRD dari partai yang dicintainya itu."


    Saat-saat seperti ini dia akan memanggil kami dan menjelaskan tata-cara melaksanakan aksi ini:
    Pertama: "Pakai baju kaos satu warna ini. Kalau mau pakai topinya silahkan. Semuanya gratis." Bahkan Bapak dan Ibu punya jaket dari partai om itu. Dibagi gratis.Tidak semua orang dapat. Cuma orang-orang terkemuka seperti Bapak, dan nebeng, Ibu.
    Kedua: Setiap kami membawa kantong kain besr, sewarna partai itu, di dalamnya sudah diisi bendera dan stiker besar-kecil. Ada yang bisa langsung ditempelkan tapi ada yang mesti pakai lem takol dulu.
    Ketiga: "Tempelkan dimana saja yang bisa dilihat orang. Pintu rumah dan tiang-tiang listrik, di pinggir jalan terutama."
    Keempat: Sering kami dikasih uang akomodasi. Tapi Bapak melarang kadang-kadang, kalau dia kebetulan ada di dekat situ. Dia tidak suka anak-anaknya dibayar. "Ini pesta rakyat." Partainya, kenapa harus dibayar? Beras dan hidup kami itu, menurut Bapak, adalah kebaikan partai itu. Lagi pula gengsi Bapak besar sekali. Dia orang mapan. Tak suka dibayar.





    Aku+membaca

  • Jumat, 01 Januari 2010
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • <a href="http://www.goodreads.com/book/show/1337751.Larung" style="float: left; padding-right: 20px"><img alt="Larung" border="0" src="http://photo.goodreads.com/books/1182844554m/1337751.jpg" /></a> <a href="http://www.goodreads.com/book/show/1337751.Larung">Larung</a> by <a href="http://www.goodreads.com/author/show/491233.Ayu_Utami">Ayu Utami</a><br/><br/>

    gw kalah sm Desni yg malas baca buku itu...dia bhkan udah mw habisin bilangan fu....astaga, gw telat bgt!

    <a href="http://www.goodreads.com/review/list/2882355-antonini-ramon">View all my reviews >></a>

    Party+rakyat (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 35

    Party  rakyat. Sewaktu SD, guru PSPB, sebelumnya guru P4 menyuruh kami, "setelah pulang sekolah, pada jam tidur orang dewasa, mandi bersih-bersih, berpakaian dengan rapi dan pergi dengan buku dan ballpoint untuk mencatat apa saja di stand-stand yang dibuat di lapangan sepak bola Kota Madya."
    Biasanya ada bapak-bapak berkemeja kain kasar yang baik hati yang menjelaskan dan menjawab pertanyaan kami.
    "Waktu SMP juga begitu kan?"
    "Tapi itu di lapangan sepak bola tim kesayangan saya."
    "Kami juga dunk."
    Sehingga kami jadi kesal setengah mampus melihat orang-orang bertubuh kekar sedang menggali tanah, merusak rumput, terlalu banyak, untuk mendirikan panggung.
    "Tapi tidak anyak warna yang membuat panggung semarak ya?"
    Sehingga kami hanya sempat melihat orang-orang dari 3 atau 4 partai.
    Bapak bilang: "Itu partai-partai besar."
    Tapi Kakek bilang: "Itu partai-partai kecil." Waktu dia masih muda dan berjaya, partai-partai itu jauh lebih besar lagi. "Sekarang sudah pisah-pisah. Mereka tidak lagi mengikuti perjuangan yang dulu."
    Ah........kami tidak mengerti jika berbicara dengan Kakek. Jika dalam saat "genting" seperti itu, Oom-oom akan memanggil kami dan menyuruh kami memasang bendera di jalan kelurahan. Waktu kampanye ini, rasanya asyik sekali. Anak-anak dan remaja, juga preman-preman yang sering usilin kami di kelurahan atau rw tetangga, baik seklai, bersahabta dengan kami.
    "Ih, aneh banget!"
    Semua orang akan duduk, bercerita, bersenda gurau sampai tengah malam menyambut. Mereka saling memperhatikan, menjaga. Kejadian-kejadian seperti tawuran, pencurian, pertengkaran, antar warga, bahkan kompor meleduk, tetangga yang memukul istrinya, berhenti. Ti...ti...ti..Kami anak-anak yang bakalan paling senang. Kami dapat apa  saja yang kami inginkan. Melakukan hal-hal yang dikerjakan orang dewasa sekaligus kesukaan kami. Biasanya setelah disuruh ini itu, kami dibebaskan bermain kemana angin petang membawa. Angin yang biasanya menyapu dari balik bukut berumput kuning itu. Angin yang menebarkan aroma padang dan bunga-bunga liar seakan kami adalah anak-anak surga yang tak berdoa dan tak akan mati karena dosa asal. Kami akan terbuai terbang kemana saja tanpa takut tersesat atau celaka. Atau takut dicubit dan dijewer Ibu. Atau bahkan dipukul pake batang sapu ijuk oleh Bapak. Ini benar-benar paradisum. Dunia dimana canda dan tawa jadi ingatan. tak ada yang membuat kami lelah dan ngeri. Kota madya rasa seperti surga.


    Tapi sesekali kami jengkel kalau lapangan sepak bola tim kebanggaan kami digali-gali. Namun anehnya, apa yang muncul di atas galian itu akan membuat kami gembira lagi. Setelah mandi bersih-bersih (minyak rambutnya curi punya Bapak) sebab Bapak paling benci anak-anaknya jorok. Keset saja, harus diseterika setelah dicuci dan dijemur kering. Untuk kemudian, Kakek yang mengeluh kedinginan, berdiri di atasnya sambil menumpahkan kopi yang diseruputnya degan bibir keriput saat sore-sore ketika dia memperhatikan orang-orang yang lewat dan menyalaminya di jalan depan rumah.





    Kampanye+anak-anak (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 34


    Kami suka keramaian. Sesekali melihat kampanye terbuka partai-partai di jalanan, koran maupun televisi. Tapi jangan pernah lupa radio. Bagi kami, radio telah digeser oleh perkembangan teknologi. Tapi jika dibandingkan efeknya, teknologi paling mutakhir bertanggung jawab nyaring 90% untuk kekacauan masyarakat. Terkhusus generasi muda dan anak-anak sekolah yang masih menyeka ingus pake punggung tangannya atau kerah bajunya itu.
    Dulu...dulu sekali...waktu masih kecil, tinggal di kota yang tidak sebesar metropolis, kami selalu girang menjelang PEMILU. Bapak dan Ibu, juga Oom-oom yang notabene (bene punya nota?) tokoh terpandang di masyarakat, selalu sibuk. Rumah sibuk. Banyak orang datang untuk berbicara dan mengotori rumah dengan abu rokok, puntung rokok, minuman yang menetes atau tumpah. Piring dan paganan. Orang-orang yang tidak berpengaruh dalam masyarakat tapi kami kenal baik, akan berbicara soal partai-partai dan politik setiap kali mereka buka mulut.
    Kami lalu pergi bermain.


    Saat-saat seperti ini, orang-orang dewasa akan menjadi tidak peduli pada kami dan sekaligus jauh lebih memperhatikan kami. Sehingga kami dapat memperoleh semua keluasan yang kami kehilangan pada masa-masa sebelumnya. Tapi....setelah masa yang singkat itu berlalu, kami anak-anak, dicekoki lagi dengan sejumlah larangan berbau takhayul dan sikap kasar orang-orang dewasa. Hingga super-ego kami nyaris pecah, penuh, sesak..."Dan meluap-luap," kata No Cahanz.
    Kembali pada kampanye. Sejak lahir, sejak orok (kalo Org itu yg di film TLOTR), kira-kira ada 3 kampanye terbuka yang kami ikuti sepenuhnya di kota kecil kami. Kami pergi sendiri ke tempat-tempat diadakannya kampanye. Kata Bapak dan Ibu:
    "Kampanye itu pesta buat rakyat. Semua orang pokoknya."
    Kami bertanya dengan tampang bloon, "Jadi rame, isinya hura-hure?" dan kami terlalu bahagia hingga tak ambil pusing dengan PR atau pergi ke sekolah. Hura-hure memenuhi kepala kami yang berbatok kecil (sorry Bato, singgung2 nama lo). Yang kami tidak suka, di sekolah, ibu dan bapak guru tidak pernah berbicara tentang kampanye. Mereka mengajar seperti biasa. Maka kami biasanya menunggu sampai waktu istirahat atau pulang sekolah agar bisa berpesta. Guru-guru kami mungkin saja benci pesta. Jika ada kampanye, susah menemukan guru-guru kami di tempat itu. Sesekali kami melihat mereka lewat dan berdiri mematung di garis terjauh gerombolan manusia.
    Kemudian pergi sebelum acara selesai (entah kenapa penyanyi dangdut jadi favorit tutup acara?)

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica