46
Dari pembicaraan dengan Door, kami sadar bahwa kami lebih mirip Ibu. Kami lebih suka menanam segala macam bunga yang bisa di dapat dari tetangga di halaman rumah kami. Ibu akan berkeliling pagi, siang, sore, dan malam untuk menikmati ruang kosong itu, yang baru kemudian, dari Nicky, kami tahu ruang kosong itu disebut dengan berbagai versi.
"Taman" kami bilang kami sudah tahu.
"Ruang terbuka" yah memang terbuka, anak kecil juga tahu.
"Pekarangan taman obat" ini mulai agak rumit.
"Lahan serapan air" dia mungkin bercita-cita menjadi insinyur pertanian, dulu.
Kami jadi mengidamkan kota kelahiran kami berubah landskap menjadi tata kota di pedesaan Eropa dan Amerika. Satu hal yang ingin sekali kami bicarakan dengan Bapak agar dia membicarakannya dengan anggota-anggota partainya yang lain. Kalau mereka dapat kursi, setidaknya mereka dapat mengingatkan masyarakat akan tata kota itu. dari kenyataan itu, ada hal yang aneh. Sebab menurut Kakek, tanah di suatu tempat adalah tanah milik pemerintah negara itu.
"Sehingga untuk membangun sesuatu di atas tanah itu, kita mesti minta izin," kata Kakek.
Lalu, kenapa pemerintah tidak membuat peta tata kota saat ini dan memperhatikannya? Aparat pemerintah banyak. Masih banyak pembangunan yang tidak sesuai dengan tata kota.
"Kemana fungsi kontrol pemerintah?" tanya Si Bungsu tiba-tiba kritis.
Kecuali orang-orang seperti Kakek kami hanya duduk-duduk saja di kantor.
"Bangunan toh tak jadi dalam semalam," sergah Si Sulung dari arah dapur. Dia lagi bikin kopi untuk tamunya di kamarnya.
Tapi, entah kenapa, kami merasa bersalah sekali. Rasanya ada yang kurang pada diri kami. Seperti kami baru saja menipu orang baik-baik. Seperti kami menyelewengkan kepercayaan seorang teman. Dan benar saja, ketakutan terbesar kami sebelum tidur malam ini adalah "tidak dipercayai lag oleh orang lain, terkhusus teman-teman kami."
Kami akan hancur jika hal itu sampai terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar