43
Lebih enak pulang jalan kaki. Menunggu angkutan umum untuk seorang teman tadi, tapi tidak dapat. Maka kami melanjutkan perjalanan sampai berpisah di sebuah perempatan. Air tergenang di pinggir jalan, membuat kami mesti mengukur kapan mesti lewat kapan mesti berhenti, dan sejauh apa percikan air cokulut itu jika kendaraan beroda lewat?
'Seru tapi kesal!"
Kenapa?
"Seru karena aku jalan berpegangan tangan dengan cewekku. Dan kesal karena aku mesti pasang badanku agar dia tidak keciprat air jorok."
Dan sepasang kekasih itupun berjalanlah. Di sebuah tempat rekreasi yang baru dibuka sebulan yang lalu, di dekat rumah kami, orang-orang pada sibuk memarkir mobil. Seketika kami melihat dunia eksklusif dalam dunia besar yang pelan-pelan hancur.
"Seperti kota Gotham dalam BadMan?"
Pelarian psikologi dari orang-orang yang muram dan tak tega melihat dirinya hancur. Mereka meninggalkan kesemberawutan di sekitar rumahnya dan memilih duduk-duduk di tengah taman bunga Poison Ivy. Di tengah lampu-lampu gantung yang ditata mirip penyambutan perayaan 17-an Agustus atau tahun baru. Dunia kecil ini begitu indah. Tak ada duka dan bencana, seakan tak ada tragedi mengincar tumitmu. Seakan tak ada tragedi Situ Gintung, atau seakan tak pernah ada pedagang obat kuat di warung remang-remang di pijok sana.
"Ini, dari sini lu bisa langsung liat mbak-mbaknya jualan."
Orang-orang yang datang dengan mobil dan parkir, kelihatan bahagia sebab malam telah gelap sangat. Lampu dinyalakan sebagai penghangat. Kegelapan yang mendominasi memaksa segelintir orang berduit berlari ke dalam dunia-dunia kecil yang penuh lampu gantung, makanan cepat saji dan pelayan-pelayan yang baik hati, juga tukang parkir yang ramah.
"Semuanya atas nama uang dan penyambung napas," celetuk Si Tengah.
"Asal kau jangan begitu saja."
0 komentar:
Posting Komentar