36
Setelah 7 tahun dan tidak mengikuti dari dekat lagi aksi kampanye terbuka di Kota Madya kami, kami kini menonton tv yang menggambarkan apa yang dulu kami sering lakukan. Sebenarnya sebagian besarnya tidak, sebab dulu kami mempunyai seorang tetangga yang di masa mudanya sudah menjadi kader partai.
Kata Ibu: "Om itu pernah menjadi anggota DPRD dari partai yang dicintainya itu."
Saat-saat seperti ini dia akan memanggil kami dan menjelaskan tata-cara melaksanakan aksi ini:
Pertama: "Pakai baju kaos satu warna ini. Kalau mau pakai topinya silahkan. Semuanya gratis." Bahkan Bapak dan Ibu punya jaket dari partai om itu. Dibagi gratis.Tidak semua orang dapat. Cuma orang-orang terkemuka seperti Bapak, dan nebeng, Ibu.
Kedua: Setiap kami membawa kantong kain besr, sewarna partai itu, di dalamnya sudah diisi bendera dan stiker besar-kecil. Ada yang bisa langsung ditempelkan tapi ada yang mesti pakai lem takol dulu.
Ketiga: "Tempelkan dimana saja yang bisa dilihat orang. Pintu rumah dan tiang-tiang listrik, di pinggir jalan terutama."
Keempat: Sering kami dikasih uang akomodasi. Tapi Bapak melarang kadang-kadang, kalau dia kebetulan ada di dekat situ. Dia tidak suka anak-anaknya dibayar. "Ini pesta rakyat." Partainya, kenapa harus dibayar? Beras dan hidup kami itu, menurut Bapak, adalah kebaikan partai itu. Lagi pula gengsi Bapak besar sekali. Dia orang mapan. Tak suka dibayar.
0 komentar:
Posting Komentar