46
Pulang kuliah hari Jumat...
Kami membantu teman yang kebanjiran sementara di rumah sendiri kebanjiran. Dari rumah Ibu menelepon, katanya mereka harus naik ke lantai dua karena banjir. Kakek marah-marah melulu. Nenek sibuk mengumpulkan guci-gucinya yang antik. Bapak malah santai saja. Dia meminta seorang bujang yang ikut dengannya untuk bantu-bantu di rumah, menaikan sofa dan ranjang ke kursi dan meja. Buku-buku dan pakaian di laci lemari bagian bawah dikosongkan.
Kami bertanya: "Apakah barang-barang kami di kamar bawah rusak?"
Tidak, di kamar atas yang rusak. Basah, sebab air hujan membias ditiup angin timur yang kencang.
"Aduh, banjir atas bawah sekarang," keluh Si Bungsu.
Kasihan Paman dan Bibi kami yang rumahnya berlantai satu. Apalagi rumah-rumah baru di depan mereka, fondasi dan garasinya tinggi-tinggi.
"Semeter di atas tanah. otomatis air hibaan lari ke rumah mereka," kata seorang teman.
"Kasihan!" yang lainnya menimpali, seakan mengasihani diri sendiri.
Tapi kami bilang pada Ibu: "Katakan pada Bapak, kalau partai dimana dia jadi salah satu motornya itu bisa memberi solusi kecil untuk orang-orang seperti Paman dan Bibi yang kebanjiran dan butuh tempat berlindung yang nyaman, seperti di rumah, dan tidak dibiarkan terlantar begitu saja, kami akan mencontreng partai itu untuk semua pemilihan, baik presiden maupun legislatifnya."
Ibu tak berkata apa-apa, meski kami mendengar seperti dengungan lebah di telinga kami. Sambungan telepon pun terputus dan kami hanya bisa bilang dalam kegetiran: "Kami akan jadi hamba partai itu jika kau baik-baik saja, Ibu!"
0 komentar:
Posting Komentar