Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Siapakah #DKI 1 Itu?

  • Selasa, 18 September 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , , ,
  • Siapakah #DKI1 Itu?

    Jumat, 14 September saya berangkat subuh menumpang communterline Bogor menuju Jakarta, kota yang selama tujuh tahun pernah menampung saya. Banyak kawan masih menetap di ibukota yang sering banjir dan macet itu (Bogor juga sering banjir dan macet. Tidak semua Jakarta banjir dan macet kan?), sebagian karena masih melanjutkan kuliah S2 sebagian karena sudah mendapatkan pekerjaan bagus. Sementara saya karena merasa Jakarta sudah cukup menampung saya, saya memutuskan untuk hijrah ke Bogor dua tahun lalu, kira-kira pada bulan ini, September.

    Yang membedakan September dua tahun lalu dan September sekarang adalah sedang hangat-hangatnya orang membicarakan siapakah yang akan menjadi #DKI 1, apakah Sang Gubernur sekarang atau Jokowi Sang Bupati Solo? Sebagian besar masyarakat yang mengaku berpendidikan #Lumayan, #WargaPendatang, #NonMuslim, #Dll, atau katakanlah saja semua warga Jakarta Raya yang menginginkan perubahan, mendukung Jokowi sebagai #DKI 1 dan berharap Bang Kumis kalah dalam pemilihan putaran kedua nanti. Para simpatisan Jokowi yakin sambil menunggu dengan berdebar-debar, sama seperti yang mereka lakukan pada pemilihan putaran pertama lalu, bahwa jagoan mereka yang akan menjadi #DKI 1.

    Saya bukan pendukung salah satu dari calon ini, dan bukan juga pendukung dari semua calon yang pernah ditampilkan. Secara sentimental karena saya bekerja dan tinggal di Bogor, saya bilang pada kawan-kawan saya yang di Jakarta bahwa saya memilih Alex dan Nono. Meski begitu saya tidak memakai hak pilih saya karena terhalang pekerjaan yang harus saya lakukan. Boleh dikatakan jagoan saya kalah telak, tapi saya tidak bersedih karena memang saya tidak sungguh-sungguh memilih salah satu dari mereka.

    APAKAH ANDA MERASA BERSUNGGUH-SUNGGUH MEMILIH SALAH SATU DARI BANG KUMIS ATAU JOKOWI NANTI? ATAU HANYA DORONGAN SENTIMENTIL SEPERTI YANG SAYA ALAMI. KEKASIH SAYA ORANG SUMATERA DAN SAYA TINGGAL DI BOGOR JADI SAYA MEMILIH ALEX DAN NONO?”

    Jika gaya memilih saya merupakan gaya memilih sebagian pemilih Jakarta, saya yakin bahwa Jokowi akan memenangi pemilihan putaran kedua ini dengan suara jauh melampaui perolehan Bang Kumis. Tapi entah kenapa saya merasa tidak yakin Jokowi menang. Bukan karena saya bukan orang Jawa, tapi karena saya melihat realitas yang sedang terjadi di masyarakat. Dan ini hidup sejak zaman dulu kala, salah satu factor kenapa Jokowi kalah.

    1) Dalam perjalanan saya menuju tempat tinggal kawan saya di Rawasari, saya melihat begitu banyak spanduk di pinggir jalan dan di mulut-mulut gang sempit, tempat orang-orang kelas menengah kebawah hidup berhimpitan. Spanduk itu berisi ucapan terima kasih warga setempat kepada Bang Kumis karena telah memperhatikan mereka selama masa jabatannya. Mereka berharap Bang Kumis terpilih kembali menjadi #DKI 1. Saya kenal beberapa orang di gang-gang sempit itu, dan dari cara bicara mereka saya kisa tahu dari suku bangsa mana mereka berasal. Suku bangsa inilah yang menjadi basis? Dukungan bagi Bang Kumis selama ini yaitu Betawi. Mereka merasa bagaimana pun Bang Kumis mewakili suara dan #Keminoritasan mereka di Jakarta yang mereka klaim sebagai tanah nenek moyang mereka sejak Belanda. Sementara itu saingan Bang Kumis non-Betawi, non-Jakarta. Ada kekhawatiran Jokowi tidak sungguh-sungguh memperhatikan orang Betawi yang makin hari makin termarginalkan dengan bertambahkan penduduk setiap kali #ArusBalikLebaran.

    2) Kira-kira pukul 10.13 saya sampai di tempat tinggal kawan saya. Dia sedang mengetik sesuatu pada notebook-nya dan menyambut saya dengan gembira. Orang Jakarta menyambut warga Bogor. Saya tertawa senang. Kami minum es cincau sambil ngobrol, tapi bukan tentang #DKI 1. Kira-kira tengah hari, masjid dan mushollah di sekitar situ mulai ramai. Orang Muslim sembahyang Jumat. Sambil ngobrol kami mendengar tema yang saya dari semua penceramah yang berbicara di pengeras suara. Intinya adalah sebuah rumah tangga yang baik haruslah terdiri dari suami dan istri yang seiman. Seiman dalam artian sama-sama Islam, jika seiman dalam agama lain, itu bukan urusan penceramah itu. Kemudian penceramah menganalogikan bahwa sebuah negara sama seperti rumah tangga, pemimpinnya harus seiman, sama-sama Islam, jika tidak negara itu akan kacau balau, dan si penceramah tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Menarik sekali. Bang Kumis dan pasangannya adalah Muslim, sedangkan Jokowi dan pasangannya, diketahui #PernahBerbauKristen. Yang harus dicatat, meski sila 1 Pancasila mengatakan yang enak kedengaran, tapi pemimpin di ibukota negara, haruslah Muslim. Tidak lebih tidak kurang.

    3) Pukul satu siang, setelah kenyang, saya naik 47 kemudian 52 menuju Stasiun Tebet, stasiun favorit saya pulang pergi Bogor-Jakarta. Sepanjang perjalanan dengan commuterline, saya mendengarkan radio. Di pertengahan jalan, radio itu memutarkan sebuah iklan alih-alih lagu-lagu bagus. Iklannya ternyata tentang bagaimana Bang Kumis sudah terbukti melakukan pekerjaannya (tidak dikatakan baik atau buruk), bagaimana Bang Kumis sudah menunjukkan bukti nyata dan sekarang sedang melanjutkan pembangunan, membebaskan Jakarta Raya dari banjir dan macet. Bandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi? Belum, karena dia bukan #DKI 1. Dan selam ini dia tidak menetap di ibukota negera. Lalu masyarakat ditanya apakah mereka akan memilih yang tidak pasti dan belum terbukti? Sekali lagi, inilah keuntungan seorang calon #DKI 1 yang pernah dan sedang menjabat sebagai #DKI 1.

    4) Bagi saya, idealisme buta akan realitas. Saya mendangar orang-orang mengeluhkan kinerja Bang Kumis kemudian orang-orang ingin dia turun dan digantikan dengan sosok baru yang membawa perubahan. Kemudian masyarakat Jakarta Raya ditawarkan banyak pilihan. Sebagain dari partai sebagian independen. Menariknya, masyarakat mengaku menginginkan perubahan tetapi mereka sedikit sekali memilih calon independen, yang boleh dikatakan bisa menyaingi #3FaktorBangKumis di atas untuk menuju #DKI 1. Apakah partai politik yang tolol atau masyarakat yang termanipulasi, saya tidak tahu. Nyatakanya sekarang, muncul dua sosok yang bisa dikatakan bertentangan. Yang satu pernah menjabat dan telah melakukan sesuatu untuk Jakarta Raya, yang lainnya belum. Yang satu mengklaim diri orang asli Jakarta Raya, Betawi, yang lainnya bukan. Yang satu Muslim dan yang lainnya berbau non-Muslim.

    5) Kalau boleh menyalahkan, saya akan menyalahkan pihak partai politik pengusung, seandainya Bang Kumis tidak bisa tergeser dari #DKI 1. Kenapa saya menyalahkan partai politik? Tentu saja, kenapa partai pengusung tidak melihat ketiga factor di atas ketika mengusung pasangan calon? Kenapa dukungan tidak diberikan kepada pasangan calon yang tidak bisa diganggu gugat tentang #Kebetawiannya #Keislamannya dan #PengabdiannyaBagiWargaJakarta? Kenapa partai mengusung calon pasangan yang bakal menyebabkan masyarakat menjadi terpecah antara orang Jakarte atau bukan, orang Muslim atau bukan, Melakukan sesuatu untuk Jakarte atau belum.

    6) Saya juga ingin perubahan sama seperti warga Jakarta Raya lainnya. Saya juga ingin banjir sedikit teratasi, macet bisa dikurangi, terlebih bagi saya, angka kejahatan berkurang di Jakarta Raya ini. Saya akan memilih #DKI 1 yang manawarkan #Keamanan dari tindakan kejahatan dari pada #Macet dan #Banjir. Apa gunanya bebas macet dan banjir, tapi nyawa kita tidak berharga di jalanan ibukota. Apa gunanya?

    7) Saya kira ini salah satu factor kenapa angka #GolPut makin banyak. Karena dari semua calon pasangan yang diusung partai politik, tidak ada yang sungguh-sungguh meyakinkan mereka. Yang ditawarkan adalah semua hal yang bersifat material. Masyrakat Jakarta Raya membutuhkan yang namanya #Kenyamanan #Ketenteraman #Ketertibab. Rasa aman adalah kunci perubahan di Jakarta Raya. Kalau soal #Macet, solusinya kenapa tidak minta ke Kementerian Perhubungan dan Transportasi? Kenapa tidak minta solusi dari Produsen mobil, show room-show room atau dealer motor? Stop saja import kendaraan, dijamin mengurangi macet. Kalau soal #Banjir, tanya pada diri kita, apakah kita begitu konsumtif? Apakah setelah mengkonsumsi sesuatu, bungkusnya kita buang pada tempatnya? Apakah kita peduli pada tanah serapan air?

    8) Jadi orang Jakarta Raya jangan cengeng. Kalau saya menjadi #DKI 1, saya akan bilang pada masyarakat Jakarta Raya bahwa “ENAK SAJA KAMU YANG BELI KENDARAAN BARU TIAP MENIT. KAMU YANG NYAMPAH SEMABARANGAN. KAMU YANG NUTUP TANAH DENGAN SEMEN DAN KONBLOK, KOK GUBERNUR YANG DISURUH BERESIN? TRUS KAMU SEBAGAI WARGA TUGASNYA APA? BIKIN MACET DAN BANJIR TRUS NGELUH?” Dan yang akan saya lakukan pertama kali adalah memberikan efek kejut pada preman dan orang-orang yang mengganggu keamanan di jalan raya.

    9) Saya berdoa semoga tidak terjadi #Bakar-bakaran atau #Rusuh-rusuhan sebelum dan sesudah #DKI 1 terpilih, siapa pun orangnya. Dan saya masih yakin Bang Kumis akan tetap duduk di kursi #DKI 1.

    -Rav Mordechai-

    APAKAH MUNGKIN BUKU-BUKU FILSAFAT DISUSUPI ILLUMINATI-ZIONIS?

  • Kamis, 06 September 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , , ,
  • APAKAH MUNGKIN BUKU-BUKU FILSAFAT DISUSUPI ILLUMINATI-ZIONIS?

    Seorang kawan saya pernah berkata kepada saya begini, “Kamu tidak akan pernah tahu sebuah kebenaran sampai seseorang mengakui perbuatan tercelanya. Kamu bahkan bisa saja selama ini menjadi bagian dari kebohongan itu dan akan kelihatan tolol sekali ketika kamu mengetahui kebenarannya.”

    Saya katakan kepadanya bahwa saya tahu kebenaran tentang diri saya yang paling rahasia. “Kakek saya dituduh sebagai seorang komunis dan dia dihukum pancung pada tahun 66. Saya bahkan menulis buku tentang ini.”

    Kawan saya itu tertawa dan mengatakan, “Buku, kawan, yang dipakai para Illuminati-Zionis itu untuk meninabobokan para cendekiawan dan membuat seolah-olah para professor mengajarkan matakuliah yang penting dengan referensi pada buku-buku itu, padahal mereka sebenarnya sedang mengajarkan paham-paham yang didiktekan oleh kelompok tertentu. Kelompok ini juga kemungkinan, lewat tangan tak kelihatan yang dermawan, menyokong dana untuk cendekiawan dan para professor itu. Institup pendidikan mereka? Ah, siapa tahu didanai juga? Cek laporan keuangan mereka kalau mau tahu dari mana uang-uang itu datang. Uang SKS mahasiswa tidak mungkin cukup untuk itu semua.”

    Saya menjadi terbengong-bengong.

    Kawan saya bilang, “Itulah kebenaran, membuat terbengong-bengong.”

    Sejak saat itu saya mulai memperhatikan bahwa sebuah Institut Pendidikan yang pernah saya kenal, mengajarkan soal Filsafat, dan referensi mereka tidak lain tidak bukan berasal dari buku-buku. Kawan saya itu pernah bilang bahwa buku-buku itu kemungkinan dikerjakan oleh tim tertentu atau seorang jenius tertentu di sebuah lokasi yang dibiayai sepenuhnya oleh tentakel sebuah kelompok tertentu. Funsinya untuk apa? Untuk mempengaruhi pola pikir seseorang, alih-alih membuatnya pintar karena berpengetahuan. Ini kedengaran seperti seorang bapak memberikan buku tentang cara membuat pesawat kepada anaknya kemudian anaknya berhasil membuat sebuah pesawat yang menabrakkan dirinya ke sebuah gedung berisi orang-orang tak berdosa.

    Agak sadis bukan?

    Tahun 1848, seorang Yahudi Azkhenazi (berasal dari suku bangsa Khazar yang bukan Yahudi?) bernama Karl Marx (seorang Yahudi Kripto, nama aslinya Moses Mordechai Levy) menerbitkan The Communist Manifesto. Menariknya bersamaan dengan Marx mengerjakan ini, Karl Ritter dari Frankfurt University sedang menulis antithesis yang berikutnya menjadi dasar bagi “Nietzscheanisme” oleh FWN. Nietzscheanisme ini kemudian berkembang menjadi Fasisme dan Nazisme dan akan digunakan untuk menggerakkan perang dunia pertama dan kedua.

    Astaga!

    Buku, kawan, sebuah buku ternyata tidak hanya ditulis untuk menambah pengetahuan manusia, tapi mencuci otak manusia (bisa jadi para mahasiswa?) untuk melakukan apa yang diinginkan sekelompok orang agar mereka bisa mendikte dunia yang kita tinggali ini.

    Tragisnya, Anda dapat melihat semakin banyak orang terlibat aktif dalam diskusi macam begini. Anda bisa melihat bahwa orang-orang yang menonjol dari para mahasiswa yang dianggap sudah terkontaminasi buku-buku tentang suatu paham, diperhatikan oleh teman mahasiswanya, dosen matakuliahnya atau bahkan rektornya sendiri. Apa gunanya?

    Agar mereka bisa menjaga semangatnya.

    Mahasiswa ini kemudian diakomodasi untuk menghasilkan buku-buku dengan tema yang sama, biasanya dalam rangka mendukung paham penulis buku terdahulu (yang didanai oleh kelompok jahat tersebut?) dan makin menyebarluaskan ide tersebut. Kritik terhadap paham tersebut ujung-ujungnya mendorong orang melihat sisi baiknya dan mempengaruhi orang untuk mengikutinya dengan bodoh.

    Lihat saja, jika Anda mengambil tema yang dianggap sangat kritis terhadap sebuah buku atau paham, dosen matakuliah atau dosen pembimbing skripsi atau bahkan dosen penguji Anda akan membantai Anda. Membuat Anda berpikir bahwa Anda salah. Tulisan Anda jelek dan Anda tidak punya cukup bukti, tidak mempunyai pendasaran yang kuat dan hanya bisa dimasukkan ke tong sampah.

    Sebenarnya apa?

    Mereka takut. Mereka takut semakin banyak orang kristis terhadap apa yang mereka ajarkan lewat buku-buku (Filsafat?) itu. Mereka takut pada Anda dan mereka lebih takut lagi para agen-agen yang mendanai mereka selama ini. Jika makin banyak mahasiswa menulis sesuatu yang kritis, makin banyak kawannya membawa, bahkan kemudian ada penerbit independent yang menjadikan tulisan, makalah, skripsinya menjadi buku, dana yang mengalir selama ini akan stop perlahan-lahan dan kehidupan sosial para agen “isme-isme” itu akan hancur.

    Oleh karena itu, Anda mesti membaca sebuah buku teks sebagai buku teks, bukan sebagai manual hidup Anda. Banyak buku, banyak ide, banyak isme, banyak sekali orang yang hendak menyetir Anda. Anda pikir dua buku dengan dua penulis dan dua isme berbeda adalah hasil kerja seorang diri dari sang penulis? Anda sebaiknya mulai berpikir bahwa dua penulis ini secara sadar atau tak sadar dibiayai dan dimasukkan ide-ide itu oleh kelompok tertentu.

    Bagaimana kalau kelompok yang sama mempengaruhi dua penulis yang menulis isme berbeda?

    Anda harusnya mulai berpikir bahwa mereka mempunya maksud mengelabui Anda. Bagi mereka tidak penting isme apa yang masyarakat ikuti atau masyrakat baca, yang terpenting adalah hasil yang akan mereka capai. Mereka mendesign dua isme yang berbeda dalam buku-buku, kemudian misalnya Anda memilih satu satu dan menolak yang lain. Anda lihat? Anda sudah dikotak-kotakkan. Anda sudah dimasukkan dalam barisan ini dan bukan itu. secara kasar, Anda bisa dikatakan sudah menjadi musuh potensial bagi yang lain, yang berbeda isme dengan Anda, atau yang berbeda bukunya dengan Anda. Anda memuja seorang filsuf dan mengutuk yang lain. Apakah Anda pernah melihat dosen Anda tertawa karena ini?

    Anda mungkin sering melihatnya di ruang kuliah?

    Di koridor?

    Atau di ruangannya ketika Anda sedang bertamu?

    Isme-isme dalam buku yang And abaca menggerakkan Anda dan orang lain. Anda lihat demo di jalanan? Isme dan buku yang mereka baca berbeda tapi mereka sama mendemo pemerintah atau sebuah otoritas, misalnya. Kenapa? Karena tujuan dari buku yang mengandung isme itu diarahkan kepada kekacauan dalam masyarakat, diawali dengan ketidakpuasan, demo, kemudian kekerasan.

    Ingat, masayarakat yang Marx idam-idamkan justru membunuh banyak orang, menjarah, dan memperkosa, dari pada berbuat kebaikan? Anda pikir revolusi adalah tindakan heroik untuk mengembalikan hak-hak Anda, tapi ternyata Anda dan orang-orang lainnya dipakai oleh si penulis buku dan orang-orang di belakangnya untuk mengambil alih sebuah otoritas dan menguasainya. Sementara Anda dimana?

    Anda akan dijadikan budak atau robot bagi mereka. Tidak ada yang berbeda dari apa yang Anda pikir Anda perjuangkan.

    Apakah Anda pernah berpikir bahwa kemarahan pihak universitas kepada Anda karena Anda indisipliner berhubungan dengan yang Anda baca di atas? Sekarang saya berpikir bahwa mahasiswa-mahasiswa yang “tidak bisa diatur” ini meresahkan otoritas universitas karena Anda sebagai mahasiswa, tidak mudah diarahkan untuk sebuah kepentingan. Saya pikir jika Anda termasuk mahasiswa “Indisipliner” Anda jangan berkecil hati dan merasa tidak berharga sama sekali. Silakan Anda berusaha menjadi mahasiswa yang disiplin, tetapi harus tetap berjiwa pembangkang sama seperti ketika Anda disebut mahasiswa “tidak bisa diatur” karena dengan begitu Anda tidak mudah didoktrin oleh buku-buku isme-isme yang disodorkan dosen untuk Anda baca.

    Salam!

    _Hasmodaeus_

    ILLUMINATI & FILSAFAT (?)

  • Sabtu, 01 September 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , , , ,
  • APAKAH FILSAFAT (juga)?

    1

    Saya sadar saya tengah dipengaruhi oleh Lawrence E. Joseph (karyanya Kiamat 2012, Investigasi Akhir Zaman), Andrew C. Hitchcock (Karyanya The Synagogue Of Satan), Ilan Pappe (Karyanya Pembersihan Etnis Palestina, Holocaust Kedua) dan Henry Makow Ph.D (karyanya Illuminati, Dunia Dalam Genggaman Perkumpulan Setan) dalam menulis pemikiran ini. Tulisan saya ini adalah spekulasi setelah saya “datang” ke suatu “institut pendidikan” dan “melihat” apa yang ada di sana. Selama sekitar empat tahun lebih, saya tidak pernah memikirkan tentang apa yang nanti saya spekulasikan, sampai saya membaca keempat karya di atas dan saya merasa pikiran saya sedikit terbuka dalam melihat dunia.

    2

    Pandangan saya terhadap “institut pendidikan” (yang saya rahasiakan namanya) yang baru-baru ini saya “kunjungi” sebelum-sebelum ini adalah seperti tanggapan saya akan hubungan yang dekat antara Kristen/Katolik dan Yahudi sebagai satu garis religius dimana Adam adalah leluhur bersama dan Abraham adalah bapak religius bersama. Yahudi (mengacu pada otoritas, bukan masyarakat) menolak Yesus dan membunuhnya karena tidak sejalan dengan agenda mereka untuk menguasai dunia sekitar dengan pedang (Yesus menawarkan jalan perdamaian dan dialog), tapi alangkah lucunya, orang Kristen/Katolik menganggap Yahudi adalah kawan dan saudara seiman mereka. Bahkan pencapaian-pencapaian Yahudi (merujuk pada Zionis yang sekarang membentuk Israel) menjadi kebanggaan orang Kristen/Katolik juga. Kemudian mereka menamai anak-anak mereka bukan dengan nama Melayu (khususnya untuk Indonesia) atau nama Latin (sesuai dengan santo/santa dalam Gereja) tapi malah semakin banyak yang menamai anak mereka dengan nama Yahudi (merujuk Perjanjian Lama, Torah, atau Taurat Musa) seperti Abraham, Adam, Benjamin, Noah, Ishak, Yehezkiel, dan semua nama Yahudi lainnya.

    Saya bahkan sampai dua bulan lalu masih menyanjung Yahudi, berniat menamai anak-anak saya dengan nama Yahudi dan berpikir bahwa saya dan calon istri saya kemungkinan merupakan bagian dari 10 Suku Israel Yang Hilang. Jika Anda membaca keempat karya di atas, Anda akan tahu bahwa Yahudi yang sekarang adalah Zionis-Komunis-Illuminati-Freemasonry. Di dalamnya termasuk banyak Persaudaraan Rahasia macam Skull & Bones dan intelijen yang tersebar di Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia yang tugasnya menebarkan kekacauan di masyarakat agar kita panik dan mencari perlindungan pada sebuah “persamaan” “persaudaraan” “keamanan” yang disediakan oleh mereka-mereka juga.

    3

    Adapun kecurigaan saya yang memuncak belakangan ini adalah kepada salah satu bidang pendidikan yaitu Filsafat. Kenapa saya memilih Filsafat? Karena Filsafat menyangkut cara berpikir yang makin hari makin berkembang, kata orang makin demokratis, makin liberalis, makin sekularis, makin globalis, makin internasionalis, namun cenderung menjauhkan para pembaca atau orang yang mempelajarinya dari ikatan keluarga, agama (termasuk budaya asli) dan perasaan-perasaan yang dianggap tidak penting dan tidak perlu dibahas karena buang-buang waktu dan cengeng?

    Saya menyaksikan bagaimana orang-orang yang belajar bidang studi ini, menenteng buku-buku hard cover, dengan teks asing (semakin tidak diterjemahkan katanya semakin memiliki roh pemikirnya?) dan mayoritas ditulis dari hasil pemikiran pria atau wanita berdarah Yahudi (kita tidak pernah tahu mereka ini pendukung terbentuknya negara Israel di atas kolonisasi Palestina atau kontra). Tentu saja, pemikiran orang-orang Yahudi ini (filsuf, begitu mereka menyebutnya) sudah ada sejak lama, bahkan mungkin sebelum keruntuhan monarki dan aristokrasi serta pemerintahan-pemerintahan negara karena Perang yang terjadi di semua belahan dunia.

    4

    Salah satu dari keempat karya di atas menyebutkan bahwa (masih harus dibuktikan kebenarannya kalau yang ada dirasa belum cukup) Illuminati yang berbentuk piramidal dengan mata kiri Isis memandang dunia, pada puncaknya berisi 13 keluarga (bangsawan) Yahudi kaya raya yang menguasai bank, minyak, konstruksi, real estate, media massa, bahkan partai politik. Mereka dengan dana yang tak terbatas, menciptakan perang dimana-mana dengan menggunakan “boneka” dan “agen” mereka, misalnya orang-orang seperti Lenin, Stalin, Hitler, dan masih banyak lagi orang-orang yang kita sebut pahlawan atau pemimpin dunia. Cara mereka untuk menguasai orang-orang ini adalah dengan menipu mereka, menyogok mereka, mencuci otak mereka, mengikat mereka dengan perkawinan dan skandal yang disetting, dan banyak cara yang bisa mereka lakukan dengan dana yang tak terbatas bukan?

    Dikatakan pula dalam salah satu karya di atas bahwa berbagai ideologi yang berkembang setelah Peradaban Kristen runtuh (agenda Illuminati) diciptakan oleh orang-orang pandai yang direkrut oleh Illuminati untuk menciptakan kekacauan di dalam masyarakat dan membuat satu suku menganggat senjata terhadap suku lain (Eropa-Amerika vs Arab?), satu agama mengangkat senjata terhadap agama lain (Kristen vs Muslim?), yang ternyata kedua belah pihak dihasut oleh agen-agen Illuminati juga.

    5

    Apa yang bisa disumbangkan Filsafat dalam hal ini?

    Saya kira Pemikiran. Ideologi. Ideologi yang begitu banyak, alih-alih membuka wawasan kita untuk hidup yang lebih baik malah membawa kita pada perbudakan dan keseragaman di dalam sebuah Orde Dunia Baru dimana kita yang dengan bangga menyanjung dan menyebarluaskan ide-ide brilian itu, menjadi korban bagi Lucifer. Karena kita adalah goyim, domba yang darahnya dikorbankan untuk tercapainya ODB. Satu filsuf mengatakan ini, filsuf lain mengatakan itu, dan para pelajar (rentan pada generasi muda) mulai membentuk komunitas untuk menyanjung satu atau dua filsuf yang pemikirannya mirip dan mempromosikan pemikirannya, kemudian melawan komunitas lain (yang tidak sepaham?). Bagaimana kalau filsuf-filsuf ini “agen” atau orang yang disetir Illuminati? Bagaimana kalau kehidupan mereka dan keluarga, riset dan pengeluaran mereka didanai oleh keluarga-keluarga bankir yang mengontrol Mason? Seorang filsuf mengedepankan Komunis misalnya. Seorang filsuf, Fasis. Filsuf lainnya Ateis. Lainnya lagi Agamis. Kemudian apa yang terjadi? Kita terpecah, mulai disusupi, kemudian tahu-tahu saling bermusuhan dan saling menyerang. Kita pikir kita menjadi lebih awas, padahal kita sedang digiring seperti goyim.

    Anda tahu, media massa dikuasai oleh orang-orang kaya. Siapa orang-orang kaya ini? Mereka adalah orang yang memiliki banyak perusahaan yang multilevel, bergerak di banyak bidang dan memakai nama yang tidak mudah Anda hubungkan dengan Illuminati. Anda bisa bayangkan, kalau mereka memiliki media massa (dalamnya ada koran, bulletin, televisi, bahkan bisnis perfilman dan periklanan), apa yang bisa terjadi pada buku-buku Filsafat (yang langsung menyangkut pola pikir dan ide-ide brilian itu?) yang sedang dikerjakan, sedang dipasarkan dan sedang direvisi?

    Mereka bisa membombardir Anda dengan apa saja, baik yang Anda suka maupun tidak. Yang Anda sukai mungkin membuat Anda tambah menggebu-gebu menenteng buku-buku filsafat kemana-mana dan mempromosikan idenya kepada sebanyak mungkin orang yang Anda kenal (dan bagaimana kalau ide itu hanya sebuah settingan untuk maksud lain?). Dan jika Anda tidak suka akan ide itu, Anda mungkin mencemoohnya dan memusuhi orang yang menyukai ide tersebut. Bagaimana kalau sampai Anda merasa jengkel karena Anda sudah terindoktrinasi dan mulai menyiapkan perang kecil? Perang kecil dalam media massa (yang sesuai agenda pemecahbalah gaya Illuminati akan diekspos terus) akan mempengaruhi keberpihakan para pembaca lalu orang-orang yang merasa “sama” membentuk sebuah komunitas (semacam geng motor atau geng-geng berdasarkan kesamaan hoby atau mungkin objek kebencian?) dan mulai mencari “gara-gara”.

    “Gara-gara” macam begini akan disokong oleh “tangan tak kelihatan” yaitu pemilik sumber daya tak terbatas, sama seperti Lenin dan Trotsky yang menciptakan agen rahasia Cheka (kemudian OGPU, lalu NKVD dan akhirnya KGB) untuk mencuri kekayaan dan memusnahkan birokrat Tsar karena Tsar menolak “intervensi” beberapa orang kaya Yahudi (Zionis)? Atau kaum Bolshevik yang tiba-tiba muncul untuk mengambil alih emas, perak dan tanah dari Gereja?

    Dan tahukah Anda bahwa untuk setiap “geger” macam ini selalu ada seorang atau beberapa filsuf yang menulis sebuah buku atau pemikiran bagi kerangka bertindak gerombolan pengacau ini? Apakah gerombolan itu hanyalah orang-orang yang berkumpul karena sekadar merasa senasib sepenanggungan? Apakah si filsuf di”perintahkan” untuk menulis sesuatu yang bisa membangkitkan “geger”? Dan pada akhirnya saya bertanya-tanya, apakah “institut pendidikan” bisa disusupi oleh “agen” Illuminati atau bahkan “agen” ini pernah atau masih menyokong dana bagi “institut tersebut?”

    6

    Saya harap tidak. Saya berdoa setulus hati semoga Tuhan menjaga kita semua.

    Saya juga berharap bisa menulis lagi tentang filsafat yang menjadi “ladang” bagi banyak orang Eropa-Yahudi menyampaikan pemikiran dan menghasilkan sesuatu dari sana. Seperti Kevin McDonald (karyanya The Culture Of Critique) pernah “menduga bahwa Yahudi merasa lebih nyaman di dalam masyarakat yang tidak memiliki karakter nasional yang jelas.” McDonald fokus terhadap bagaimana gerakan-gerakan intelektual Yahudi yang dipimpin oleh tokok-tokoh otoritarian mengambil alih kehidupan intelektual modern. Ia membahas Boas dalam bidang Antropologi, Adorno dalam Sosiologi, Freud dalam Psikiatri, dan Derrida dalam Filsafat.

    “Wah menarik, bukan?”

    “Menarik?”

    “Atau malah bukan?”

    -Gog bin Magog-

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica