Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Kereta Listrik Jakarta-Bogor



Kereta Listrik Jakarta-Bogor

Kemarin, Minggu, tepat peringatan 84 tahun Sumpah Pemuda. Saya dan kekasih berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sebuah syukuran seorang kawan yang merampungkan studi S2-nya di UP. Kami berangkat Sabtu dan kembali Minggu malam pukul 7.30. Jakarta panas, Ford Fiesta hitam berhenti tak jauh dari stasiun Tebet dan kami berdua turun, melangkah dengan riang menuju peron.
Jakarta masih panas, belum ada hujan semenjak kemarin kami datang. Gerah, maka kekasih saya membeli sebuah Orange Water demi mengademkan tubuhnya. Saya tidak meminumnya sedikit pun karena saya sedang memikirkan begitu banyaknya penumpang yang menunggu di peron dan begitu sedikitnya gerbong yang tersedia menuju Bogor.
Lima belas menit menunggu, lumayan cepat, biasanya kami harus menunggu sampai lebih dari satu jam di masa-masa sebelum ini. Katanya tiap 15 menit kereta datang, dan mungkin sistem transportasi jenis ini mulai disiplin seperti di negara lain. Kami naik bersama serombongan keluarga berjilbab, ibu-ibu, yang kasihan tidak mendapatkan tempat duduk karena tempat duduk sudah dikuasai oleh pemuda-pemudi (anak SMA atau kuliahan) yang baru kembali dari kegiatan kurban sapi atau kambing. Saya menyimpan tas kami di bagasi dan berdiri tepat di belakang kekasih saya. Kaosnya sedikit basah karena gerah dan keringat mengalir di balik kemeja biru saya. Hanya 3 buah kipas angin kecil yang berputar dalam sebuah gerbong itu. AC yang bertebaran dimana-mana kelihatannya padam sehingga semua orang mengeluhkan kegerahan kecuali pemuda-pemudi yang tidur sambil menutup muka mereka itu.
            Dalam gerbong ini, dua jendela teratas telah dibuka karena kegerahan. Angin yang menghantam kencang dari luar membantu penumpang mengusir rasa jengkel karena pelayanan AC yang buruk. Bukankah penumpang kini mesti membayar Rp 9.000 untuk pelayanan macam begini?
1)   Saya tidak percaya jenis transportasi ini mulai disiplin karena tidak setiap 15 ia lewat. Ia sepertinya menunggu beberapa lama agar penumpang yang terkumpul cukup banyak; ini tidak ada bedanya dengan angkot yang ngetem.
2)   Tempat duduk di peron tidak cukup menampung penumpang yang banyak, sementara penjual diberikan kesempatan membangun lapak-lapak di sekitar peron. Apakah peron disediakan untuk penumpang atau penjual? Saya pikir pihak kereta api lebih peduli pada berapa besar “pajak” penjual itu kepada mereka dari pada pelayanan tempat duduk bagi penumpang.
3)   Di mall meski kita hanya nongkrong tanpa membeli apapun, toilet yang kita pakai gratis. Anehnya di stasiun, kita sudah membeli tiket namun tetap harus membayar kepada seseorang yang entah siapa, ketika kita memakai toilet. Saya kira yang harus mengurus kebersihan toilet adalah karyawan PT. KAI, bukannya “preman” atau orang yang suka berkeliaran di peron-peron. Apakah dari pajak toilet itu PT. KAI mendapatkan “bagian” juga? Astaga! Berapa banyak penumpang harus mengeluarkan uang untuk membiayai kehidupan PT. KAI? Tidak cukupkah dengan kenaikan harga tiket menjadi Rp 9.000?
4)   Kereta api di Indonesia sering melewati daerah hutan, kebun, perumahan warga dan tidak ada pembatas antara areal kereta api dan kehidupan warga di seberangnya sehingga sangat berbahaya bagi keselamatan penumpang dan warga sekitar. Orang bisa menyeberang dimana pun lintasan kereta api. Orang bisa melakukan sabotase juga. Yang paling mengerikan adalah orang bisa melemparkan batu ke gerbong. Dan mala mini beberapa jendela dibuka karena AC padam.
Betapa takutnya saya karena saya dan kekasih berdiri persis di depan jendela yang terbuka itu. Seandainya seseorang melempar dari seberang, melintasi jendela itu dan mengenai kami, saya yakin saat itu juga kami bisa langsung mati. Pada jendela yang tebal itu saja bisa menimbulkan ledakan dan getaran yang luar biasa, apalagi pada tengkorak kepala kami yang lembut ini? Saya menjadi paranoid dan segera menarik kerai ke bawah sebagai tameng seadanya setidaknya batu itu tidak langsung mengenai kami.
Beberapa penumpang tolol memandangi saya dengan heran dan kesal. Saya tidak mengatakan apa-apa, tapi seandainya salah seorang dari mereka datang dan membuka kerai itu, akan saya hajar dia habis-habisan. Tapi itu tidak terjadi, semua orang telalu gerah dan lelah. Beberapa orang mahasiswi di seberang belakang saya, yang duduk dengan santai, malah membuka jendela bagian atas demi mendapatkan udara dingin. Ngerinya mereka tak sadar bahwa dengan membuka jendela itu, peluang terkena lemparan makin banyak. Saya menjadi sangat marah dan hendak pergi menutup jendela itu. Tapi beberapa penumpang turun di Depok Lama dan kekasih saya mendapatkan tempat duduk. Saya berpindah ke tempat yang lebih jauh dan rasanya akan terhindar dari batu jika dilemparkan ke gerbong. Saya ingin melihat apa reaksi para mahasiswi tolol itu jika salah satu penumpang yang berdiri di depan mereka kepalanya hancur terkena lemparan batu dari luar.
Di Bojong Gede saya mendapatka tempat duduk dan mulai santai. Terjadi pelemparan ke gerbong tapi syukur bukan di gerbong kami. Tapi saya menjadi marah karenanya. Apa saya kerjanya petugas kereta api? Kemana mereka bekerja? Bukannya mereka seharusnya memperhatikan keselamatan dan kenyamanan penumpang yang terus membayar meski harga makin mahal? Kenapa mereka tidak memeriksa setiap gerbong, mencaritahu apa yang sedang terjadi. Membetulkan Ac, menutup jendela dan menghitung penumpang; sebab penumpang sudah melebihi kapasitas tempat duduk dan tempat berdiri. Hitung saja berapa jumlah penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk dan pegangan pada besi gantungan, dari mereka inilah PT. KAI mendapatkan “kelebihan” uang tiket? Wah, jika benar, kita bisa kalikan Rp. 9.000 dengan jumlah penumpang “kelebihan” dikalikan dengan jumlah gerbong. Saya kira masuk akal dalam sekali perjalanan Jakarta-Bogor PT. KAI (atau karyawannya?) mendapatkan minimal Rp. 630.000. Berapa kali perjalanan PP Jakarta-Bogor (Bogor-Jakarta)? Saya menjadi ngeri sendiri, sebab saya merasa kami para penumpang adalah orang-orang bodoh yang membayar mahal untuk sesuatu yang seharusnya kami bayar sangat murah.
Kita bisa bandingkan, di mall meski kita tidak membeli satu pun benda murah di situ, toilet mewahnya tetap gratis. Nah, kenapa di stasiun, kita sudah membayar tiket, tapi kita harus membayar toilet lagi; dan toilet itu jorok minta ampun, ada “preman?” yang berkeliaran, duduk-duduk di depan toilet? Ah, kenapa kita tidak memilih suatu hari untuk naik kereta api tanpa membayar? Kita semua sepakat dan tidak membayar. Atau kita demo di stasiun saja?


Mordechai Levitt

Adakah Anak Punk Era Soeharto?



Adakah Anak Punk Era Soeharto?

Saya lahir akhir tahun 85, jadi saya masih sesedikit merasakan seperti apa pemerintahan presiden Soeharto pada era Orde Baru. Di kampung saya, Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Pertanyaan untuk jawaban ini tidak pernah tidak muncul dalam ujian PMP dan IPS. Menariknya kami anak-anak kampung senang menulis jawaban pertanyaan ini sebab kami tahu jawaban ini akan mendongkrak nilai kami karena beberapa pertanyaan lain terlalu sulit untuk kami jawab.
            Selain menjadi Bapak Pembangunan, Soeharto juga terkenal dengan “Inpres”nya. Bagi masyarakat desa yang kurang mampu, diberi bantuan berupa ternak gratis bernama “babi banpres”. Bagi masyarakat yang masih berdagang di pinggir-pinggir jalan, dibangunkan “pasar inpres”. Bagi kami anak-anak yang tidak cukup nilai dan uang untuk bersekolah di sekolag swasta dan negeri, didirikan “sekolah inpres”.
            Banyak hal indah yang saya dapatkan selama era Orde Baru. Ketika itu, keamanan masyarakat benar-benar terjaga. Jarang pemuda atau polisi minum arak dan melakukan keributan. Jarang terjadi pengrusakan, penjarahan, pembunuhan, pencurian, dan tindakan kriminal lainnya. Karena apa? Saya tidak begitu paham. Tapi menurut desas-desus di kampung, presiden Soeharto seorang jenderal TNI dan ia sangat tengas menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Di kemudian hari baru saya pahami bahwa keamanan dan ketertiban sangat penting, bahkan lebih penting dari apapun ketika sebuah negara ingin membangun, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, presiden Soeharto menyingkirkan semua “ketidaknyamanan” dari jalanan agar masyarakat boleh bekerja mencari uang dengan tenang. Di kemudian hari baru saya membaca bahwa para era Orde Baru ada yang namanya Petrus—penembak misterius—yang bertugas mengamankan negara dari gangguan tidak perlu secara internal. Orang-orang lelaki bertato dihabisi. Kriminalitas bungkam. Preman-preman di pasar dan terminal kabur. Kehidupan menjadi kondusif. Masyarakat merasa tidak takut ketika berada di tempat umum.
            Lain halnya sekarang. Saya melewati era Repormasi, kemudian era ini dan itu. Presiden berganti-ganti. Globalisasi. Modernisasi. Kuliah selesai. Tinggal di Jakarta semakin sempit. Dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di Bogor. Tapi karena saya orang yang patuh hukum, saya belum bisa membeli motor karena KTP Bogor saya belum saya urus. Jadinya untuk melakukan pekerjaan saya, saya menggunakan angkot yang banyaknya minta ampun di Bogor ini. Saya berangkat pukul tiga sore dan kembali pukul delapan malam. Dalam perjalanan ini saya harus melewati Terminal Baranang Siang (lewat belakang) dan Tugu Kujang.
            Di daerah Padjajaran dan Regency, saya sering terganggu oleh pengamen yang dekil, bau, dan tidak tahu bagaimana mengintertain penumpang, tapi tiba-tiba meminta uang. Kebanyakan mereka adalah anak-anak usia SD dan SMP. Sebagian besarnya perempuan. Mereka bahkan tidak bisa disebut pengamen karena hanya meminta-minta sambil menebarkan amplop kumal. Saya pernah melihat seorang wanita cantik, dengan pakaian kinclong, tidak mau menerima amplop itu. Tentu penumpang lain melihat itu sebagai sikap sok, sombong, tapi saya melihatnya lain. Saya kira amplop itu entah sudah berapa ratus kali diedarkan, dan berapa tangan kotor dengan kuman penyakit telah menempel di sana. Ah, sinting, masak hanya untuk dua ratus atau lima ratus rupiah, seorang perempuan cantik dan kinclong seperti itu harus kena sakit dan mati?
            Ini bukan soal pembedaan kelas sosial. Ini bukan soal kaya lawan miskin. Karl Marx yang Yahudi Kripto itu telah merusak konsep masyarakat tentang kelas sosial. Tentang pemilik modal melawan proletar. Sebenarnya itu hanya omong kosong Zionis mereka. Saya adalah proletar karena saya bekerja pada seseorang dan dia membayar saya karena saya melakukan sesuatu yang tidak bisa dia lakukan. Apakah dia dengan begitu menjadi majikan dan saya menjadi budak? Tidak, saya bahkan bisa tidak datang untuk bekerja dan orang itu tidak membayar gaji saya untuk hari itu. Tidak ada cambuk, tidak ada penghinaan. Tak ada pemisahan kelas. Bayangkan kalau saya harus memacul kebun dan menghidupi diri saya dari itu? Berapa lama saya butuhkan untuk mengisi perut saya? Saya keburu mati sebelum musim panen datang. Karl Marx sialan! Entah sudah berapa juta orang mati karena teori “titipan” dari Iliminati itu. Malah Karl Marx yang memisahkan manusia berdasarkan kelas dan membuat mereka saling membunuh.
            Saya mulai bertanya-tanya, apakah itu juga yang terjadi di Indonesia, di Bogor ketika makin maraknya sebuah komunitas bernama Punk? Saya menyebut punk di sini khusus untuk mereka yang beratribut punk dan mengamen. Ada banyak punk yang saya kenal, mereka berjualan dan membuka usaha tato. Mereka dalah punk putih bagi saya karena tidak “mengganggu” pemilik modal tapi bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Sedangkan yang saya sebut punk hitam adalah mereka yang mengamen di belakang terminal Baranang Siang dan Tugu Kujang. Mereka meresahkan masyarakat. Mereka bertato, tidak mandi, dan kadang mengamen dalam keadaan mabuk. Uang yang mereka dapatkan digunakan untuk membeli rokok dan alkohol?
            Apa manfaat kita memberi mereka recehan?
            Kita pikir untuk memberi mereka makan dan minum yang layak?
            Polisi dan Pol PP yang ada atau sekadar lewat di situ seakan tidak peduli pada punk ini. Padahal semua orang tahu punk hitam ini mengganggu kenyamanan pengguna jalan dan pengguna kendaraan umum. Mereka berteriak menyanyi ketika seorang penumpang sedang menelepon atau menerima telepon penting? Mereka menyanyikan syair-syair yang menghasut supaya masyarakat melawan pemerintah? Mereka bertato dan mabuk sambil merokok di dalam angkot? Mereka memilih angkot yang banyak penumpang perempuannya agar bisa diintimidasi? Lalu mereka memarahi penumpang jika penumpang sedang sibuk mendengarkan earphone, membaca koran, membaca buku atau sedang tidur? Apa urusan mereka? Apa hak mereka?
            Dan siapa yang peduli?
            Polisi yang disebut penjaga ketertibab masyarakat?
            Saya teringat era Soeharto. Seandainya saya punya kemampuan untuk menghalau punk hitam ini, akan saya lakukan sekarang juga. Sebelum hal-hal buruk terjadi. Bagaimana kalau tiba-tiba punk hitam ini marah karena sudah menenggak alkohol dan memakai narkoba? Ketika sedang panas ini mereka menyerang penumpang di dalam angkot yang tidak memberikan recehan? Astaga! Hanya karena recehan, seseorang mati di tangan punk hitam? Seandainya saya seorang polisi PP, Polantas, anggota TNI, saya akan minta kepada punk hitam yang mengamen ini untuk berhenti mengganggu anggota masyarakat lain. Negara ini butuh aturan tentang keamanan dan ketertiban masyarakat yang lebih spesifik. Memang tidak pantas lagi saya meminta dibentuknya Petrus lagi. Tapi saya tetap percaya bahwa suatu badan khusus diperlukan untuk menyingkirkan punk hitam ini dari jalanan. Hukum harus tegas. Kalau perlu yang mengintimidasi anggota masyarakat lain, langsung dibuang ke penjara.     Mereka harus diberi tempat khusus untuk mengasah bakat mereka yang lain. Misalnya bekerja di bengkel kayu dan mesin milik pemerintah.


Rav Mordechai

Siapakah #DKI 1 Itu?

  • Selasa, 18 September 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , , ,
  • Siapakah #DKI1 Itu?

    Jumat, 14 September saya berangkat subuh menumpang communterline Bogor menuju Jakarta, kota yang selama tujuh tahun pernah menampung saya. Banyak kawan masih menetap di ibukota yang sering banjir dan macet itu (Bogor juga sering banjir dan macet. Tidak semua Jakarta banjir dan macet kan?), sebagian karena masih melanjutkan kuliah S2 sebagian karena sudah mendapatkan pekerjaan bagus. Sementara saya karena merasa Jakarta sudah cukup menampung saya, saya memutuskan untuk hijrah ke Bogor dua tahun lalu, kira-kira pada bulan ini, September.

    Yang membedakan September dua tahun lalu dan September sekarang adalah sedang hangat-hangatnya orang membicarakan siapakah yang akan menjadi #DKI 1, apakah Sang Gubernur sekarang atau Jokowi Sang Bupati Solo? Sebagian besar masyarakat yang mengaku berpendidikan #Lumayan, #WargaPendatang, #NonMuslim, #Dll, atau katakanlah saja semua warga Jakarta Raya yang menginginkan perubahan, mendukung Jokowi sebagai #DKI 1 dan berharap Bang Kumis kalah dalam pemilihan putaran kedua nanti. Para simpatisan Jokowi yakin sambil menunggu dengan berdebar-debar, sama seperti yang mereka lakukan pada pemilihan putaran pertama lalu, bahwa jagoan mereka yang akan menjadi #DKI 1.

    Saya bukan pendukung salah satu dari calon ini, dan bukan juga pendukung dari semua calon yang pernah ditampilkan. Secara sentimental karena saya bekerja dan tinggal di Bogor, saya bilang pada kawan-kawan saya yang di Jakarta bahwa saya memilih Alex dan Nono. Meski begitu saya tidak memakai hak pilih saya karena terhalang pekerjaan yang harus saya lakukan. Boleh dikatakan jagoan saya kalah telak, tapi saya tidak bersedih karena memang saya tidak sungguh-sungguh memilih salah satu dari mereka.

    APAKAH ANDA MERASA BERSUNGGUH-SUNGGUH MEMILIH SALAH SATU DARI BANG KUMIS ATAU JOKOWI NANTI? ATAU HANYA DORONGAN SENTIMENTIL SEPERTI YANG SAYA ALAMI. KEKASIH SAYA ORANG SUMATERA DAN SAYA TINGGAL DI BOGOR JADI SAYA MEMILIH ALEX DAN NONO?”

    Jika gaya memilih saya merupakan gaya memilih sebagian pemilih Jakarta, saya yakin bahwa Jokowi akan memenangi pemilihan putaran kedua ini dengan suara jauh melampaui perolehan Bang Kumis. Tapi entah kenapa saya merasa tidak yakin Jokowi menang. Bukan karena saya bukan orang Jawa, tapi karena saya melihat realitas yang sedang terjadi di masyarakat. Dan ini hidup sejak zaman dulu kala, salah satu factor kenapa Jokowi kalah.

    1) Dalam perjalanan saya menuju tempat tinggal kawan saya di Rawasari, saya melihat begitu banyak spanduk di pinggir jalan dan di mulut-mulut gang sempit, tempat orang-orang kelas menengah kebawah hidup berhimpitan. Spanduk itu berisi ucapan terima kasih warga setempat kepada Bang Kumis karena telah memperhatikan mereka selama masa jabatannya. Mereka berharap Bang Kumis terpilih kembali menjadi #DKI 1. Saya kenal beberapa orang di gang-gang sempit itu, dan dari cara bicara mereka saya kisa tahu dari suku bangsa mana mereka berasal. Suku bangsa inilah yang menjadi basis? Dukungan bagi Bang Kumis selama ini yaitu Betawi. Mereka merasa bagaimana pun Bang Kumis mewakili suara dan #Keminoritasan mereka di Jakarta yang mereka klaim sebagai tanah nenek moyang mereka sejak Belanda. Sementara itu saingan Bang Kumis non-Betawi, non-Jakarta. Ada kekhawatiran Jokowi tidak sungguh-sungguh memperhatikan orang Betawi yang makin hari makin termarginalkan dengan bertambahkan penduduk setiap kali #ArusBalikLebaran.

    2) Kira-kira pukul 10.13 saya sampai di tempat tinggal kawan saya. Dia sedang mengetik sesuatu pada notebook-nya dan menyambut saya dengan gembira. Orang Jakarta menyambut warga Bogor. Saya tertawa senang. Kami minum es cincau sambil ngobrol, tapi bukan tentang #DKI 1. Kira-kira tengah hari, masjid dan mushollah di sekitar situ mulai ramai. Orang Muslim sembahyang Jumat. Sambil ngobrol kami mendengar tema yang saya dari semua penceramah yang berbicara di pengeras suara. Intinya adalah sebuah rumah tangga yang baik haruslah terdiri dari suami dan istri yang seiman. Seiman dalam artian sama-sama Islam, jika seiman dalam agama lain, itu bukan urusan penceramah itu. Kemudian penceramah menganalogikan bahwa sebuah negara sama seperti rumah tangga, pemimpinnya harus seiman, sama-sama Islam, jika tidak negara itu akan kacau balau, dan si penceramah tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Menarik sekali. Bang Kumis dan pasangannya adalah Muslim, sedangkan Jokowi dan pasangannya, diketahui #PernahBerbauKristen. Yang harus dicatat, meski sila 1 Pancasila mengatakan yang enak kedengaran, tapi pemimpin di ibukota negara, haruslah Muslim. Tidak lebih tidak kurang.

    3) Pukul satu siang, setelah kenyang, saya naik 47 kemudian 52 menuju Stasiun Tebet, stasiun favorit saya pulang pergi Bogor-Jakarta. Sepanjang perjalanan dengan commuterline, saya mendengarkan radio. Di pertengahan jalan, radio itu memutarkan sebuah iklan alih-alih lagu-lagu bagus. Iklannya ternyata tentang bagaimana Bang Kumis sudah terbukti melakukan pekerjaannya (tidak dikatakan baik atau buruk), bagaimana Bang Kumis sudah menunjukkan bukti nyata dan sekarang sedang melanjutkan pembangunan, membebaskan Jakarta Raya dari banjir dan macet. Bandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi? Belum, karena dia bukan #DKI 1. Dan selam ini dia tidak menetap di ibukota negera. Lalu masyarakat ditanya apakah mereka akan memilih yang tidak pasti dan belum terbukti? Sekali lagi, inilah keuntungan seorang calon #DKI 1 yang pernah dan sedang menjabat sebagai #DKI 1.

    4) Bagi saya, idealisme buta akan realitas. Saya mendangar orang-orang mengeluhkan kinerja Bang Kumis kemudian orang-orang ingin dia turun dan digantikan dengan sosok baru yang membawa perubahan. Kemudian masyarakat Jakarta Raya ditawarkan banyak pilihan. Sebagain dari partai sebagian independen. Menariknya, masyarakat mengaku menginginkan perubahan tetapi mereka sedikit sekali memilih calon independen, yang boleh dikatakan bisa menyaingi #3FaktorBangKumis di atas untuk menuju #DKI 1. Apakah partai politik yang tolol atau masyarakat yang termanipulasi, saya tidak tahu. Nyatakanya sekarang, muncul dua sosok yang bisa dikatakan bertentangan. Yang satu pernah menjabat dan telah melakukan sesuatu untuk Jakarta Raya, yang lainnya belum. Yang satu mengklaim diri orang asli Jakarta Raya, Betawi, yang lainnya bukan. Yang satu Muslim dan yang lainnya berbau non-Muslim.

    5) Kalau boleh menyalahkan, saya akan menyalahkan pihak partai politik pengusung, seandainya Bang Kumis tidak bisa tergeser dari #DKI 1. Kenapa saya menyalahkan partai politik? Tentu saja, kenapa partai pengusung tidak melihat ketiga factor di atas ketika mengusung pasangan calon? Kenapa dukungan tidak diberikan kepada pasangan calon yang tidak bisa diganggu gugat tentang #Kebetawiannya #Keislamannya dan #PengabdiannyaBagiWargaJakarta? Kenapa partai mengusung calon pasangan yang bakal menyebabkan masyarakat menjadi terpecah antara orang Jakarte atau bukan, orang Muslim atau bukan, Melakukan sesuatu untuk Jakarte atau belum.

    6) Saya juga ingin perubahan sama seperti warga Jakarta Raya lainnya. Saya juga ingin banjir sedikit teratasi, macet bisa dikurangi, terlebih bagi saya, angka kejahatan berkurang di Jakarta Raya ini. Saya akan memilih #DKI 1 yang manawarkan #Keamanan dari tindakan kejahatan dari pada #Macet dan #Banjir. Apa gunanya bebas macet dan banjir, tapi nyawa kita tidak berharga di jalanan ibukota. Apa gunanya?

    7) Saya kira ini salah satu factor kenapa angka #GolPut makin banyak. Karena dari semua calon pasangan yang diusung partai politik, tidak ada yang sungguh-sungguh meyakinkan mereka. Yang ditawarkan adalah semua hal yang bersifat material. Masyrakat Jakarta Raya membutuhkan yang namanya #Kenyamanan #Ketenteraman #Ketertibab. Rasa aman adalah kunci perubahan di Jakarta Raya. Kalau soal #Macet, solusinya kenapa tidak minta ke Kementerian Perhubungan dan Transportasi? Kenapa tidak minta solusi dari Produsen mobil, show room-show room atau dealer motor? Stop saja import kendaraan, dijamin mengurangi macet. Kalau soal #Banjir, tanya pada diri kita, apakah kita begitu konsumtif? Apakah setelah mengkonsumsi sesuatu, bungkusnya kita buang pada tempatnya? Apakah kita peduli pada tanah serapan air?

    8) Jadi orang Jakarta Raya jangan cengeng. Kalau saya menjadi #DKI 1, saya akan bilang pada masyarakat Jakarta Raya bahwa “ENAK SAJA KAMU YANG BELI KENDARAAN BARU TIAP MENIT. KAMU YANG NYAMPAH SEMABARANGAN. KAMU YANG NUTUP TANAH DENGAN SEMEN DAN KONBLOK, KOK GUBERNUR YANG DISURUH BERESIN? TRUS KAMU SEBAGAI WARGA TUGASNYA APA? BIKIN MACET DAN BANJIR TRUS NGELUH?” Dan yang akan saya lakukan pertama kali adalah memberikan efek kejut pada preman dan orang-orang yang mengganggu keamanan di jalan raya.

    9) Saya berdoa semoga tidak terjadi #Bakar-bakaran atau #Rusuh-rusuhan sebelum dan sesudah #DKI 1 terpilih, siapa pun orangnya. Dan saya masih yakin Bang Kumis akan tetap duduk di kursi #DKI 1.

    -Rav Mordechai-

    APAKAH MUNGKIN BUKU-BUKU FILSAFAT DISUSUPI ILLUMINATI-ZIONIS?

  • Kamis, 06 September 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , , ,
  • APAKAH MUNGKIN BUKU-BUKU FILSAFAT DISUSUPI ILLUMINATI-ZIONIS?

    Seorang kawan saya pernah berkata kepada saya begini, “Kamu tidak akan pernah tahu sebuah kebenaran sampai seseorang mengakui perbuatan tercelanya. Kamu bahkan bisa saja selama ini menjadi bagian dari kebohongan itu dan akan kelihatan tolol sekali ketika kamu mengetahui kebenarannya.”

    Saya katakan kepadanya bahwa saya tahu kebenaran tentang diri saya yang paling rahasia. “Kakek saya dituduh sebagai seorang komunis dan dia dihukum pancung pada tahun 66. Saya bahkan menulis buku tentang ini.”

    Kawan saya itu tertawa dan mengatakan, “Buku, kawan, yang dipakai para Illuminati-Zionis itu untuk meninabobokan para cendekiawan dan membuat seolah-olah para professor mengajarkan matakuliah yang penting dengan referensi pada buku-buku itu, padahal mereka sebenarnya sedang mengajarkan paham-paham yang didiktekan oleh kelompok tertentu. Kelompok ini juga kemungkinan, lewat tangan tak kelihatan yang dermawan, menyokong dana untuk cendekiawan dan para professor itu. Institup pendidikan mereka? Ah, siapa tahu didanai juga? Cek laporan keuangan mereka kalau mau tahu dari mana uang-uang itu datang. Uang SKS mahasiswa tidak mungkin cukup untuk itu semua.”

    Saya menjadi terbengong-bengong.

    Kawan saya bilang, “Itulah kebenaran, membuat terbengong-bengong.”

    Sejak saat itu saya mulai memperhatikan bahwa sebuah Institut Pendidikan yang pernah saya kenal, mengajarkan soal Filsafat, dan referensi mereka tidak lain tidak bukan berasal dari buku-buku. Kawan saya itu pernah bilang bahwa buku-buku itu kemungkinan dikerjakan oleh tim tertentu atau seorang jenius tertentu di sebuah lokasi yang dibiayai sepenuhnya oleh tentakel sebuah kelompok tertentu. Funsinya untuk apa? Untuk mempengaruhi pola pikir seseorang, alih-alih membuatnya pintar karena berpengetahuan. Ini kedengaran seperti seorang bapak memberikan buku tentang cara membuat pesawat kepada anaknya kemudian anaknya berhasil membuat sebuah pesawat yang menabrakkan dirinya ke sebuah gedung berisi orang-orang tak berdosa.

    Agak sadis bukan?

    Tahun 1848, seorang Yahudi Azkhenazi (berasal dari suku bangsa Khazar yang bukan Yahudi?) bernama Karl Marx (seorang Yahudi Kripto, nama aslinya Moses Mordechai Levy) menerbitkan The Communist Manifesto. Menariknya bersamaan dengan Marx mengerjakan ini, Karl Ritter dari Frankfurt University sedang menulis antithesis yang berikutnya menjadi dasar bagi “Nietzscheanisme” oleh FWN. Nietzscheanisme ini kemudian berkembang menjadi Fasisme dan Nazisme dan akan digunakan untuk menggerakkan perang dunia pertama dan kedua.

    Astaga!

    Buku, kawan, sebuah buku ternyata tidak hanya ditulis untuk menambah pengetahuan manusia, tapi mencuci otak manusia (bisa jadi para mahasiswa?) untuk melakukan apa yang diinginkan sekelompok orang agar mereka bisa mendikte dunia yang kita tinggali ini.

    Tragisnya, Anda dapat melihat semakin banyak orang terlibat aktif dalam diskusi macam begini. Anda bisa melihat bahwa orang-orang yang menonjol dari para mahasiswa yang dianggap sudah terkontaminasi buku-buku tentang suatu paham, diperhatikan oleh teman mahasiswanya, dosen matakuliahnya atau bahkan rektornya sendiri. Apa gunanya?

    Agar mereka bisa menjaga semangatnya.

    Mahasiswa ini kemudian diakomodasi untuk menghasilkan buku-buku dengan tema yang sama, biasanya dalam rangka mendukung paham penulis buku terdahulu (yang didanai oleh kelompok jahat tersebut?) dan makin menyebarluaskan ide tersebut. Kritik terhadap paham tersebut ujung-ujungnya mendorong orang melihat sisi baiknya dan mempengaruhi orang untuk mengikutinya dengan bodoh.

    Lihat saja, jika Anda mengambil tema yang dianggap sangat kritis terhadap sebuah buku atau paham, dosen matakuliah atau dosen pembimbing skripsi atau bahkan dosen penguji Anda akan membantai Anda. Membuat Anda berpikir bahwa Anda salah. Tulisan Anda jelek dan Anda tidak punya cukup bukti, tidak mempunyai pendasaran yang kuat dan hanya bisa dimasukkan ke tong sampah.

    Sebenarnya apa?

    Mereka takut. Mereka takut semakin banyak orang kristis terhadap apa yang mereka ajarkan lewat buku-buku (Filsafat?) itu. Mereka takut pada Anda dan mereka lebih takut lagi para agen-agen yang mendanai mereka selama ini. Jika makin banyak mahasiswa menulis sesuatu yang kritis, makin banyak kawannya membawa, bahkan kemudian ada penerbit independent yang menjadikan tulisan, makalah, skripsinya menjadi buku, dana yang mengalir selama ini akan stop perlahan-lahan dan kehidupan sosial para agen “isme-isme” itu akan hancur.

    Oleh karena itu, Anda mesti membaca sebuah buku teks sebagai buku teks, bukan sebagai manual hidup Anda. Banyak buku, banyak ide, banyak isme, banyak sekali orang yang hendak menyetir Anda. Anda pikir dua buku dengan dua penulis dan dua isme berbeda adalah hasil kerja seorang diri dari sang penulis? Anda sebaiknya mulai berpikir bahwa dua penulis ini secara sadar atau tak sadar dibiayai dan dimasukkan ide-ide itu oleh kelompok tertentu.

    Bagaimana kalau kelompok yang sama mempengaruhi dua penulis yang menulis isme berbeda?

    Anda harusnya mulai berpikir bahwa mereka mempunya maksud mengelabui Anda. Bagi mereka tidak penting isme apa yang masyarakat ikuti atau masyrakat baca, yang terpenting adalah hasil yang akan mereka capai. Mereka mendesign dua isme yang berbeda dalam buku-buku, kemudian misalnya Anda memilih satu satu dan menolak yang lain. Anda lihat? Anda sudah dikotak-kotakkan. Anda sudah dimasukkan dalam barisan ini dan bukan itu. secara kasar, Anda bisa dikatakan sudah menjadi musuh potensial bagi yang lain, yang berbeda isme dengan Anda, atau yang berbeda bukunya dengan Anda. Anda memuja seorang filsuf dan mengutuk yang lain. Apakah Anda pernah melihat dosen Anda tertawa karena ini?

    Anda mungkin sering melihatnya di ruang kuliah?

    Di koridor?

    Atau di ruangannya ketika Anda sedang bertamu?

    Isme-isme dalam buku yang And abaca menggerakkan Anda dan orang lain. Anda lihat demo di jalanan? Isme dan buku yang mereka baca berbeda tapi mereka sama mendemo pemerintah atau sebuah otoritas, misalnya. Kenapa? Karena tujuan dari buku yang mengandung isme itu diarahkan kepada kekacauan dalam masyarakat, diawali dengan ketidakpuasan, demo, kemudian kekerasan.

    Ingat, masayarakat yang Marx idam-idamkan justru membunuh banyak orang, menjarah, dan memperkosa, dari pada berbuat kebaikan? Anda pikir revolusi adalah tindakan heroik untuk mengembalikan hak-hak Anda, tapi ternyata Anda dan orang-orang lainnya dipakai oleh si penulis buku dan orang-orang di belakangnya untuk mengambil alih sebuah otoritas dan menguasainya. Sementara Anda dimana?

    Anda akan dijadikan budak atau robot bagi mereka. Tidak ada yang berbeda dari apa yang Anda pikir Anda perjuangkan.

    Apakah Anda pernah berpikir bahwa kemarahan pihak universitas kepada Anda karena Anda indisipliner berhubungan dengan yang Anda baca di atas? Sekarang saya berpikir bahwa mahasiswa-mahasiswa yang “tidak bisa diatur” ini meresahkan otoritas universitas karena Anda sebagai mahasiswa, tidak mudah diarahkan untuk sebuah kepentingan. Saya pikir jika Anda termasuk mahasiswa “Indisipliner” Anda jangan berkecil hati dan merasa tidak berharga sama sekali. Silakan Anda berusaha menjadi mahasiswa yang disiplin, tetapi harus tetap berjiwa pembangkang sama seperti ketika Anda disebut mahasiswa “tidak bisa diatur” karena dengan begitu Anda tidak mudah didoktrin oleh buku-buku isme-isme yang disodorkan dosen untuk Anda baca.

    Salam!

    _Hasmodaeus_

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica