Adakah Anak Punk Era
Soeharto?
Saya lahir akhir tahun 85, jadi saya masih
sesedikit merasakan seperti apa pemerintahan presiden Soeharto pada era Orde
Baru. Di kampung saya, Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Pertanyaan untuk
jawaban ini tidak pernah tidak muncul dalam ujian PMP dan IPS. Menariknya kami
anak-anak kampung senang menulis jawaban pertanyaan ini sebab kami tahu jawaban
ini akan mendongkrak nilai kami karena beberapa pertanyaan lain terlalu sulit
untuk kami jawab.
Selain
menjadi Bapak Pembangunan, Soeharto juga terkenal dengan “Inpres”nya.
Bagi masyarakat desa yang kurang mampu, diberi bantuan berupa ternak gratis
bernama “babi banpres”. Bagi masyarakat yang masih berdagang di pinggir-pinggir
jalan, dibangunkan “pasar inpres”. Bagi kami anak-anak yang tidak cukup nilai
dan uang untuk bersekolah di sekolag swasta dan negeri, didirikan “sekolah
inpres”.
Banyak
hal indah yang saya dapatkan selama era Orde Baru. Ketika itu, keamanan
masyarakat benar-benar terjaga. Jarang pemuda atau polisi minum arak dan
melakukan keributan. Jarang terjadi pengrusakan, penjarahan, pembunuhan,
pencurian, dan tindakan kriminal lainnya. Karena apa? Saya tidak begitu paham. Tapi
menurut desas-desus di kampung, presiden Soeharto seorang jenderal TNI dan ia
sangat tengas menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Di kemudian hari
baru saya pahami bahwa keamanan dan ketertiban sangat penting, bahkan lebih
penting dari apapun ketika sebuah negara ingin membangun, meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, presiden Soeharto menyingkirkan semua
“ketidaknyamanan” dari jalanan agar
masyarakat boleh bekerja mencari uang dengan tenang. Di kemudian hari baru saya
membaca bahwa para era Orde Baru ada yang namanya Petrus—penembak misterius—yang
bertugas mengamankan negara dari gangguan tidak perlu secara internal. Orang-orang
lelaki bertato dihabisi. Kriminalitas bungkam. Preman-preman di pasar dan
terminal kabur. Kehidupan menjadi kondusif. Masyarakat merasa tidak takut
ketika berada di tempat umum.
Lain
halnya sekarang. Saya melewati era Repormasi, kemudian era ini dan itu.
Presiden berganti-ganti. Globalisasi. Modernisasi. Kuliah selesai. Tinggal di
Jakarta semakin sempit. Dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di Bogor. Tapi karena
saya orang yang patuh hukum, saya belum bisa membeli motor karena KTP Bogor
saya belum saya urus. Jadinya untuk melakukan pekerjaan saya, saya menggunakan
angkot yang banyaknya minta ampun di Bogor ini. Saya berangkat pukul tiga sore
dan kembali pukul delapan malam. Dalam perjalanan ini saya harus melewati
Terminal Baranang Siang (lewat belakang) dan Tugu Kujang.
Di
daerah Padjajaran dan Regency, saya sering terganggu oleh pengamen yang dekil,
bau, dan tidak tahu bagaimana mengintertain penumpang, tapi tiba-tiba meminta
uang. Kebanyakan mereka adalah anak-anak usia SD dan SMP. Sebagian besarnya
perempuan. Mereka bahkan tidak bisa disebut pengamen karena hanya meminta-minta
sambil menebarkan amplop kumal. Saya pernah melihat seorang wanita cantik,
dengan pakaian kinclong, tidak mau menerima amplop itu. Tentu penumpang lain
melihat itu sebagai sikap sok, sombong, tapi saya melihatnya lain. Saya kira
amplop itu entah sudah berapa ratus kali diedarkan, dan berapa tangan kotor
dengan kuman penyakit telah menempel di sana. Ah, sinting, masak hanya untuk
dua ratus atau lima ratus rupiah, seorang perempuan cantik dan kinclong seperti
itu harus kena sakit dan mati?
Ini
bukan soal pembedaan kelas sosial. Ini bukan soal kaya lawan miskin. Karl Marx
yang Yahudi Kripto itu telah merusak konsep masyarakat tentang kelas sosial. Tentang
pemilik modal melawan proletar. Sebenarnya itu hanya omong kosong Zionis
mereka. Saya adalah proletar karena saya bekerja pada seseorang dan dia
membayar saya karena saya melakukan sesuatu yang tidak bisa dia lakukan. Apakah
dia dengan begitu menjadi majikan dan saya menjadi budak? Tidak, saya bahkan
bisa tidak datang untuk bekerja dan orang itu tidak membayar gaji saya untuk
hari itu. Tidak ada cambuk, tidak ada penghinaan. Tak ada pemisahan kelas. Bayangkan
kalau saya harus memacul kebun dan menghidupi diri saya dari itu? Berapa lama
saya butuhkan untuk mengisi perut saya? Saya keburu mati sebelum musim panen
datang. Karl Marx sialan! Entah sudah berapa juta orang mati karena teori “titipan” dari Iliminati itu. Malah Karl
Marx yang memisahkan manusia berdasarkan kelas dan membuat mereka saling
membunuh.
Saya
mulai bertanya-tanya, apakah itu juga yang terjadi di Indonesia, di Bogor
ketika makin maraknya sebuah komunitas bernama Punk? Saya menyebut punk di sini
khusus untuk mereka yang beratribut punk dan mengamen. Ada banyak punk yang
saya kenal, mereka berjualan dan membuka usaha tato. Mereka dalah punk putih
bagi saya karena tidak “mengganggu”
pemilik modal tapi bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Sedangkan yang saya
sebut punk hitam adalah mereka yang mengamen di belakang terminal Baranang
Siang dan Tugu Kujang. Mereka meresahkan masyarakat. Mereka bertato, tidak
mandi, dan kadang mengamen dalam keadaan mabuk. Uang yang mereka dapatkan
digunakan untuk membeli rokok dan alkohol?
Apa
manfaat kita memberi mereka recehan?
Kita
pikir untuk memberi mereka makan dan minum yang layak?
Polisi
dan Pol PP yang ada atau sekadar lewat di situ seakan tidak peduli pada punk
ini. Padahal semua orang tahu punk hitam ini mengganggu kenyamanan pengguna
jalan dan pengguna kendaraan umum. Mereka berteriak menyanyi ketika seorang
penumpang sedang menelepon atau menerima telepon penting? Mereka menyanyikan syair-syair
yang menghasut supaya masyarakat melawan pemerintah? Mereka bertato dan mabuk
sambil merokok di dalam angkot? Mereka memilih angkot yang banyak penumpang
perempuannya agar bisa diintimidasi? Lalu mereka memarahi penumpang jika
penumpang sedang sibuk mendengarkan earphone, membaca koran, membaca buku atau
sedang tidur? Apa urusan mereka? Apa hak mereka?
Dan
siapa yang peduli?
Polisi
yang disebut penjaga ketertibab masyarakat?
Saya
teringat era Soeharto. Seandainya saya punya kemampuan untuk menghalau punk
hitam ini, akan saya lakukan sekarang juga. Sebelum hal-hal buruk terjadi. Bagaimana
kalau tiba-tiba punk hitam ini marah karena sudah menenggak alkohol dan memakai
narkoba? Ketika sedang panas ini mereka menyerang penumpang di dalam angkot
yang tidak memberikan recehan? Astaga! Hanya karena recehan, seseorang mati di
tangan punk hitam? Seandainya saya seorang polisi PP, Polantas, anggota TNI,
saya akan minta kepada punk hitam yang mengamen ini untuk berhenti mengganggu
anggota masyarakat lain. Negara ini butuh aturan tentang keamanan dan
ketertiban masyarakat yang lebih spesifik. Memang tidak pantas lagi saya
meminta dibentuknya Petrus lagi. Tapi saya tetap percaya bahwa suatu badan
khusus diperlukan untuk menyingkirkan punk hitam ini dari jalanan. Hukum harus
tegas. Kalau perlu yang mengintimidasi anggota masyarakat lain, langsung
dibuang ke penjara. Mereka harus
diberi tempat khusus untuk mengasah bakat mereka yang lain. Misalnya bekerja di
bengkel kayu dan mesin milik pemerintah.
Rav Mordechai
0 komentar:
Posting Komentar