Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Alur-film (Roro)

  • Selasa, 29 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 33


    Terlalu idealis, angkuh, tapi kami benar-benar ingin membuat film yang detail-detailnya diingat sebagian besar penonton. Bukan cuma adegan romantis, sedih, bahagia, ketakutan, juga adegan sepele setiap hari. Detail perabot rumah tangga. Kata-kata sederhana yang diucapkan oleh Diut di salah satu sudut ruangan. Warna piring dan letak panci yang baru dibeli Toju. Dan detail-detail keren lainnya seperti:
    Sambar Diut, si Kepala Suku, "alat pembuat kopi mendidih jam berapa."
    "Good itu."
    Sehingga kata-kata, orang, dan benda adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. 
    "Bukan sekadar ditempelkan supaya memberitahu ini adegan apa, ini saat dimana," sambung Toju dari balik pintu almari.
    Agar tidak perlu mengecat silang pada pintu atau jendela dan menulis seperti anak kecil, di dinding agar orang tahu ini markas preman lho.
    "Sesuatu yang membuat penonton jadi geli," celetuk Kepala Suku alias Chief. "Merasa ditawarkan melihat rentetan gambar tolol, untuk menghibur anak kecil yang merengek minta permen."


    Kami rasa 20 tahun lagi baru hal itu bisa terealisasi. Mengingat kami belum kelar kuliah. Belum menemukan Roro. Tak tahu harus mencari si wanita narasumber cerita film dimana. Dan bagaimana bisa sampai bangunan atau setting idealis itu ada. Setahun teakhir kami berhenti nonton bioskop. Karena tema-teman cewek yang kami ajak, takut nonton film horor atau ada unsur sadisnya. Tak kuat mereka melihat adegan berkelahi. Tembak-menembak. Atau kekesaran seksual. Jadi waktunya dialokasikan untuk makan, jalan-jalan ke toko buku, sesekali ke museum, meski setelahnya mesti jalan-jalan ke taman mini.
    "Beruntung dapat cium."
    "Hahahahahahaha........." Chief ngakak.


    Praktis, kami ikuti pesatnya pertumbuhan film dalam dan luar negri. Lewat koran. Cukup tahu para pemainnya, garis besar ceritanya, dan apa komentar para pemerhati film dan sejumlah surat kabar Amerika tentang film tersebut. Lewat tv kami tahu film ini dan itu masuk nominasi dan menerima award apa.
    "Nonton saja di kompi," kata Desni lewat sms-nya yang selalu menyenangkan itu.
    "Ah, kami ga bisa lagi nonton di komputer kami; orang-orang yang merasa bertanggung jawab terhadapnya, benci kalau kaset bajakan masuk. Dibaca susah minta ampun. Waktu nonton acak-acak. Dan subtitlenya ga jelas. Bahasa Malaysia kadang-kadang ga nyambung buat mengerti jalan cerita film itu."
    "So?"
    Kami benci keadaan ini. Tapi mau apa?



    Setting-film (Roro)

  • Rabu, 16 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 32


    Kami terjaga dengan muka bengkak....ini mungkin efek mimpi kami sendiri.
    Dan kami mulai berpikir tentang keinginan kami:
    "Menemukan seorang wanita yang tinggal sendirian di sebuah rumah besar, tua, dan orang ini memang asosial dan pesimistis. Dia tentu saja mapan, wanita karier yang keras, namun orang-orang seperti dia memiliki kutukan dengan masalah besar yang disembunyikan dengan rapi sekaligus ingin dipercahkannya."
    Seorang teman dekat kami, Diut, si Chief alias Kepala Suku mengusulkan ide:
    "Dia butuh bantuan orang lain tapi terlalu...gengsi untuk memintanya. Dia tidak mau sampai ketahuan lemah."


    Hahahahaha, kami ingin menjadi penulis skenario film. Menjadi sutradara amatiran, pekerja efek bayangan dan sebagainya dan sebagainya. Sebab kami inginkan cerita misterius atau cerita tentang narapidana serta kejahatannya yang melegenda. Sang wanita adalah sumber pengalaman. Diangkat dari kisah nyatanya dan dia akan membantu kami, mengerjakan 80% isi film ini.
    Tapi kami terus membayangkan setting seperti kebanyakan film produksi Hollywood.
    Dan Diut, si Chief alias Kepala Suku mendeskripsikan dengan asyik:
    "Ada komplek rumah-rumah pribadi yang jauh dari pusat kota. Tanah yang luas, halaman luas, rumah tingkat dari kayu atau tembok bat zaman Victoria. Tumbuhan rambat, pagar rendah, dan beberapa pohon pelindung rindang berumur di atas 50 tahun. Jalan aspal hitam pekat di depan rumah. Jarak ke tetangga 55 meter, dan ada orang aneh di sekitar rumah."
    Kami jadi geli dan meneguk kopi bikinan Chief:
    "Setting seperti itu tidak akan bisa ditemukan di Indonesia."
    Tempat yang paling "mendekati" adalah kantor-kantor kecil pemerintahan atau Istana Negara dan Istana Bogor. Tapi sayang, pagarnya tinggi, berpenjaga, dan ditambah bangunannya kaku. "Kita butuh kediaman yang mudah diakses orang sampai ke terasnya."
    Chief mengusulkan namun segera mengendur:
    "Di kompleks perumahan elite...terlalu formal ya. Pagarnya tinggi-tinggi untuk antisipasi perampok atau aksi anarkhis kaum Proletarian. Di kompleks perumahan biasa, terlalu sempit. Kotor, terik, bau, tak ada lahan kosong untuk rumput dan tanaman lainnya."
    Sedangkan di kampung-kampung, terlalu riskan mendirikan bangunan rumah bertingkat dan berkesan aristokrat. Selalu saja ada yang iri hati. Sehingga setting film tak akan menjadi alamiah. tak akan menyentuh. Dibuat-buat sehingga penonton jadi tak pernah memahami detail film, menikmati keindahan semua hal yang ada di kamera. Tapi cuma sekadar gaul, pergi menonton film yang sedang digantung di depan dinding teratas mall-mall.

    Laptop (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 31


    Merapikan tas dan meja kayu cokelat. Berbasa-basi sebentar di ruang kuliah, lalu berjalan pulang. Tidak ingin ikut nongkrong di kantin. Tidak mau merokok bersama kelompok tertentu yang gayanya seperti jagoan: duduk-duduk di atas sepeda motor besar dan memandang orang lain dengan sebelah mata.
    "Mang dia bajak laut pa?"
    "Ga juga sih, tapi mungkin saja dia bajak laut."
    Kami bertemu dengan Si Tengah di tangga turun. Dia bilang dia juga tidak ingin nongkrong di kantin sambil makan makanan siap saji kebule-bulean dengan mereka-mereka yang membuka internet hanya untuk chatting, utak-atik facebook, friendster, cari info soal artis, melihat video tindak kekerasan yang tidak mendidik sama sekali, juga download video klip lagu-lagu dari youtube.
    Kami jadi pikir-pikir sebab kami berempat pernah bertengkar hebat soal laptop.


    "Mau minta duit ke Ibu?"
    "Emang gak cukup komputer yang di kamar itu?"
    "Malah ada dua buah, terus laptop tua itu?"
    Tidak ada hasil yang menyenangkan. Masing-masing kami punya pendirian sendiri soal laptop ini. Ada yang mengatakan laptop bisa lebih murah dari pada komputer kantoran. Bisa dibawa kemana-mana. "Portable, boss." Tidak boros tempat. Keren. Modern. Bisa gaul dengan cewek-cewek cantik di kampus yang juga punya laptop keren. Mudah mengakses info. Pada pokoknya: "Apa saja bisa dengan laptop," kata Si Bungsu, yang menurut kami, naif. "Setidaknya lebih mudah mengerjakan tugas," dia melanjutkan dengan riang gembira seakan-akan laptop itu solusi buat orang modern.
    Tapi sayang, laptop juga naik harganya sesuai gonjang-ganjing dollar. Dia bisa dicuri dan dirusak dimana saja. 
    "Punya orang lain lebih bagus dan lu minder ntar," kata Si Tengah sok bijak pada Si Bungsu.
    Laptop bisa dijatuhi apa saja karena tidak kelihatan. Mudah dicuri perhatian dari mengerjakan tugas. Informasi-informasi yang sampah juga masuk ke kepalamu. 
    "Lalu otakmu yang bersih dikotori," Si Tengah tidak mau mengalah.
    Kita kemudian mengotori otak-otak yang lainnya, yang ada di dekat kita. Lalu kita yang banyak itu mulai berpikiran kotor terhadap orang-orang di sekitar kita. Dan penyebaran serta efek negatifnya semakin meluas.
    "Cukuplah dengan warnet," kata kami, nyaris mengakhiri debat aneh ini.
    "Jadi perjanjiannya, kalau semua warnet ditutup baru kita beli laptop satu-satu!" seru Si Sulung, berlagak kayak uang untuk beli laptop dari sakunya sendiri.


    Akhirnya kami setuju. Setuju untuk menunggu sampai Ibu menelepon dan menanyakan apakah kami tidak butuh laptop untuk keperluan kuliah? Ibu memang selalu lebih modern dari Bapak. Buat Bapak, nama baik dan kesejahteraan bawahanlah yang lebih penting. Kalau laptop mempengaruhi nama baik dan kesejahteraan bawahannya, Bapak akan setuju sekali semua orang punya laptop.
    "Itulah Bapak."
    "Gagap teknologi tapi dia sangat membanggakan kalian, anak-anaknya," gumam Ibu di sore itu, hujan masih deras dan suaranya yang terputus-putus membuat suasana terasa sakral.
    Bagi kami, Ibu meski lancar teknologi tapi sering pemahamannya tentang aspek-aspek kehidupan manusia masih sempit. Cocoklah Ibu dan Bapak menjadi pasangan sehidup semati. dalam istilah Latinnya kami ingat: "Unitas dan Indissolubilitas."
    Ibu dan Bapak memang tidak tahu sama sekali istilah itu. Tapi mereka menjalankannya. Sementara itu, banyak orang yang tahu istilah itu tapi pura-pura tidak pernah mendengarkannya atau pura-pura lupa. Mereka tahu namun enggan menjalankannya dengan berjuta alasan.
    "Mereka pikir cuma mereka yang punya masalah psikologi..."
    "Seks..."
    "Dan finansial..."


    Seandainya teori Seleksi Alam Darwin benar...

    Ujian-kampus (Roro)

  • Senin, 14 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 30


    Kami mulai menikmati yang namanya ujian atau quis yang dibuat di kampus. Bukan karena kami pintar atau supaya kami kelihatan lebih tenang menghadapi ujian dari pada mahasiswa yang lainnya. Tetapi kami memang senang, dan senang memang kami. Mungkin kami senang karena kami suka ke warung kopi di waktu senggang, terus membaca buku yang berat. membaca saja. Misalnya membaca di rumah, supaya:
    "Gw gak nyuruh kalian masak makan siang ya?" semprot Si Sulungdi tengah hari bolong. Yah, memang, supaya kami tidak disuruh beli air galon atau merapihkan rumah.
    "Belajar itu lebih penting dari segalanya, coy..." Si Tengah selalu menantangnya.
    Kami suka itu. Setidaknya ada penyeimbang dalam rutinitas kami yang kadang menjemukan.


    Misalnya membaca di angkot, supaya:
    "Gak jengkel dengerin obrolan remaja SMP dan SMU yang sok dan aportunis," sergah Si Bungsu.
    "Ibu-ibu yang senang menceritakan kejelekan tetangganya sendiri," tambah Si Tengah.
    "Atau penumpang cowok yang cantik minta ampun," kata kami, "dan kalau kau tidak membaca buku, kau akan ketahuan penumpang lain, sedang menatapnya dan naksir padanya.
    wkwkwkwkwkwkwkwkw..............!!!!


    Mungkil hal membaca itulah yang menyebabkan kami menjadi profesional. Melakukan apa yang penting tanpa menciptakan kerusakan untuk diri sendiri dan orang lain. kami tiba di kampur tepat jam di mulai ujian. Mengambil tempat duduk yang kosong melompong. Menarik napas dalam-dalam, mengambil lembaran soal dan jawaban, kemudian mulai mengeluarkan kentut-kentut ide yang terpancar dari lubang pengetahuan kami. Sophia! Oh Sophia! Kemudian kami mengerjakannya dengan tenang, mendayung sampan di tengah sungai, sampai waktu petang tiba, dan kami menepi, berhenti, memeras peluh, dan menyegarkan diri dengan segelas Martini. Jika sampai di titik itu, tahulah kami bahwa memang tak ada yang bisa kami tambahkan lagi pada lembaran jawaban--"Otak dan memori selalu terbatas!"
    "JUGA AKU YANG PINTAR!!!!"

    Kuliah (Roro)

  • Minggu, 13 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 29


    Kami menganggap sekolah--kuliah adalah rutinitas yang menyenangkan. Meski juga kadang menjadi pelarian ketika di rumah terjadi pertengkaran dan tak ada yang berinisiatif untuk merawat rumah dan memasak makanan. Sebab di sekolah--kuliah, kami mendapat begitu banyak kemudahan. Bukan saja ilmu pengetahuan, tapi juga kantin, karyawatinya, dan mahasiswi-mahasiswi yang membuat jatuh cinta. 
    "Ada yang janggal."
    Namun untuk kampus sebesar ini, kami juga belum mendengar ada seorang mahasiswi bernama Roro.
    Temi memang kami lihat pagi ini. Tetap cantik dan membuat gregetan. Dia melirik kami sesekali dari percakapan dengan gang-nya yang duduk di deretan bangku depan pintu Gedung Utama. Si Tengah tentu saja jatuh cinta padanya setengah mampus. 
    "Tapi Nenek berpesan," ujar Si Bungsu, "jangan kou (kau) pikirkan perempuan dulu, selesaikan kuliah kou itu yang utama."
    "Oke juga ya otak Nenekmu itu."
    "Nenenkmu juga setan."
    "WOIIIIIIII!!!!!"

    Sopan-santun (Roro)

  • Rabu, 09 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 28


    Kami pulang kuliah. Bus yang kami tumpangi sepi. Namun kemudian ketika sampai di depan sebuah halte kampus swasta, banyak mahasiswi naik. Banyaknya mereka bukan hanya karena mereka lebih dari 5 orang, tetapi juga karena 3 diantaranya gendut,dut, dut...Mereka memilih kursi dan seorang langsung duduk di sampingnya kami. Namun ketia sebuah bangku di seberangnya kosong, dia cepat-cepat pindah. Kecewa sekali kami sebab kami menganggap mahasiswi itu tidak punya sopan santun dan tinggi hati. Buat kami dai tak mungkin Roro. Atau apakah saat bertemu nanti, Roro akan segera menjauh dari kami seperti wanita ini?


    Tak ada masalah dengan cewek-cewek di kampus. Bahkan orang-orang yang sering kami perhatikan, tidak tampak. Orang Sulawesi itu, orang Setengah China itu, orang Sumatra itu, dan orang Setengah Maluku itu...gila! mereka sangat menarik hati. Semuanya mempesonakan kami. 
    "Gila banget, cewek-cewek makin cantik tiap harinya."
    "Itu imitasi."
    "Mana mungkin?"
    "Itu botox."
    Sembarangan lu."
    Kami beradu argumen dengan teman-teman seangkatan yang juga memuja kecantikan para temen mahasiswi kami. Tapi sebuah rasa masih mengganjal di hati. Sesampainya di tingkat dua, kami bertemu dengan Si Tengah.
    "Mau kemana lu?"
    "Nongkrong di atas."
    "Mau ngeliat cewek-cewek cakep lu?"
    "Mau tahu cewek-cewek mana saja yang sudah mulai berkurang sopan santunnya padaku."
    "Sok moralis--moralis busuk lu."
    Biarin. Dia mau bilang apa ke...kami memang orang moralis. Sekalipun busuk. Kami tetap moralis yang memahami kebusukan itu seperti rongga mulut yang menganga dan siap memuntahkan penghinaan pada orang yang tidak sehebat dirinya....busuk lu!!!!

    Body-proporsional (Roro)

  • Sabtu, 05 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 27


    Kami diam-diam punya kebiasaan baru: MENGHITUNG BERAPA BANYAK CEWEK CANTIK DAN BERBODY PROPORSIONAL dengan pakaian yang pas, yang sedang berdiri, duduk, atau parkir di bawah spanduk, baliho, atau bahan kampanye Caleg lainnya. Kami memulai menghitung semenjak masuk ke dalam tubuh angkutan umum; pergi dan pulang. 50 orang cewek cantik adalah semacam pradestinasi bagi kemujuran kami, meski kadang-kadang kami juga terlambat dan diusir dosen yang disiplin itu. Beberapa kali kami tidak bahagia, meski kami telah menghitung 50 cewek cantik, jadi kami kemudian beralih menghitung: BERAPA BANYAK MOTOR GEDE YANG LEWAT DI JALANAN. 50 buah tetap menjadi syarat Hari-Mujur-Kami. Meski tak jarang kami harus berakhir dengan dicuekin teman-teman yang sibuk sms atau talk mania, kena hujan, becek, angkutan umumnya sesak, ga ada ojek, terciprat lumpur dan air di pinggir jalan. Dan kami mujur karena tidak memaki sebab percuma saja: "hanya orang-orang goblok yang ribut dengan orang egois."


    Di angkot, Si Tengah bertemu dengan sebuah keluarga sederhana. Mungkin baru bermigrasi dari desa. Merantau ke Jakarta dan sedang menghafal rute menuju suatu tempat. Ibunya adalah seorang perempuan bertubuh besar, rambut ikal halus, hidung bertulang lebar dan bibirnya sedang. Bajunya kuning cerah, jins biru terang selutut, sandal jepit ungu dihias pernak-pernik perak. Bapaknya berambut lurus, hidung kecil, bibir tebal, dengan mata yang redup. Baju kaos berkerah biru pudar melekat dan memberi bentuk ketuaanya. Celana bahan kain murahan bersaku samping membungkus kakinya yang kokoh. Sepatu kets garis-garis hitam putih yang seperti baru habis digigit tikus di beberapa tempat, melindungi kakinya dari kotoran Jakarta. Anak perempuan mereka, kira-kira berumur 10 tahun. Rambutnya lurus halus berkilau, hidungnya seperti ibunya, matanya bulat besar, bagus sekali jika dia sedang menatap dengan ingin es krim penumpang SMA di sebelah ibunya. Bibirnya tebal seperti punya bapaknya, sepatunya, tapi tak robek sedikitpun. 
    "Lebih baik bapak yang menderita dari pada anak kan?"
    Sepatu itu, hanya sedikit kotor. Ketiganya berkulit gelap seperti habis berjemur, menandakan mereka pekerja yang tekun, tahan banting, dan umut panjang.


    Hal seperti itulah yang terekam dan dipikirkan Si Tengah, sehingga dia bisa menceritakan kembali dengan gamblang kepada kami bertiga di atas tempat jemuran. Dia pandangi mereka bergantian dan merasa senang dalam hati sebab masih bisa bertemu dengan orang-orang  seperti ini. 
    "Keluarga yang bersatu."
    Sementara penumpang lainnya yang pulang kantor, kuliah, dan sekolah, atau belanja, seakan berusaha menjauh dan tak mau melihat. seorang wanita karier menutup hidungnya dan batuk-batuk. Dan saat itulah Si Tengah cegukan, matanya berkaca-kaca sewaktu menceritakan ulang kepada kami saudara-saudaranya.
    "Saat itu aku ingin memeluk keluarga kecil yang sederhana itu untuk menantang perikemanusiaan dan penghormatan wanita karier itu."

    Cerpen-gombal (Roro)

  • Kamis, 03 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 26


    Bertandang ke rumah teman kami, Ronaldo. Sampai di kamarnya, ternyata orang ini sedang sibuk memelototi layar komputer miliknya. "Apaan tuh?"
    "Gw lagi nulis cerpen."
    Asing. tapi Ronaldo, yang gila bola dan nyaris masuk tim senior dalam sebuah seleksi klub sepak bola di Makassar ini, menulis cerpen? bagaimana bisa? Dia itu memang sedikit plekmatis dan melankolik, tapi yang paling menonjol sanguisnis kok. Ataukah dia sedang mengejar sesuatu dengan menulis cerpen itu? Perlu dikorek keterangan lebih dalam lagi. "Sudah berapa halaman?"
    Tak menjawab. bagus lu!
    Kemudian baru kami mencaritahu sendiri. Ronaldo sudah menulis 13 halaman penuh. Dia meminta kami membacanya, sementara dia turun ke bawah, berlari ke warung, dan pulang dengan kantong plastik berisi segala macam keperluan kalau kami sedang ingin nongkrong. Sekarang situasi menjadi agak dingin. Cerpen itu secara garis besar berisi tentang cinta. ya memang cinta. Maka kami cepat-cepat protes, berharap ide kami yang lebih bagus di dengar. Tapi Ronaldo bagai Kafila, anjing menggonggong, peduli setan.
    "Rasanya basi banget cerpen tentang cinta. gak jamannya lagi, dimuat di koran Bos."
    tapi Ronaldo bergeming.
    Kenapa kami menolak cerpen cinta? Alasannya, cerpen cinta biasanya bergerak dibuat-buta dn lamban. Nyaris tanpa energi spontanitas dan inovatif. Alurnya mudah ditebak, saking mudahnya, kau tidak perlu membaca cerpen itu, bahkan kau bisa mendiktekan kepada sang penulis apa yang belum ditulisnya. Kau mungkin punya ide seperti yang kami pikirkan ketika Ronaldo membawa masuk kopi susu mengepul dan dua batang rokok putih. Kisahnya begini: biasanya sepasang insan jatuh cinta, orang tua keduanya tak setuju, terpaksa mereka karena saking cintanya, kawin lari. Karena kawinnya pakai lari, si perempuan hamil di luar nikah, dan atau kawin dengan laki-laki lain sebab si laki-laki pertama melarikan diri ketika tahu dia akan menjadi bapak. Pada akhirnya terjadi pertemuan yang dramatis, dan semua antagonis disulap menjadi protagonis. "Basi."
    tapi teman kami ini serius sekali, seakan tak menangkap hawa penolakan kami. Tanpa dosa, dia menyelesaikan cerpennya, meski mata dan otak kami sudah leleh di halaman ketiga, dan tak mau membaca lagi, cuma melambai-lambaikan di depan batang hidung, dan berpura-pura mengangguk riang. Padahal ngantuk.
    "Romantisme semu."
    "Ini untuk sebuah buku kumpulan cerita."
    Seorang teman yang lain, dulu sekali pernah ikut menulis cerpen untuk hajatan seperti itu, dan tahun ini, dia meminta Ronaldo mengerjakannya. Tentu saja atas nama Ronaldo sendiri. Uang honornya pun tak dibagi dua. Kami langsung berpikir, kok bisa ya ada orang yang berniat mengumpulkan cerita-cerita tak bermutu itu untuk diterbitkan? Setengah jam kami mengeluhkan cerpen itu dan sejumlah tetek bengeknya yang kami sangkut-pautkan saja ke situ. Namun Ronaldo tidak terjamah. Dia sekali berkata: "Minum kopimu, isap rokokmu, dan kita bicara tentang kata."
    Dan kami bicara tentang kata, meski kami tidak menyedot nikotin dan teman-temannya dari sebatang rokok putih itu. Tak tahu kami bahwa yang terpenting dalam menulis adalah kejujuran, kesetiaan, dan kesenangan. Kami memang tidak langsung beralih mencintai cerpen cinta, tapi kami kemudian bisa mendukung Ronaldo. kami tahu dia bahagia atas dukungan itu. Karena dia bahagia, kami juga ikut bahagia. 
    "Tidak sia-sia kau datang kemari, Bro."
    "Siapa dulu...gw!"
    "Smoga terbit dan disambut masyarakat luas."
    "Traktir nasi goreng spesial."
    Crettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt!!!!!!!

    Dansa-dansy (Roro)

  • Selasa, 01 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 25


    Temi. Kenapa dalam kisah kami yang tak berkesudahan ini terdapat kisah seorang gadis bernama Temi? Karena kisah Temi adalah kisah paling menghangatkan dari seorang teman wanita kami sekeluarga.
    Dan Temi pulang. Juga Si Tengah. Mereka membawa pakaian-pakaian ke kamar Si Tengah dan kami yang lain senyum-senyum nakal. Si Sulung mengatakan, "Dasar otak mesum." Dan kami melirik Si Bungsu, "Jangan dengarkan ocehan orang yang juga sedang pengen."
    Lima belas menit mereka keluar. Wow!!!
    Di depan pintu, kini, berdirilah seorang wanita belia dengan paras bak bidadari. Dia mengenakan gaun silver dengan taburan manik-manik di bagian V gaun. Namun dia seperti kerasukan, matanya terus meloto dan panik. Dia takut tampak aneh di depan orang-orang. Setelah pakaian, sekarang yang jadi masalah, "Bagaimana perutku gak kelihatan buncit?"
    Tak ada gaun lain lagi yang mendukung. Malah  sebuah gaun hitam kulit lumba-lumba menjadi mini, dan jika dia naik atau menunduk, habisalah dia.


    Akhirnya dengan marah-marah, Si Sulung memilihkan gaun yang terbaik untuk Temi.
    "Gunakan stagen."
    Bahkan saking paniknya, Temi bertanya bahwa, "Pake bra atau putingnya ditutup pake plestes aja?"
    "Terserahlah," jawab Si Sulung. Memang harus terserah, barang itu kan punya Temi, emangnya punya Si Sulung yang matanya saja mesum itu. "Yang penting nyaman." Si Sulung memang paling bisa bijak tapi dasar mesum ya tetap mesum. tapi Temi, kasihan, dia benar-benar tidak nyaman. sejam kemudian baru mereka berangkat.
    Sampai di tempat pesta, ternyata pesta itu diadakan di gedung berukuran kecil. Suasana kekeluargaanya tampak sekali sebab, "Sepertinya semua orang yang hadir saling mengenal, meski bahasa yang digunakan agak berbeda," jelas Si Tengah dengan mata mengawang-awang. 
    "Kau trans?"


    Orang-orang menyambut Temi dan Si Tengah dengan senang. Ketika mereka sedang mengambil makanan ringan yang terdiri dari agar-agar dan krim, kedua mempelai yang berbahagia menghampiri dan bertanya: "Setelah ini mau kemana? Aanak muda kan banyak acara?"
    Temi dan Si Tengah tertawa ngakak. Mereka mengedarkan pandangan, tahu bahwa di pesata ini, para undangan datang dengan pakaian pantas, pakaian yang nyaman, tanpa menonjolkan jenis pakaian tertentu. tak ada yang memakai tuxedo. Temi menertawai Si tengah. Si Tengah balik menertawai Temi, yang gaun bagian perutnya agak mengembung aneh. Dan Si Tengah bertanya geli: "Menurut Mbak dan Mas, apa Temi boleh makan lagi?"
    Kedua mempelai yang berbahagia tertawa ngakak. Tak ada undangan yang menoleh, merasa risih, dan mencibir tingkah kedua mempelai yang berbahagia.


    "Itukan hari besar mereka berdua. Mereka pantas bahagia dan tertawa ngakak. Mereka yang kawin kok mesti menenggang perasaan "terhormat" para undangan yang belum tentu terhormat?" kata Si Sulung sok bijak dan kritis.
    Mesum lu, dalam hati kami berteriak. Kemudian Si Tengah melanjutkan kisah Temi lagi: keduanya terseret dalam gelombang danda-dansy ketika ratusan tangan menyambar mereka ke dalam lautan manusia dengan gigi meringis dan celoteh asali. Berdansa. mari berdansy. Ayo berdanda-dansy. hilangkan duka dan lara, juga manner yang omong kosong. Baik tua baik muda. Bocah laki-perempuan riang gembira, seakan terbang melayang-layang, mengapung, saling berkejaran di atas langit-langit balon dan bunga-bunga hias. Kedua mempelai yang berbahagia turun dengan gegas dari panggung mereka yang tinggi menuju lantai dansa sesungguhnya. Temi bahkan berbisik pada Si tengah.
    "Kita balik kalo pesta ini udah selsai."
    Dan keduanya tertawa dalam lautan asmara-dana. Keduanya tertawa atas perkenalan dengan begitu banyak manusia ramah-tamah. Orang-orang itu kemudian menceritakan banyak hal. membuat Temi tertawa, terkejut, heran, dan tertawa lagi, ngakak lagi. di tengah pesta, temi ditelepon bapaknya.
    "bagaimana pestanya, Mi? Sudah wakili Bapak sepenuhnya?"
    "Bapak itu bodoh. pasti Bapak sangat menyesal tidak bisa datang kan?"
    "Memang."
    "dan saya sudah sampaikan permitaan maaf Bapak pada semua orang di sini. Hebat bukan?"


    "Temi belum pernah seliar itu, bos," kata Si Tengah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang anggun. "rasanya aku ingin menciumnya."
    "dan kita tahu siapa sebenarnya yang mesum," Si Sulung pakai kesempatan untuk membela diri.
    "Tapi dia tulus, bos," bela Si Bungsu.
    "Memang, tapi kalian berdua biasa kong kalikong, toh?"
    Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha................!!!!!

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica