Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Alur-film (Roro)

  • Selasa, 29 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 33


    Terlalu idealis, angkuh, tapi kami benar-benar ingin membuat film yang detail-detailnya diingat sebagian besar penonton. Bukan cuma adegan romantis, sedih, bahagia, ketakutan, juga adegan sepele setiap hari. Detail perabot rumah tangga. Kata-kata sederhana yang diucapkan oleh Diut di salah satu sudut ruangan. Warna piring dan letak panci yang baru dibeli Toju. Dan detail-detail keren lainnya seperti:
    Sambar Diut, si Kepala Suku, "alat pembuat kopi mendidih jam berapa."
    "Good itu."
    Sehingga kata-kata, orang, dan benda adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. 
    "Bukan sekadar ditempelkan supaya memberitahu ini adegan apa, ini saat dimana," sambung Toju dari balik pintu almari.
    Agar tidak perlu mengecat silang pada pintu atau jendela dan menulis seperti anak kecil, di dinding agar orang tahu ini markas preman lho.
    "Sesuatu yang membuat penonton jadi geli," celetuk Kepala Suku alias Chief. "Merasa ditawarkan melihat rentetan gambar tolol, untuk menghibur anak kecil yang merengek minta permen."


    Kami rasa 20 tahun lagi baru hal itu bisa terealisasi. Mengingat kami belum kelar kuliah. Belum menemukan Roro. Tak tahu harus mencari si wanita narasumber cerita film dimana. Dan bagaimana bisa sampai bangunan atau setting idealis itu ada. Setahun teakhir kami berhenti nonton bioskop. Karena tema-teman cewek yang kami ajak, takut nonton film horor atau ada unsur sadisnya. Tak kuat mereka melihat adegan berkelahi. Tembak-menembak. Atau kekesaran seksual. Jadi waktunya dialokasikan untuk makan, jalan-jalan ke toko buku, sesekali ke museum, meski setelahnya mesti jalan-jalan ke taman mini.
    "Beruntung dapat cium."
    "Hahahahahahaha........." Chief ngakak.


    Praktis, kami ikuti pesatnya pertumbuhan film dalam dan luar negri. Lewat koran. Cukup tahu para pemainnya, garis besar ceritanya, dan apa komentar para pemerhati film dan sejumlah surat kabar Amerika tentang film tersebut. Lewat tv kami tahu film ini dan itu masuk nominasi dan menerima award apa.
    "Nonton saja di kompi," kata Desni lewat sms-nya yang selalu menyenangkan itu.
    "Ah, kami ga bisa lagi nonton di komputer kami; orang-orang yang merasa bertanggung jawab terhadapnya, benci kalau kaset bajakan masuk. Dibaca susah minta ampun. Waktu nonton acak-acak. Dan subtitlenya ga jelas. Bahasa Malaysia kadang-kadang ga nyambung buat mengerti jalan cerita film itu."
    "So?"
    Kami benci keadaan ini. Tapi mau apa?



    0 komentar:

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica