27
Kami diam-diam punya kebiasaan baru: MENGHITUNG BERAPA BANYAK CEWEK CANTIK DAN BERBODY PROPORSIONAL dengan pakaian yang pas, yang sedang berdiri, duduk, atau parkir di bawah spanduk, baliho, atau bahan kampanye Caleg lainnya. Kami memulai menghitung semenjak masuk ke dalam tubuh angkutan umum; pergi dan pulang. 50 orang cewek cantik adalah semacam pradestinasi bagi kemujuran kami, meski kadang-kadang kami juga terlambat dan diusir dosen yang disiplin itu. Beberapa kali kami tidak bahagia, meski kami telah menghitung 50 cewek cantik, jadi kami kemudian beralih menghitung: BERAPA BANYAK MOTOR GEDE YANG LEWAT DI JALANAN. 50 buah tetap menjadi syarat Hari-Mujur-Kami. Meski tak jarang kami harus berakhir dengan dicuekin teman-teman yang sibuk sms atau talk mania, kena hujan, becek, angkutan umumnya sesak, ga ada ojek, terciprat lumpur dan air di pinggir jalan. Dan kami mujur karena tidak memaki sebab percuma saja: "hanya orang-orang goblok yang ribut dengan orang egois."
Di angkot, Si Tengah bertemu dengan sebuah keluarga sederhana. Mungkin baru bermigrasi dari desa. Merantau ke Jakarta dan sedang menghafal rute menuju suatu tempat. Ibunya adalah seorang perempuan bertubuh besar, rambut ikal halus, hidung bertulang lebar dan bibirnya sedang. Bajunya kuning cerah, jins biru terang selutut, sandal jepit ungu dihias pernak-pernik perak. Bapaknya berambut lurus, hidung kecil, bibir tebal, dengan mata yang redup. Baju kaos berkerah biru pudar melekat dan memberi bentuk ketuaanya. Celana bahan kain murahan bersaku samping membungkus kakinya yang kokoh. Sepatu kets garis-garis hitam putih yang seperti baru habis digigit tikus di beberapa tempat, melindungi kakinya dari kotoran Jakarta. Anak perempuan mereka, kira-kira berumur 10 tahun. Rambutnya lurus halus berkilau, hidungnya seperti ibunya, matanya bulat besar, bagus sekali jika dia sedang menatap dengan ingin es krim penumpang SMA di sebelah ibunya. Bibirnya tebal seperti punya bapaknya, sepatunya, tapi tak robek sedikitpun.
"Lebih baik bapak yang menderita dari pada anak kan?"
Sepatu itu, hanya sedikit kotor. Ketiganya berkulit gelap seperti habis berjemur, menandakan mereka pekerja yang tekun, tahan banting, dan umut panjang.
Hal seperti itulah yang terekam dan dipikirkan Si Tengah, sehingga dia bisa menceritakan kembali dengan gamblang kepada kami bertiga di atas tempat jemuran. Dia pandangi mereka bergantian dan merasa senang dalam hati sebab masih bisa bertemu dengan orang-orang seperti ini.
"Keluarga yang bersatu."
Sementara penumpang lainnya yang pulang kantor, kuliah, dan sekolah, atau belanja, seakan berusaha menjauh dan tak mau melihat. seorang wanita karier menutup hidungnya dan batuk-batuk. Dan saat itulah Si Tengah cegukan, matanya berkaca-kaca sewaktu menceritakan ulang kepada kami saudara-saudaranya.
"Saat itu aku ingin memeluk keluarga kecil yang sederhana itu untuk menantang perikemanusiaan dan penghormatan wanita karier itu."
0 komentar:
Posting Komentar