Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Luka Luka Twitter

  • Selasa, 22 Mei 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , , , , ,
  • LUKA-LUKA TWITTER (TUIPS)

    a/

    Saya termasuk dalam daftar ORANG-ORANG TELAT INTERNET karena dari semua kawan-kawan atau orang-orang yang hidup dalam ruang lingkup keluarga dan pergaulan, saya yang paling AKHIR tergabung dalam sebuah SOCIAL NETWORK—bahkan saya tidak punya akun Friendster dan baru punya E-MAIL pada tahun 2009—tapi kemudian saya menjadi GILA, KERANJINGAN, dan membuat semua akun di setiap SOCIAL NETWORK yang saya temukan di internet. Saya punya selusin akun, sebagiannya tidak saya kunjungi, dan sebagiannya menjadi tempat saya BICARA tentang BUKU, FILM, KRITIK SOSIAL BUDAYA.

    b/

    Saya menganggap diri saya MENARIK ketika berhubungan dengan SOCIAL NETWORK—secara fisik saya mirip Robinho—karena disitu saya MALAH tidak terhubung dengan orang lain. Padahal salah satu KESOMBONGAN SOCIAL NETWORK adalah tawaran menghubungkan kita dengan orang lain—secara semu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan (lihat saja kasus-kasus kriminal lewat jejaring sosial dan teror atau fitnah)—yang sangat kita kenal, seperti kita mengenal setiap jengkal KELAMIN kita, yang cukup kita kenal, yang lumayan kita kenal, yang sedikit kita kenal, yang mengenal kita, yang jarang kita kenal, yang paksa-paksa mengenal kita, dan yang tidak kita kenal sama sekali (semua jenis akun itu sama berbahayanya dengan mereka yang melakukan tindak kriminal ECEK-ECEK di pasar, terminal atau tempat wisata).

    c/

    Pertama kali saya malah membuka akun di PLURK—sebuah jejaring sosial dengan sistem pemberian nilai/KARMA bagi setiap respon atas postingan—dan bertemu (secara semu) dengan (nyaris semua) ABG yang kelihatannya ingin sekali eksis, menjadi sangat popular (kemudian seperti Justin Bieber dan Sinta/Jojo). Mereka suka sekali merespon yang aneh-aneh, yang lucu-lucu, yang brutal-brutal dengan EMOTION yang kreatif (ada emotion memukul dengan kursi lipat). Saya berkenalan (secara semu) dengan seorang ABG MUSLIM, dan dari sini pertemanan menjalar kea kun-akun lain. Tanpa sadar, saya menjadi cukup TOLERAN pada agama lain, disini.

    d/

    Kemudian saya membuka akun (terpopuler menurut saya, tapi lumayan tidak berbobot untuk kemajuan dunia dalam segi apapun kecuali teknologi internet itu sendiri) FACEBOOK. Bertemu kawan lama, bertemu orang-orang yang bersekolah di sekolah yang sama, membentuk komunitas ini dan itu sesuai hobi dan saling komen demi seru-seruan. Setelah itu tidur dan tidak ada apa-apa yang HEBAT dari ini. Dalam kebosanan, saya dilipur oleh akun GOODREADS dimana saya bisa menjadi seorang PUSTAKAWAN (salah satu cita-cita saya) yang mengumpulkan buku-buku yang saya baca dari masa lalu, sekarang, dan nanti. Saya mulai sibuk dengan memberi rating, mengomentari, membuat review, dan berbagi pengalaman tentang hunting buku, buku diskon dan lain sebagainya. Akun ini akun paling bermanfaat bagi saya. Menariknya, dari jejaring sosial ini saya bisa konek ke FACEBOOK dan TWITTER. Saya sering mendengar tentang TWITTER. Kata orang dan teman-teman yang sudah punya akun disana, TWITTER lebih oke dari FACEBOOK atau jejaring sosial lainnya.

    “Kenapa?” saya bertanya.

    “Selebriti di Facebook, palsu.”

    “Apa hubungannya?” saya heran.

    “Semua orang terkenal di negeri ini, berkumpul di Twitter.”

    “Wah!” saya hanya bisa takjub. Dunia semakin sempit. Mereka—orang-orang terkenal itu sekarang bisa saya sentuh, sekalipun semu dan kita tak pernah tahu apakah mereka punya hasrat MENGENAL atau BERBICARA dengan kita atau tidak. Tapi bukan berarti semua orang-orang terkenal itu sombong. Beberapa malah jauh lebih baik dari tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh (yang berkoar-koar) agama. Saya pun buat akun di TWITTER, follow sebanyak mungkin orang-orang terkenal di negeri ini, dan tak lupa pula mention kea kun teman-teman (sebab saya sangat yakin, teman-temanlah yang lebih MENGENAL dan BERBICARA dengan saya. Teman-teman peduli, orang-orang terkenal itu, tidak. Ini kan pertemanan semu. Kita hanya MENCANTELKAN KAWAT KITA PADA ORANG LAIN, tidak pernah dia yang mengajak kita berkenalan (jika pun iya, tentu karena ada maunya, misalnya untuk mendukung dia dalam Ajang tertentu, atau mendongkrak Film, Lagu, dan Produk yang dibintanginya). Setelah setahun penuh (selalu mengutamakan membuka) di TWITTER, saya jadi paham bahwa saya hanya bisa BERKENALAN dan BERBICARA dengan mereka yang sama seperti saya yakni orang-orang yang tidak terkenal (secara sederajat). Saya mengeluh pada kawan yang sering membalas mention saya.

    “Rasanya seperti zaman penjajahan Belanda. Saya ini Pribumi.”

    Dia tergelak. “Memangnya apa yang kamu harapkan?”

    Dengan lugu. “Terhubung dengan dunia tanpa sekat.”

    Dia malah mendorong sebuah buku ke arah saya. “Tidak akan pernah begitu. Jangan membuang-buang waktumu untuk mention orang-orang terkenal itu. Biarkan mereka berkicau, dan jika kamu ingin menanggapi kicauannya, tulis saja di TL kamu, jangan di TL dia. Dan ingat satu hal: jangan pernah jadi fans. Kamu akan terluka.”

    “Kok bisa?”

    “Coba saja.”

    Saya selalu penasaran mencoba. Saya mention orang-orang terkenal itu untuk memberi tanggapan (yang kritis dan saya kira berbobot) tapi sebanyak apapun saya mention, tidak ada tanggapan sedikitpun. Saya pikir, pasti kritik saya terlalu pedas atau kasar atau kampungan. Saya mencoba mention yang lebih jenaka, lebih halus, lebih berbudi, tap tak ada balasan. Dan selama dua tahun ini, saya tidak pernah diSAPA oleh orang-orang terkenal yang saya follow dengan HARAPAN BESAR bisa BERKENALAN dan BERBICARA sebagai sesama PRIBUMI (ini bukan istilah kasar), sederajat, tanpa sekat karena ini dan itu. Tapi sejauh ini seorang selebriti saja yang menanggapi mention saya, itu pun dibarengi saling ngotot tentang sebuah masalah. Saya pikir saya tidak berbakat menarik perhatian orang-orang terkenal itu, mungkin karena saya terlalu kritis dan kampungan. Mungkin saya seharusnya sama seperti followers lainnya yang karena ngefan, mau melakukan hal-hal sinting untuk menyenangkan hati atau menyanjung hasil karya selebriti tersebut.

    “Mereka tidak mau dikritik.” Saya bilang pada kawan saya.

    “Mereka mau disanjung kan?”

    “Setidaknya ada kesan seperti itu.”

    “Lalu?”

    “Saya kasihan pada beberapa orang kawan.”

    “Kenapa?”

    “Mereka juga followers.

    Kawan saya tersenyum geli. “Mereka fans, bukan seperti kamu.”

    e/

    Tapi fans sama TERLUKAnya seperti followers seperti saya. Untungnya saya tidak punya HARAPAN muluk-muluk, diLIRIK, dimention balik, diajak KENALAN dan BERBICARA secara sederajat. Malangnya, para fans itu, mereka punya PENGHARAPAN besar untuk TERHUBUNG dengan selebriti atau orang-orang terkenal di negeri ini. Jadi jika mereka mention dan tidak dimention balik, mereka akan GILA, MARAH, dan NANGIS MOMBAY. Mereka—para fan itu—bahkan tidak malu-malu MEMAKSA para selebriti dan orang-orang terkenal itu untuk mention balik. Kasihan mereka. Sebuah hubungan indah berakhir dengan paksaan. Saya pikir, ada baiknya, mereka MOGOK berkomunikasi dengan para selebriti dan orang-orang terkenal itu. Lalu kita lihat apa yang terjadi. Kalau perlu unfollow.

    “Bukankah tidak ada gunanya terhubung dengan orang seperti itu?”

    Kawan saya meringis. “Apa yang kamu harapkan dari jejaring sosial?”

    “Banyak.”

    “Kurangi tiga per empatnya.”

    “Bukankah jaringan itu disebut dunia maya? Semu kawan.”

    Saya hanya bisa menelan ludah. Semu.

    Benjamin Azerah

    Belajar Melukis #1

  • Sabtu, 19 Mei 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , , , ,
  • Melukis

    #1 “rumah pohon”

    a/

    Sudah sebulan lebih kanvas, dua biji kuas dan cat air murahan itu terbungkus dalam kantong plastik putih besar, berlogo ADA—sebuah swalayan di daerah Bogor. Keinginan saya besar sekali untuk melukis, tapi mengingat saya bukan seorang profesional, saya tidak dapat langsung membuat sketsa dan mencampur warna—lucunya tak ada yang tahu bahwa saya adalah seorang buta warna, meski saya sering terlibat dari kegiatan dekorasi, baik pemotongan huruf dan melukis sesuatu—dan membuat sebuah lukisan yang sangat menakjubkan sampai orang-orang yang melihatnya tercengang dan memuja saya.

    Sudah saya rencanakan, lukisan itu akan saya buat sesaat setelah Ujian Skripsi usai, sebagai rasa syukur atas pencapaian saya selama tujuh tahun terakhir ini—sekaligus mengasah keterampilan melukis saya yang terputus sejak enam tahun lalu, di Ujungpandang. Dulu saya bisa menghasilkan tiga puluh dua lukisan berbagai ukuran dalam waktu delapan bulan, di Ujungpandang, tapi setelah itu saya nyaris tidak punya kesempatan dan kehilangan semangat. Apalagi kawan-kawan seni saya berada jauh dari sekitar saya—Vallen, Ollus, Sony. Saya yakin, mereka juga tidak menyentuh kuas sejak di Ujungpandang itu. Sayangnya pada tahun 2010, ketika kamar di lantai dua di rumah Opa saya dibereskan untuk dijadikan kamar Bermain Anak-anak, tiga puluh dua lukisan saya itu ikut dibereskan dan tidak tahu bagaimana nasibnya. Saya tidak peduli, mungkin sebab lukisan itu dibuat diatas kertas-kertas HVS bekas. Tapi saya kangen melihat lukisan Monalisa dan Perempuan Telanjang. Kedua lukisan itu merupakan “pencapaian” tertinggi saya. Ah, sekarang saya siap melukisan, dan itu terjadi begitu saja pada pukul 03.04 pagi. Badan saya sudah kelelahan, mata saya sudah perih, tapi entah kenapa banyak inspirasi dan tenaga baru yang menyokong saya. Saya buka Google dan mencari ide.

    b/

    rencana awalnya adalah melukis sebuah pohon, hanya sebuah pohon, yang hitam, rimbun, letaknya di ujung dataran. Namun yang malah terlukis adalah sebuah pohon amburadul, dengan sebuah rumah pohon yang lebih mirip kandang monyet dari pada sebuah tempat bersantai manusia. Padang ilalang menguning terhampar di sekelilingnya, sampai jauh ke bukit dan gunung disana. Di latar langit, bulan putih pucat membayang, tersembunyi di balik awan kelabu yang samar. Saya ingin melukiskan semuanya dengan detail tapi sayang, kanvas begitu kecil dan ide itu begitu luas.

    Saya mendapatkan pelajaran berharga bahwa penting sekali memilih objek lukisan sesuai dengan ukuran kanvas. Jika ingin memasukan sebuah objek dengan cermat, hendaknya dilukis dalam format mini, tidak boleh langsung besar. Maka akhirnya saya berimprovisasi. Mencoret sana sini seperti kanvas itu sebuah HVS kosong, membuat empat garis pembagi lukisan dengan warna/i yang mencolok sehingga ada kesan ganjil dan tidak monoton. Sebab saya telah menulis banyak kalimat tentang Kematian Mozart di atas objek yang telah kering.

    Kemudian saya terinspirasi. Lain kali saya bisa melukis dengan objek yang sama, yakni Tulisan, bukan benda. Tapi tulisan itu hanya beberapa baris saja, dengan huruf yang indah dan ditempatkan di bagian tengah. Lalu di belakang tulisan itu, saya lukiskan objek yang detail baik warna dan bentuk, letaknya di sudut bawah, tidak besar tidak mungil. Saya kira itu akan memberi kesan kuat akan pesan yang saya sampaikan.

    c/

    Saya merasa cukup berimprovisasi. Lukisan telah selesai, kepuasan saya mencapai 70%, sebab tidak sesuai dengan harapan saya. Tapi saya belajar sangat banyak dari lukisan Pertama ini, bahwa tidak mudah melukis objek detail dengan kuas. Dan bagaimana pelukis-pelukis hebat itu bisa memberi warna dengan sempurna? Mereka pasti sangat Istimewa.

    Remon ben Lamreh

    Mitos Skripsi

  • Jumat, 18 Mei 2012
  • A. Moses Levitt
  • Label , ,
  • Skripsi

    1

    Saya baru saja menyelesaikan Ujian Skripsi di sebuah Fakultas Filsafat. Ketegangan menghadapi Ujian Skripsi sudah lewat—meski sebenarnya saya tidak tegang sama sekali, malahan merasa ujian ini sama seperti ujian lainnya yang bersifat presentasi kemudian tanya jawab. Jadi jika orang-orang bilang bahwa “Pas ujian skripsi keadaan jadi sangat tegang, jantung berpacu tiga kali lipat dari normal” malah saya merasa itu bohong, dan tidak berlaku pada diri saya, dan banyak kawan saya di fakultas yang sama. Jadi semua kisah tentang skripsi bisa dikatakan sudah menjadi mitos, dibesar-besarkan kemudian menjadi sugesti. Intinya adalah jika kamu sudah siap, kamu tidak akan takut dicoba. Prinsipnya kan sang dosen penguji tidak mungkin menanyakan sesuatu yang diluar skripsi kita.

    2

    Untuk sampai ke waktu “Ujian Skripsi” ini, saya menghabiskan waktu kuliah yang diperkenankan di universitas saya yaitu 14 semester alias 7 tahun. Dua orang kawan saya yang hebat, menyelesaikannya malah dalam 4 tahun pas, tidak kurang tidak lebih dan mereka mendapatkan nilai 80 untuk Skripsi mereka. Bayangkan, dalam 4 tahun, mereka bisa mengambil 144 SKS dan mendapatkan nilai A untuk Skripsi. Bagi saya, mereka berdua mahasiswa yang paling efektif dan efisien. Salah seorangnya melanjutkan S2 ke fakultas hukum di daerah Menteng.

    Dari pengalaman mereka, dan tentu banyak mahasiswa lainnya, saya yakin bahwa mahasiswa manapun bisa menyelesaikan kuliah dalam 4 tahun dan mendapatkan nilai A untuk Skripsi, sejauh dia benar-benar “mau menyelesaikan kuliah dan Skripsi” karena jika dia terus mengulur-ulur dan lebih memfokuskan diri (atas membagi waktu dengan hal lainnya) pada kegiatan “sampingan” misalnya bekerja, menaklukan cewek, aktif di kegiatan mendaki gunung, olahraga, musik, teater, dll, saya rasa akan sulit menyelesaikan kuliah dan Skripsi dalam 4 tahun pas.

    Meski saya termasuk mahasiswa dalam angkatan yang paling akhir menyelesaikan kuliah, saya tetap memberi “salut” pada diri saya sendiri karena sudah berhasil mengeluarkan diri dari DO dan itu akan membuat semua rencana saya berantakan. Apalagi saya ingin segera menikah dan punya anak (sebab saya sudah punya pekerjaan ketika saya semester 10).

    3

    Satu hal yang saya pelajari dari pengalaman kuliah dan menulis Skripsi adalah “tidak membuang-buang waktu”. Sebab saya harus bertanya pada diri saya sendiri “apa yang kamu kejar?” Sebuah “Cum laude”? atau “selesai kuliah secepatnya”? Pilihan ini yang menentukan kapan saya bisa menyelesaikan kuliah dan Skripsi. Saya menutuskan untuk “selesai kuliah secepatnya” tapi mengalami “masalah keuangan” dengan Sekretariat dan itu meluluhkan semangat saya untuk menyelesaikan kuliah dan Skripsi secepat-cepatnya (ketika itu semester 10) dan saya memutuskan untuk “rehat” 3 semester, bekerja, dan menikmati hidup ketika tidak ada jam kuliah dan tetek bengek kampus yang memaksa saya harus masuk pagi-pagi, pulang petang, mengerjakan paper dan berdiskusi kelompok dengan orang-orang yang sama malasnya seperti saya, jika tidak malas, mereka sangat cerewet dan sok tahu.

    Pada semester 14 ini juga, saya tetap berprinsip menyelesaikan kuliah dan Skripsi “secepat-cepatnya” maka saya masukkan bahan Skripsi ke Sekretariat, berdamai kembali dengan orang-orang di Sekretariat, berusaha sabar dan rendah hati (demi sebuah ijazah) dan tenang menunggu jadwal Ujian Skripsi.

    Jika seorang mahasiswa sudah belajar banyak tentang bahan skripsinya, tak perlulah dia harus tegang berhari-hari selama menunggu hari H. Misalnya saya Ujian pada hari Rabu pukul 10-11 siang. Pada hari-hari sebelumnya, saya tidak “tegang” dan berusaha “memakan” semua lembaran Skripsi saya. Saya membaca dengan santai dari halaman awal sampai akhir, menulis ringkasan (hanya satu lembar bolak-balik) kemudian hanya membaca “ringkasan” itu di waktu senggang. Jadi saya tidak menciptakan kondisi “terpaksa” dan “tegang” untuk diri saya sendiri. Hasilnya, saya bisa dibilang tidak “belajar” sampai hari H, bahkan saya terlihat sibuk ngobro tentang situasi politik dan masalah keluarga dengan salah seorang kawan yang jenius, merokok dan ngeteh, mendengarkan lagu-lagu dari notebook dan membaca sebuah novel berjudul Emily of New Moon. Rahasianya adalah “tenang” menghadapi segala sesuatunya, sama seperti seorang agen profesional.

    4

    Pada waktu yang ditentukan, saya masuk ke ruang Ujian, duduk, membetulkan gulungan kemeja lengan panjang saya, meletakkan “ringkasan” di depan saya dan menunggu salah satu dari dua dosen penguji berbicara. Saya dipersilakan “presentasikan skripsi Anda dalam waktu 15 sampai 20 menit” dank arena begitu efektif dan efisiennya saya, “presentasi” itu hanya berlangsung selaman 7 menit. Kedua dosen penguji heran, saya diminta “ada yang masih kurang, dan Anda bisa menambahkannya lagi, masih banyak waktu” dan saya menambahkan yang perlu, lalu duduk tenang, mengangkat dagu dan menunggu kedua dosen penguji berbicara. Semudah itu, tidak tegang, tidak sakit perut, tidak kebelet pipis, tidak keram, tidak gagap, tidak segalanya. Ternyata semua kisah seputar ujian skripsi adalah mitos.

    45 menit sisanya, saya dicecar soal teknis penulisan dan kalimat-kalimat yang masih dibutuhkan tambal sulam dan penjelasan lebih lanjut. Kedua dosen mencoret disana-sini, memberikan tambahan dan membantu saya mengisi skripsi saya agar lebih “penuh” lalu saya dan kawan yang “menonton” diminta keluar sebentar, kedua dosen penguji akan berembuk untuk memberi nilai. Lima menit kemudian saya dipanggil masuk dan mereka dengan tenang mengatakan “Presentasi Anda kurang tapi skripsi Anda lumayan. Kami sepakat memberi Anda 72” itu artinya saya mendapat nilai B. Semudah itu. Saya keluar dan bergabung bersama kawan yang “menonton”, turun ke lantai bawah dan mendapat jabatan tangan dari orang-orang yang mengenal saya, mereka yang juga ikut ujian skripsi, dan kami berdua pergi ke warteg tak jauh dari situ, makan siang dalam hujan deras yang menghajar Jakarta Pusat, lalu kembali ke kost kawan saya itu. Disana kami merokok, ngeteh, mendengarkan musik dan sama sekali tidak membahas soal skripsi, malah kami menonton film Mission Imposible 4 dan John Carter. Semudah itu. Sesederhana itu.

    5

    Semua yang kita dengar tentang Ujian Skripsi, Dosen Killer, situasi yang menegangkan, adalah mitos dari universitas itu sendiri. Itu semua demi “memotivasi” para mahasiswa lebih giat belajar dan mempersiapkan diri untuk menghadapi “ujian” di dunia luar yang lebih “ngeri” dari pada sejam duduk di hadapat dosen penguji. Dan saya rasa saya boleh bilang bahwa “ujian skripsi adalah satu jam kegiatan akademis yang menyenangkan selama hidup saya sebagai mahasiswa”.

    Fulcanelli

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica