32
Kami terjaga dengan muka bengkak....ini mungkin efek mimpi kami sendiri.
Dan kami mulai berpikir tentang keinginan kami:
"Menemukan seorang wanita yang tinggal sendirian di sebuah rumah besar, tua, dan orang ini memang asosial dan pesimistis. Dia tentu saja mapan, wanita karier yang keras, namun orang-orang seperti dia memiliki kutukan dengan masalah besar yang disembunyikan dengan rapi sekaligus ingin dipercahkannya."
Seorang teman dekat kami, Diut, si Chief alias Kepala Suku mengusulkan ide:
"Dia butuh bantuan orang lain tapi terlalu...gengsi untuk memintanya. Dia tidak mau sampai ketahuan lemah."
Hahahahaha, kami ingin menjadi penulis skenario film. Menjadi sutradara amatiran, pekerja efek bayangan dan sebagainya dan sebagainya. Sebab kami inginkan cerita misterius atau cerita tentang narapidana serta kejahatannya yang melegenda. Sang wanita adalah sumber pengalaman. Diangkat dari kisah nyatanya dan dia akan membantu kami, mengerjakan 80% isi film ini.
Tapi kami terus membayangkan setting seperti kebanyakan film produksi Hollywood.
Dan Diut, si Chief alias Kepala Suku mendeskripsikan dengan asyik:
"Ada komplek rumah-rumah pribadi yang jauh dari pusat kota. Tanah yang luas, halaman luas, rumah tingkat dari kayu atau tembok bat zaman Victoria. Tumbuhan rambat, pagar rendah, dan beberapa pohon pelindung rindang berumur di atas 50 tahun. Jalan aspal hitam pekat di depan rumah. Jarak ke tetangga 55 meter, dan ada orang aneh di sekitar rumah."
Kami jadi geli dan meneguk kopi bikinan Chief:
"Setting seperti itu tidak akan bisa ditemukan di Indonesia."
Tempat yang paling "mendekati" adalah kantor-kantor kecil pemerintahan atau Istana Negara dan Istana Bogor. Tapi sayang, pagarnya tinggi, berpenjaga, dan ditambah bangunannya kaku. "Kita butuh kediaman yang mudah diakses orang sampai ke terasnya."
Chief mengusulkan namun segera mengendur:
"Di kompleks perumahan elite...terlalu formal ya. Pagarnya tinggi-tinggi untuk antisipasi perampok atau aksi anarkhis kaum Proletarian. Di kompleks perumahan biasa, terlalu sempit. Kotor, terik, bau, tak ada lahan kosong untuk rumput dan tanaman lainnya."
Sedangkan di kampung-kampung, terlalu riskan mendirikan bangunan rumah bertingkat dan berkesan aristokrat. Selalu saja ada yang iri hati. Sehingga setting film tak akan menjadi alamiah. tak akan menyentuh. Dibuat-buat sehingga penonton jadi tak pernah memahami detail film, menikmati keindahan semua hal yang ada di kamera. Tapi cuma sekadar gaul, pergi menonton film yang sedang digantung di depan dinding teratas mall-mall.
0 komentar:
Posting Komentar