35
Party rakyat. Sewaktu SD, guru PSPB, sebelumnya guru P4 menyuruh kami, "setelah pulang sekolah, pada jam tidur orang dewasa, mandi bersih-bersih, berpakaian dengan rapi dan pergi dengan buku dan ballpoint untuk mencatat apa saja di stand-stand yang dibuat di lapangan sepak bola Kota Madya."
Biasanya ada bapak-bapak berkemeja kain kasar yang baik hati yang menjelaskan dan menjawab pertanyaan kami.
"Waktu SMP juga begitu kan?"
"Tapi itu di lapangan sepak bola tim kesayangan saya."
"Kami juga dunk."
Sehingga kami jadi kesal setengah mampus melihat orang-orang bertubuh kekar sedang menggali tanah, merusak rumput, terlalu banyak, untuk mendirikan panggung.
"Tapi tidak anyak warna yang membuat panggung semarak ya?"
Sehingga kami hanya sempat melihat orang-orang dari 3 atau 4 partai.
Bapak bilang: "Itu partai-partai besar."
Tapi Kakek bilang: "Itu partai-partai kecil." Waktu dia masih muda dan berjaya, partai-partai itu jauh lebih besar lagi. "Sekarang sudah pisah-pisah. Mereka tidak lagi mengikuti perjuangan yang dulu."
Ah........kami tidak mengerti jika berbicara dengan Kakek. Jika dalam saat "genting" seperti itu, Oom-oom akan memanggil kami dan menyuruh kami memasang bendera di jalan kelurahan. Waktu kampanye ini, rasanya asyik sekali. Anak-anak dan remaja, juga preman-preman yang sering usilin kami di kelurahan atau rw tetangga, baik seklai, bersahabta dengan kami.
"Ih, aneh banget!"
Semua orang akan duduk, bercerita, bersenda gurau sampai tengah malam menyambut. Mereka saling memperhatikan, menjaga. Kejadian-kejadian seperti tawuran, pencurian, pertengkaran, antar warga, bahkan kompor meleduk, tetangga yang memukul istrinya, berhenti. Ti...ti...ti..Kami anak-anak yang bakalan paling senang. Kami dapat apa saja yang kami inginkan. Melakukan hal-hal yang dikerjakan orang dewasa sekaligus kesukaan kami. Biasanya setelah disuruh ini itu, kami dibebaskan bermain kemana angin petang membawa. Angin yang biasanya menyapu dari balik bukut berumput kuning itu. Angin yang menebarkan aroma padang dan bunga-bunga liar seakan kami adalah anak-anak surga yang tak berdoa dan tak akan mati karena dosa asal. Kami akan terbuai terbang kemana saja tanpa takut tersesat atau celaka. Atau takut dicubit dan dijewer Ibu. Atau bahkan dipukul pake batang sapu ijuk oleh Bapak. Ini benar-benar paradisum. Dunia dimana canda dan tawa jadi ingatan. tak ada yang membuat kami lelah dan ngeri. Kota madya rasa seperti surga.
Tapi sesekali kami jengkel kalau lapangan sepak bola tim kebanggaan kami digali-gali. Namun anehnya, apa yang muncul di atas galian itu akan membuat kami gembira lagi. Setelah mandi bersih-bersih (minyak rambutnya curi punya Bapak) sebab Bapak paling benci anak-anaknya jorok. Keset saja, harus diseterika setelah dicuci dan dijemur kering. Untuk kemudian, Kakek yang mengeluh kedinginan, berdiri di atasnya sambil menumpahkan kopi yang diseruputnya degan bibir keriput saat sore-sore ketika dia memperhatikan orang-orang yang lewat dan menyalaminya di jalan depan rumah.
0 komentar:
Posting Komentar