72
"...selama Roro bukan dari kampung kami."
Itulah kalimat yang terekam sampai kemudian kami begitu tua dan mati.
Kalimat itu, menurutku berdiri sendiri sebab dia begitu saja meluncur keluar dari lidah tulang rawan kami. Ibu teman kami terkejut. Katanya: "Tentu saja Roro bukan dari kampung kalian."
"Begitukah Ibu?"
"Ibu kenal baik tantenya Roro ini."
Apakah kami harus berpura-pura tidak terkejut dan senang kemudian akan mengatakan sejujurnya? Terdiam lama. Orang bodoh. Kami berkata dalam kegemuruhan suka, "Tinggal di depan sini tantenya Roro itu, Ibu?"
Lihatlah, makin lama perempuan tua ibu teman kami ini mirip seperti Ibu kami. Si Sulung agak risih, baginya Ibu tak pernah tergantikan ibu lain manapun, tapi Si Bungsu yang cengengesan itu suka pada perempuan ini. Maka kami pun menyederhanakannya menjadi sepupu Ibu.
Memang, rasanya seperti bertanya pada Ibu sendiri dan mendapati bahwa dia tahu segala sesuatu tentang pohon silsilah kelurga besar Roro. "Tidak di kota ini. Tapi Roro dan keluarganya tinggal di Pondok Gede."
Roro di Jakarta! Oh, Tuhanku, benar..ku terpesona...menyaksikan karya agungmu semua...
suara merdu Talita Doo Doo (kami lupa ingat nama penyanyi kesayangan Bapak itu) dan biarlah wanita bersuara merdu itu menyanyi memuji Tuhannya sambil memaafkan kekurang ingatan kami akan sebuah nama.
0 komentar:
Posting Komentar