12
Suatu hari--hari yang aneh, kami melupakannya--kami pergi ke luar kota. Seperti mencari-cari tetapi tidak mencari-cari sesuatu. Setengah jam berlalu, kami temukan Rumah Teduh dan Ramah itu di sebuah kompleks padat penduduk dan rumah, juga ibu-ibu muda dan bayi-bayinya. Orang dari berbagai daerah membanjiri lahan yang tak cukup menampung 100.000 jiwa itu. Nikah campur. Tanaman dan pohon buah-buahan ada di tanah-tanah kosongnya, seakan mencuri kesempatan berdiri dengan para manusia. Meski bangunan di situ, rata-rata kelihatan kecil, rendah, norak, namun rumah itu adalah tempat berdiam dengan tipikal: peristirahatan yang sosialis. selalu menentramkan dan seakan selalu menerima kita meski kita jahat sekalipun: memetik daun tanaman atau membuang sampah plastik di gotnya yang sempit namun bersih.
Tuan ruman ramah. Menyediakan makanan terbaik dari dapurnya seolah kami raja. Dari ruang tamu kami jika menjulurkan leher beberapa senti saja akan disuguhi mahasiswi lalu lalang, juga duduk-duduk di bale-bale bambu. Tak jauh dari situ cewek-cewek yang lebih belia menonton sebuah pertandingan bola basket, yang kemungkinan besar dimainkan oleh pacar-pacar mereka.
"Ya, untuk apa menonton pemain basket yang bukan pacar kita?"
"Untuk menikmati orang bermain basket, kalau kau memang punya hoby olah raga."
Kami berempat bertengkar sendiri, sementara para cewek itu asyik menyoraki para pemain basket dan sesekali memegang handuk mereka.
"Bau keringat."
"Keringat pacar."
"Tetap saja bau asem."
"Kalau kau kawin juga, istrimu akan tetap tidur denganmu meski ketekmu bau."
Terdiam. Buat apa bertengkar melulu.
Kemudian seorang perempuan datang ketika pertandingan basket memasuki kwarter ke-3. Entah kenapa kami merasa dia tidak asing bagi kami. maka dengan angkuh, kami cuek padanya. Berharap dia penasaran. Sewaktu pulang malammalam, orang berbondong-bondong, datang ke sebuah rumah dimana seorang bayi telah lahir. Rumah itu tepat dua rumah di sebelah rumah kami. Dari balkon--yang sebenarnya tempat jemuran--kami lihat orang-orang datang mengunjungi dan memberi selamat. Berpikir, cepat, tergerak oleh rasa senang, seorang manusia lahir lagi menggantikan manusia lain yang telah kembali ke pangkuan ilahi, kami mandi dan ikut merayakannya. Sebagai tetangga yang paling muda dari sisi umur.
Disambut dengan senyum dan tepukan di pundak. Khas ayah yang puas sekaligus bangga pada istrinya, kami dipersilakan langsung mencubit si bayi. Ah, tidak, kami bohong, kami dipersilakan melihat si bayi yang rambutnya kasar tapi halus... sulit menjelaskannya. Apakah dia perempuan?
"Bukan, dia punya tonjolan."
"Makanya jangan cepat-cepat ambil kesimpulan. Rambutnya boleh lebat."
Kami kok selalu berdebat untuk semua hal sih?
Segera keluar kekhasan kami: mengobservasi lingkungan. banyak hal, tentu saj yang bisa kami lihat di rumah itu. Misalnya, orang China yang beragama Katolik dikunjungi tetangganya yang terdiri dari ibu-ibu berjilbab. Sementara kami? kami adalah empat orang muda yang sering sekali menyamarkan identitas, supaya kami lebih pede menjadi warga negara NKRI yang nasionalis. Berpura-pura tidak tahu apa agama yang telah dipilihkan orang kampung untuk kami isi dalam formulir-formulir yang birokratis dan agak menyebalkan.
0 komentar:
Posting Komentar