51
Kami teringat pada Roro. Kami jadi terobsesi padanya. Meski peluangnya kecil sekali untuk menemukannya. Semakin banyak wanita yang kami temukan, semakin banyak yang tidak tahu menahu soal Roro.
Ketika orang Kristen merayakan Paskah, kami memilih liburan di rumah saudari bungsu Nenek. Dia wanita tua beraga ketat. Meski berbeda agama dengan kami, dia memperlakukan kami seperti cucu-cucu yang datang dan merayakan hari Yahweh membebaskan umat Israel dari belenggu Mesir.
Mungkin sepupu kami tahu soal Roro. Sedikit saja sudah senang. Tapi mereka tak tahu apa-apa. Pada Malam Paskah, teman seorang sepupu datang bersama bapaknya untuk ikut merayakan Paskah sebab katanya," Aku deket banget sama Nenek kalian."
"Ooooooooo."
Gadis itu manja. Kawat gigi. Sering melihat jam tangannya seperti menghitung waktu satu kegiatan untuk masuk ke kegiatan lain. Pakaiannya modis sekali. Pakai syal yang diikat di kepalanya yang anggun, menjulur sampai ke pinggulnya yang mencong ke dalam dan ke luar dengan sama proporsinya. Yang kami suka darinya, dia senang memakai terusan atau rok yang kainnya halus bagai bludru atau nila.
"Roro mungkin feminim seperti dia." Kami diam-diam berharap.
Dan Nenek berusaha mendekatkan salah satu dari kami berempat padanya.
"Dia 18 tahun. Kuliah tahun pertama. Anak tunggal, dan ingin punya banyak saudara."
"Cocoklah kalau bergaul dengan kami," kata Si Sulung sok simpatik. Sok Cool. Tai lu!
Tapi dia lebih dekat dengan Si Bungsu. Yang orangnya cuek mampus dan selalu memikirkan teknologi informasi termutakhir buatan Jepang atau Inggris.
"Kenapa bukan USA?"
"Sudah basi."
"Oh, begitu?"
Dan akhirnya bulan Mei awal, dia berpacaran dengan gadis itu. Namanya saja kami lupa ingat. Jadi, ceritanya sekarang, dari 4 orang bersaudara laki-laki, 1 orang sudah punya pacar. Yang belum punya pacar, 3 orang, termasuk kami, yang kelihatan bakalan jomblo4ever....