Kira-kira sepelemparan tombak jauhnya dari meja taruhan, seorang laki-laki sedang hilir mudik di depan sebuah kursi dari kayu Elder bersalut emas. Ruangan itu sepi. Meja pualam di sebelah kirinya kosong (biasanya makanan melimpah ruah di situ, untuk Sallugrun). Ada bunyi klik kecil di sudut dan dinding di belakang pilar-pilar tempat mengaitkan lampu minyak. dari baliknya meluncur, jubah ungunya menggelombang di lantai marmer.
"Tuanku, engkau menimbulkan desas-desus."
"Kenapa? Memangnya apa yang kau harapkan selain desas-desus? Mulut pelayan-pelayan memang selalu begitu. Mereka akan berhenti sendiri kalau ada peristiwa baru muncul lagi. Kau tidak senang, Lydia?"
Wanita cantik berambut ikal pirang itu memeluk suaminya dan berbisik, "Aku takut. Sekaligus aku bergairah."
"Tidak perlu memikirkan hal yang tidak-tidak, perempuan bodoh. Dimana-mana putra sulungnya yang akan menggantikan sang raja memerintah negri. Biarlah laki-laki tua itu mati dalam kelemahan dan kerendahan hatinya sendiri. Tahta yang kosong itu membutuhkan Sallugrun yang lebih pantas." Dan dia tertawa di atas ubun-ubun istrinya. namun sebelum gema tawanya menghilang dari ruangan itu, pintu masuk utama terpentang. Dengan langkah mantap seorang perempuan tua berjubah biru tua tanpa hiasan, tanpa alas kaki, menuju pada Lydia dan suaminya. Dia berhenti pada jarak 20 cm dan menampar sang calon Sallugrun baru.
"Kau bersenang-senang saat ayahmu menderita. dan entah apalagi di bailk semuanya ini." Dan dia berbalik, meluncur kembali ke tempat darimana dia datang. Sebelum ujung selendang sutranya menghilang di balik pintu, sang calon Sallugrun baru memanggil namanya, seperti memberi penjelasan, seperti meringis kesakitan, seperti anak laki-laki yang phedofilia.
"IBU!"
0 komentar:
Posting Komentar