Pagi-pagi sekali, matahari belum sepenuhnya terangkat dari balik dataran dan lautan yang luas, sangkakala berbunyi 23 kali. Di sebuah rumah batu tingkat dua, Anastasya menengadahkan kepalanya ke arah jendela dapur. Ditinggalkannya sementara adonan roti bakarnya di meja dan pergi menjenguk putri sulungnya, Izinbella, yang tengah duduk di tengah ranjang kusut dan menatapnya dengan bola mata melebar dan indah itu.
"Sudah bangun, Sayang?"
Bukan jawaban kata yang didapat Anastasya tapi tangisan tanpa suara. Sang ibu melangkah pelan ke dalam kamar dan naik ke tengah ranjang. Dipeluknya putrinya itu dan ditekannya ke dadanya, sebab sebagai ibu Izinbella, dia nyaris nyata merasakan kedukacitaan yang diderita putrinya jika ada seorang laki-laki di Ordys Rexarex meninggal. Kenyataan itu merupakan rahasia kecil keduanya, tapi Izinbella belum mengatakan pada ibunya kalau temannya yang suka menjailinya, Jamaty, juga mungkin tahu.
"Tidak apa-apa, Sayang. Elloc tahu apa yang terbaik untuk kita manusia."
"Dia akan meninggal, Ibu. Dia sudah tidak punya harapan. Tidakkah mereka tahu itu, Ibu?"
Bahwa dia yang akan meninggal bukan karena kehendak Elloc yang Maha Agung? Bahwa dalam mimpinya barusan, Izinbella melihat seorang laki-laki tinggi kurus memasukkan ramuan hijau ke dalam minuman sang Pemimpin Tanah Timur? Bahwa manusia dapat mengambil nyawa manusia demi sepiring kerakusan?
0 komentar:
Posting Komentar