8.
Sebagai mahasiswa baru yang kampungan dan lugu, semberono pula, kami akan mudah di makan di kota besar ini; dengan ide-idenya yang baru atau keseluruhannya yang kuno. Dalam pencarian kami atas sosok bernama Roro, sampailah kami di dunia ini. Seorang diri. Orang aneh. Duduk pada sebuah warung kopi di trotoir dan membaca buku berat, seolah-olah pemikir yang jenius. Padahal jika diperhatikan dengan saksama, tampang kami tak mendukung sama sekali untuk menjadi sosok jenius. Dekil, tak bisa disamakan dengan mahasiswa yang lain, apalagi para mahasiswi, yang kelihatannya pintar, menarik dari segi fisik, stylist, gaul, berwawasan tekno dan jago party. Juga tak jarang, lengkap dengan frasa "mapan" dan bertato.
Kakek kami misalnya punya banyak tato sebab menurut kepercayaan budayanya, tato adalah lambang status sosialnya dalam masyarakat adat dimana dia beberapa kali menang perang, menyelamatkan anggota sukunya, berburu binatang liar, dan menikahi banyak wanita dari suku-suku kecil dalam rangka hubungan diplomatik.
Kakek cinta pada nenek-nenek kami dan dari merekalah kami ada. Mewarisi kekolotan dan pencarian atas sosok Roro yang dititipkan mereka pada Ibu. Nenek-nenek kami bertato juga beberapa, sebab mereka adalah putri sulung dan adat mewajibkan itu. Kata nenek-nenek kami, "melakukan ritual tato itu beratnya minta ampun. Kakek kalian juga tetapi dia terlalu angkuh untuk mengakuinya. Misalkan saja, sebuah tato di masing-masing tulang kering..." Bukankah sangat menyakitkan? Memikirkannya saja, air mata kami meleleh...(boong).
Perempuan seperti itulah yang kami temui di siang ini. Langit cerah pertanda petang sebentar hujan lebat hingga tengah malam. Kini kami menjadi satu tubuh saja. Perempuan itu duduk di samping kami, pada sebuah bangku panjang namun dia seperti menempel pada sebelah lengan kami. Sama-sama tak tahu nama dan sebagainya, kami berbagi cigarette dan cerita yang timpang, sebab kami tak bisa membeberkan banyak hal kepada perempuan yang asing. Sebab dia bukan Ibu, Nenek, atau Roro. Sedang Roro mungkin adalah dalam Nenek, Ibu, dan perempuan ini, atau perempuan yang banyak di tangga kampus sana. Kami bertanya-tanya:
"Apakah Roro seperti perempuan ini?" Kami memang tertarik secara fisik, tak lebih, karena kami tak punya ketertarikan cinta padanya. Lagipula perempuan ini bukan Roro--sebab kami sama-sama belum kenalan, tak tahu namalah.
...orang-orang mengelilingi kami, bicara heboh sementara kami diam membisu. Sesekali menggerung, sebab kami tolol dan tak pernah bisa menjadi seperti mereka. Kami memaknai semuanya secara primitif. Misalnya ketika kami tahu bahwa wanita asing ini suka kopi-susu, cigarette, bergaya, akting, dan sebagainya dan sebagainya...apalagi berani menghilangkan SIM dan STNK seorang mahasiswa (berwajah sungut) yang ternyata sudah beristri dan beranak, yang katanya,
"Gw belum pernah menjamahnya sekalipun. Sumpah." Demi Tuhan? Dia tak bilang itu. Jadi kami sangsi pada dua orang ini, seperti yang Ibu ajarkan kepada kami,
"Perempuan yang berbicara banyak tentang laki-laki adalah perempuan yang tak boleh kalian dekati."Sebab mereka iblis dan pendosa? "Tidak, mereka bukan iblis dan pendosa. Hanya saja, alasan praktisnya, mereka cenderung mendatangkan masalah bagi diri sendiri."
Bagaimanapun juga kami tak ingin Roro seperti ini. Hal yang membuat kami sedih dan tambah konyol. Bloon.
Kami kembali ke rumah.
Pikiran melayang kemana-mana. Akibat kuliah, cerita, dan kisah-kisah simpang siur yang baru saj kami dengar. Kami jadi berpikir: apakah benar cerita-cerita itu? Bisa saja si cewek benar dan si cowok takut disalahkan. Takut ketahuan istri dan keluarganya? Betapa kasihan orang berdua itu. Apalagi aborsi?
Sebab setelah si mahasiswi bertato pergi, laki-laki berwajah sungut itu bergumam pada teman kribo di sampingnya: "Dia bilang ke semua orang kalau gw tidur sama dia. Sentuh ujung rambutnya saja gw gak pernah apalagi...dia bilang mesti aborsi anak gw...perempuan kurang ajar itu."
Oh, Jezz, untuk mendapatkan kami saja, Bapak dan Ibu harus menunggu dengan tabah selama tujuh tahun yang melelahkan. Kakek dan Nenek sampai mengeluarkan nasihat dan mantra-mantra mereka. Semua cara dicoba: dari dukun beranak, orang pintar tapi bodoh juga, dukun putih (dukun hitam malah kami nanti lewat), ramuan tradisional, mimpi, pratanda, pantangan mengejek orang cacat, membunuh binatang, mengunjungi tempat-tempat keramat (yang sudah disucikan oleh agama tertentu setelah diusir setannya...kami tidak percaya), menyimpan air, tanah, batu, kembang, pasir, berdoa dan lain sebagainya. Sayangnya, waktu itu, jaman itu, mereka tak tahu mengenai bayi tabung, suntik sperma, adopsi dan panti asuhan, suntik kesuburan, kloning, dan seterusnya dan seterusnya.
Memikirkan percakapan di warung kopi tadi siang, memutarnya kembali di benak kami, sambil menonton tv, rasanya menakutkan sekali. Campur aduk perasaan. Omong kosong. Tai kucing orang-orang itu. Bagaimana bisa mereka begitu muda dan seorang mahasiswa tapi melakukan tindakan yang tolol seperti itu? Semoga salah satu dari kami tidak keceplosan ngomong sama ibu kalau Ibu menelepon dan menanyakan pengalaman kami, pengalaman pencarian kami atas sosok Roro.
0 komentar:
Posting Komentar