Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Kisah+Cinta (Roro)

  • Rabu, 21 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 1.


    Roro, nama yang asing nun jauh di sana. Pelajaran sejarah dari buku cerita rakyat mengabadikannya. Kami semua ingat siapa Roro Jongrang. Tapi jika kau tanya pada adik-adik kami, mereka tak tahu. Bahkan nama GajahMadah mereka sematkan pada ketua geng sekolah, disejajarkan dengan kartosuwirjo dan Andy Aziz. Memang adik-adik kami dengan mudah melupakan sejarah. Hanya pada kami semboyan, "Jas Merah" jangan sekali-kali melupakan sejarah-nya Bung Karno masih tetap tinggal, terpaku mat, bagai darah yang mengalir di nadi kami sendiri. Namun kami membayangkan jika bertumbuh besar nanti, adik-adik kami akan mengenakan jas berbagai warna sebagai lambang kepintaran, yang menurut kami, tak lebih dari kerbau. Di Tana Toraja, kerbau atau tedong sangat mahal dan sakral, tapi di demonstrasi jalanan, kerbau hanyalah massa yang anonim. tak masalah jika satu disembelih dan ditembaki gas air mata.
    "Sebab mereka mengganggu ketentraman dan kesejahteraan masyarakat umum," mungkin begitu kata paman kami yang polantas, Melkianus.
    Kami sendiri setuju jika pemerintah lebih mengutamakan mayoritas daripada minoritas yang anarkhis. Betapa tidak, Ibu kami yang berjualan di sebuah ruko di kabupaten kami, dilempari dan luka-luka lalu menutup rukonya yang menderita rusak-rusak sebab massa demonstran sedang lewat di depannya dan sedang adu-kuat dengan aparat keamanan. Ibu kami menangis habis-habisan sebab uangnya untuk menyewa ruko itu dipinjamnya dari bank berbunga besar. Dia tidak peduli kalau ada salah satu pendemo yang mati, meskipun itu seorang mahasiswa/i yang cakepnya minta ampun. Mereka itu kerbau bagi Ibu kami, dan bagi kami juga.


    2.


    Berjalan di jalan aspal, tengah malam, sehabis hujan, dengan tas berisi buku-buku mahal, tidaklah selalu menyenangkan. Meski kami merasa sudah kebal dengan pandangan orang-orang dari atas kendaraan roda empat buatan luar negri, dari resto mewah, atau mungkin kami kebal dari genangan air, kendaraan yang mati-matian lewat di pinggir jalan, memakan pedesterian (fuck-you!) sampai kami kecipratan lumpur atau hujan turun lagi...sampai di rumah, kami akan segera merasa bahagaia kembali 100%.
    Sebab banyak yang bisa dilihat sepintas: geng motor sedang nongkrong, orang main catur atau remi, orang kencing di halte yang tidak ada lampunya, atau orang bermesraan; fakta yang perlu kami catat, nyaris semuanya ada perempuannya, cantik pula.
    "Apa benar syair lagu malaysia itu? yang cantik lahir dari lumpur," kami berdiskusi panjang lebar tentang pokok permasalahan ini. Berakhir dengan hollyshit dari si sulung, Alesis.
    Tukang ojek bisa mengantarkanmu, tapi jika terlalu larut, mereka mesti pulang dan kau terpaksa berjalan kaki ria. Berbuat seolah-olah sedang menikmatinya. Oleh karenanya, kami kira, Roro mungkin cuma dua kali mengalami hal semacam ini dalam hidupnya. Sebab namanya itu menunjukkan statusnya. Meski tak asing, dia terasa nun jauh di sana. kami berharap bertemu dengan seseorang yang bernama Roro. Roro Mendut?
    Ah...ini karena Ibu kami yang meminta..."Cari seorang perempuan bernama Roro."
    Aapakah Ibu kami sudah pikun? atau gila? atau sedang mengerjai kami?


    3


    Bertahun-tahun kemudian baru kami tahu Roro itu seperti apa. Setelah sekian lama menghilangm Roro menelpon di Minggu pagi tahun 2007. Ribut-ribut di latarbelakang. Meski ada getaran itu, rasanya pelan-pelan mulai pudar. Sebab kami merasa cinta kami pada Roro terbuang percuma. Mungkin kami yang bersalah, mungkin juga tidak. Kata Roro, ada seorang teman yang telah lulus S-2 mau membuat syukuran atas keberhasilannya. Kami langsung teringat: mantra, tetua yang pakai sarung dan pakaian adat, sesajian yang ganjil-ganjil, dan orang berjubel. Mungkin ada tariannya, tapi tentu saja alkohol tak ketinggalan menemani, juga cigarette. Kami sedikit merasa berdosa, meski sudah berjanji pada Ibu dan Ayah bahwa setelah kuliah, kami berhenti isap cigarette. Padahal orang-orang mulai mengisap candu itu saat kuliah sebab menurut undang-undang negri ini, umur kala di bangku kuliah sudah mencukupi. Tapi sekali ini kami beda sendiri.
    Seperti yang telah beberapa kali kami lakukan, kami pastikan dulu Roro datang ke acara itu pula. Kami berniat sungguh ikut, namun alam tak bisa diajak kompromi. Hujan turun dengan ganasnya sampai pukul 21.00. Kami batal pergi dan menunggu dengan was-was di depan telepon. Roro atau yang lainnya akan menelepon untuk memeriksa kami datang atau marah-marah. Tapi tak ada. Kami lalu berpikir: mungkin acaranya ditunda minggu depan. Padahal kami itu ingin sekali bertemu Roro. Melihat dan memastikannya baik-baik saja. Tapi kami kadang harus menahan hasrat sebab kami punya prinsip untuk mengambil jarak dari teman-teman lama. Berbuat seolah-olah kami bisa hidup tanpa memikirkan mereka. padahal kami juga sering menunggu di depan telepon, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang, dan diam-diam berdoa agar Roro dan teman-temannya menepuk bahu kami dan bilang, "HEY!"
    Sebab kami merindukan mereka. Sebab kami tak bisa mengatakannya. Sebab kami sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan mereka semua. Mungkin juga karena salah satu dari kami cemburu buta. Sementara salah satu dari kami terobsesi jadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya yang heboh sendiri. Terlalu banyak menghayal. Terlalu banyak minum kopi dan mengisap cigarette (sekarang diminimalisir dengan mengatakan pada diri sendiri dengan malu-malu mau: "aku hanya merokok bila ada yang menawarkan.")


    4


    Roro mungkin senang dengan keputusan ini, mengingat cita-citanya menjadi seorang juru rawat sangat mulia, menolong banyak orang yang sakit dan menderita secara psikis: (bapaknya, anak-anak tak mampu, dan kalau beruntung, kami). Memikirkan itu, salah satu dari kami berkata, "Seharusnya hari ini aku menemui Roro biar kuatanyakan semua kabar tentangnya." Aapakah dia masih berniat jadi perawat medis? Aapakah dia sedang mengerjakan proyek besar-besaran? Aataukah dia sibuk berpacaran dan sering jalan kemana-mana?
    Tapi kami tak jadi pergi...


    5


    Kami bangun pagi Senin itu, jam 09.15. Ibu pasti akan mengomel jika tahu kami telat bangun seperti ini. Salah seorang menceritakan mimpinya yang panjang dan berbau hayalan.
    "Setelah aku pulang berlibur ke rumah, keluargaku jadi berubah aneh." Dia pergi ke party malam-malam, pulang subuh bersama seorang sepupu dan sempat mencari buah mangga yang jatuh di halaman orang. Tak ada. Si sepupu masuk ke dalam rumahnya. Salah seorang dari antara kami itu bertemu dengan adik kami yang cewek, yang langsung memeluknya sambil berjalan dan bercerita. Adik kami yang paling kecil sedang bermain-main di parit bersama teman-temannya, yang memukul mukanya dengan buah pepaya setengah matang, ketika mereka sampai di sebuah gang sempit yang menuju ke rumah, datang segerombolan perempuan yang marah-marah.
    Mereka itu tahu sesuatu yang tak diketahui salah satu di antara kami ini. menjalani gang itu sampai seperempatnya, baru tahulah dia bahwa Ibu bertengkar dengan Ayah dan Ibu pergi dari rumah. Ayah kami ada di rumah seorang tetangga yang masih kerabat, sedang meminta Ibu pulang tapi wanita ramping itu lebih memilih cerai.
    Salah seorang dari kami itu menangis sejadi-jadinya. Dia tak sanggup menghadapi kemungkinan ini. Dia dan adik kami berjalan ke samping rumah. Di situ dia menangis lagi. Semua orang sedang menontonnya. Dia tak bisa tahu apakah para penonton itu bersedih atau tidak. Dan dia berniat membunuh Ibu, bahkan berpikir untuk mengajak Ayah memutilasi Ibu.
    Setelahnya...katanya, "Aku mimpi memutilasi semua hal. Dari kucing sampai alat kelaminku sendiri."
    Kami semua tertawa, lalu hening, ngeri. Apakah Ibu akan bercerai dengan Ayah?
    Semoga tidak. Ya, Tuhan, semoga tidak!


    6


    Kami berkumpul di rumah Remuel dan dia menceritakan kisahnya yang bagi kami tragis, sebab sampai kini dia masih jomblo dan anti terhadap laki-laki yang berbuat seperti perempuan. Pokoknya laki-laki yang tidak tegas. Dari Remuel kami tahu bahwa setelah fitnes, dia pulang dengan angkutan umum. Di dalamnya ada sepasang anak SMA lengkap dengan pakaian sekolah, asyik bermesraan seperti sepsang suami-istri. Kemudian setelah beberapa tikungan, naik sepasang orang kantoran yang langsung bermesraan, sama infantil-nya seperti bocah-bocah SMA tadi. Seorang ibu tua berjilbab naik dan langsung tertidur. Angin dingin, obrolan di angkot berbau cinta melulu yang sangat primitif. Ramuel yang jadi stres sendiri ingin mengisap cigarette tapi dia mengingatkan dirinya bahwa dirinya baru selesai fitnes. Setan. Akting pun di mulai.
    Wanita berjilbab dan bercelana bahan halus itu adalah wanita bertubuh kecil dengan wajah sempit, mungkin juga otaknya, berhadapan dengan seorang laki-laki kekar dan macho...dalam hati Remuel berbisik, "rugi banget gue fitnes, nah ni cowok yang kebagian gelembung-gelembung ototnya." Tapi kemudian Remuel bisa bernapas dengan lega, "sayang, cara bicaranya tak lebih dari sepupu kami yang banci dan sekarang pasti sedang sibuk mengeriting rambut orang di salon bunga-bunga."
    Si cewek terus bicara. Sok bijaksana. Sok tahu begitu pula si cewek yang manja. Sama manjanya seperti sepasang anak SMA di sebelah mereka. Kami dengarkan saja cerita Remuel sambil cengar-cengir. Setan! Si cewek memanggil dirinya sendiri, "bunda" dan si cowok menamai dirinya sendiri, "AA atau ayah?" Meski sebenarnya dia bernama Adit.
    Oh, kami mulai sentimen mendengar Remuel menyebut nama Adit. Semoga kami bertemu dengan dia di angkutan umum dan kali itu kami akan mendominasi pembicaraan sampai dia kepengen muntah-muntah lintah dan turun, seperti yang dialami Remuel saat ini.
    Remuel melanjutkan ceritanya meski dia benci cerita itu. Si cewek "bunda" itu merasa bangga sebab "AA" memilihnya sebagai kekasih, padahal AA waktu itu suka pada beberapa cewek sekaligus dan menolaknya mentah-mentah. Remuel agak gembira di bagian ini. Si AA rupanya trauma pada sesuatu dan Bunda dengan perhatiannya berhasil meluluh-lantakannya meski kebanyakan cowok segan dekat-dekat dengan Bunda yang selalu mengenakan jilbab.
    Remuel bertanya pada kami, "Seakan cewek berjilbab menjadi jaminan untuk kepositifan dalam segala hal?"
    Remuel menyuruh salah satu dari kami membuat teh untuknya. Kami memilih kopi hitam pekat biar malam bisa begadang di depan laptop, mngedit foto cewek-cewek yang tak kami kenal tapi kami dapatkan lewat jejaringan Twitter.
    "Mereka ini masih kuliah, kalian tahu ini?" Remuel tiba-tiba bicara, seperti baru selesai trans dan menemukan bahwa Tuhan yang kita percayai selama ini hanyalah tukang kebun tua yang bersembunyi di belakang matahari dan awan. Sepasang insan kasmaran itu bertolak latarbelakangnya. Si cewek adalah anak rumahan yang sering dikonfirmasikan keberadaannya jika sedang di luar rumah, dan oleh karena itu berpikir bahwa semua orang di rumah dan orang-orang yang ingin tahu dimana kita berada adalah sekumpulan orang yang Care and Jempoulan. Si cowok adalah kebanyakan laki-laki yang bebas. Yang tak bisa dibedakan dari kedua orang ini adalah, "kearoganan mereka pada orang-orang di sekitar mereka". dari mulut besar keduanya, Remuel memberitahukan kepada kami kalau si Bunda "kejar-kejar" si AA sampai ke tempat yang jauh. Si Bunda perhatian akhir-akhir ini. Sedangkan si AA merasa ada yang memperhatikannya dan memilih si Bunda.
    "Dasarnya bukan cinta," kata Remuel takjub, "tapi perhatian yang lebih dari kerja keras untuk menunjukkan: INI LHO AKU, LEBIH HEIBAT DARI PADA YANG LAINNYA KAN?"
    Anak-anak SMA turun. Setan! Bunda dan AA turun di jalan masuk ke senuah SMA yang menurut Remuel standart banget sampai kami membantahnya, "Memangnya kau menteri pendidikan?"
    "Aku tahu sekolah itu. Bertahun-tahun yang lalu aku pernah tinggal tepat di depan sekolah itu. Aku dan teman-teman sering memandang bobroknya sekolah itu dari jendela kamar kami di lantai dua. Daerah yang kami tahu berisi orang-orang kelas menengah ke bawah. selalu kebanjiran. Sarang pemakai dan pengedar narkoba. Kebanyak anak-anak sekolahan yang tinggal di situ mesum. Angka kehamilan di bawah umur 18 tahun meningkat tiap tahunnya. Daerah yang bagi kami jalannya sangat hancur, apalagi penghidupannya?"
    Dan orang-orang yang bermesraan dalam angkutan umum itu turun di situ, masuk ke gang sempitnya. Remuel sekonyong-konyongnya terpingkal-pingkal.
    "Dasar sombong. Kamuflase. Sok hebat. Padahal tai kuciang."

    0 komentar:

    Related Posts with Thumbnails

    La Musica