1.
Roro,
nama yang asing nun jauh di sana. Pelajaran sejarah dari buku cerita
rakyat mengabadikannya. Kami semua ingat siapa Roro Jongrang. Tapi jika
kau tanya pada adik-adik kami, mereka tak tahu. Bahkan nama GajahMadah
mereka sematkan pada ketua geng sekolah, disejajarkan dengan
kartosuwirjo dan Andy Aziz. Memang adik-adik kami dengan mudah
melupakan sejarah. Hanya pada kami semboyan, "Jas Merah" jangan
sekali-kali melupakan sejarah-nya Bung Karno masih tetap tinggal,
terpaku mat, bagai darah yang mengalir di nadi kami sendiri. Namun kami
membayangkan jika bertumbuh besar nanti, adik-adik kami akan mengenakan
jas berbagai warna sebagai lambang kepintaran, yang menurut kami, tak
lebih dari kerbau. Di Tana Toraja, kerbau atau tedong sangat mahal dan
sakral, tapi di demonstrasi jalanan, kerbau hanyalah massa yang anonim.
tak masalah jika satu disembelih dan ditembaki gas air mata.
"Sebab
mereka mengganggu ketentraman dan kesejahteraan masyarakat umum,"
mungkin begitu kata paman kami yang polantas, Melkianus.
Kami
sendiri setuju jika pemerintah lebih mengutamakan mayoritas daripada
minoritas yang anarkhis. Betapa tidak, Ibu kami yang berjualan di
sebuah ruko di kabupaten kami, dilempari dan luka-luka lalu menutup
rukonya yang menderita rusak-rusak sebab massa demonstran sedang lewat
di depannya dan sedang adu-kuat dengan aparat keamanan. Ibu kami
menangis habis-habisan sebab uangnya untuk menyewa ruko itu dipinjamnya
dari bank berbunga besar. Dia tidak peduli kalau ada salah satu pendemo
yang mati, meskipun itu seorang mahasiswa/i yang cakepnya minta ampun.
Mereka itu kerbau bagi Ibu kami, dan bagi kami juga.
2.
Berjalan
di jalan aspal, tengah malam, sehabis hujan, dengan tas berisi
buku-buku mahal, tidaklah selalu menyenangkan. Meski kami merasa sudah
kebal dengan pandangan orang-orang dari atas kendaraan roda empat
buatan luar negri, dari resto mewah, atau mungkin kami kebal dari
genangan air, kendaraan yang mati-matian lewat di pinggir jalan,
memakan pedesterian (fuck-you!) sampai kami kecipratan lumpur atau
hujan turun lagi...sampai di rumah, kami akan segera merasa bahagaia
kembali 100%.
Sebab
banyak yang bisa dilihat sepintas: geng motor sedang nongkrong, orang
main catur atau remi, orang kencing di halte yang tidak ada lampunya,
atau orang bermesraan; fakta yang perlu kami catat, nyaris semuanya ada
perempuannya, cantik pula.
"Apa
benar syair lagu malaysia itu? yang cantik lahir dari lumpur," kami
berdiskusi panjang lebar tentang pokok permasalahan ini. Berakhir
dengan hollyshit dari si sulung, Alesis.
Tukang
ojek bisa mengantarkanmu, tapi jika terlalu larut, mereka mesti pulang
dan kau terpaksa berjalan kaki ria. Berbuat seolah-olah sedang
menikmatinya. Oleh karenanya, kami kira, Roro mungkin cuma dua kali
mengalami hal semacam ini dalam hidupnya. Sebab namanya itu menunjukkan
statusnya. Meski tak asing, dia terasa nun jauh di sana. kami berharap
bertemu dengan seseorang yang bernama Roro. Roro Mendut?
Ah...ini karena Ibu kami yang meminta..."Cari seorang perempuan bernama Roro."
Aapakah Ibu kami sudah pikun? atau gila? atau sedang mengerjai kami?
3
Bertahun-tahun
kemudian baru kami tahu Roro itu seperti apa. Setelah sekian lama
menghilangm Roro menelpon di Minggu pagi tahun 2007. Ribut-ribut di
latarbelakang. Meski ada getaran itu, rasanya pelan-pelan mulai pudar.
Sebab kami merasa cinta kami pada Roro terbuang percuma. Mungkin kami
yang bersalah, mungkin juga tidak. Kata Roro, ada seorang teman yang
telah lulus S-2 mau membuat syukuran atas keberhasilannya. Kami
langsung teringat: mantra, tetua yang pakai sarung dan pakaian adat,
sesajian yang ganjil-ganjil, dan orang berjubel. Mungkin ada tariannya,
tapi tentu saja alkohol tak ketinggalan menemani, juga cigarette. Kami
sedikit merasa berdosa, meski sudah berjanji pada Ibu dan Ayah bahwa
setelah kuliah, kami berhenti isap cigarette. Padahal orang-orang mulai
mengisap candu itu saat kuliah sebab menurut undang-undang negri ini,
umur kala di bangku kuliah sudah mencukupi. Tapi sekali ini kami beda
sendiri.
Seperti
yang telah beberapa kali kami lakukan, kami pastikan dulu Roro datang
ke acara itu pula. Kami berniat sungguh ikut, namun alam tak bisa
diajak kompromi. Hujan turun dengan ganasnya sampai pukul 21.00. Kami
batal pergi dan menunggu dengan was-was di depan telepon. Roro atau
yang lainnya akan menelepon untuk memeriksa kami datang atau
marah-marah. Tapi tak ada. Kami lalu berpikir: mungkin acaranya ditunda minggu depan.
Padahal kami itu ingin sekali bertemu Roro. Melihat dan memastikannya
baik-baik saja. Tapi kami kadang harus menahan hasrat sebab kami punya
prinsip untuk mengambil jarak dari teman-teman lama. Berbuat
seolah-olah kami bisa hidup tanpa memikirkan mereka. padahal kami juga
sering menunggu di depan telepon, memperhatikan orang-orang yang lalu
lalang, dan diam-diam berdoa agar Roro dan teman-temannya menepuk bahu
kami dan bilang, "HEY!"
Sebab
kami merindukan mereka. Sebab kami tak bisa mengatakannya. Sebab kami
sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan mereka semua.
Mungkin juga karena salah satu dari kami cemburu buta. Sementara salah
satu dari kami terobsesi jadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya
yang heboh sendiri. Terlalu banyak menghayal. Terlalu banyak minum kopi
dan mengisap cigarette (sekarang diminimalisir dengan mengatakan pada
diri sendiri dengan malu-malu mau: "aku hanya merokok bila ada yang menawarkan.")
4
Roro
mungkin senang dengan keputusan ini, mengingat cita-citanya menjadi
seorang juru rawat sangat mulia, menolong banyak orang yang sakit dan
menderita secara psikis: (bapaknya, anak-anak tak mampu, dan kalau
beruntung, kami). Memikirkan itu, salah satu dari kami berkata,
"Seharusnya hari ini aku menemui Roro biar kuatanyakan semua kabar
tentangnya." Aapakah dia masih berniat jadi perawat medis? Aapakah dia
sedang mengerjakan proyek besar-besaran? Aataukah dia sibuk berpacaran
dan sering jalan kemana-mana?
Tapi kami tak jadi pergi...
5
Kami
bangun pagi Senin itu, jam 09.15. Ibu pasti akan mengomel jika tahu
kami telat bangun seperti ini. Salah seorang menceritakan mimpinya yang
panjang dan berbau hayalan.
"Setelah
aku pulang berlibur ke rumah, keluargaku jadi berubah aneh." Dia pergi
ke party malam-malam, pulang subuh bersama seorang sepupu dan sempat
mencari buah mangga yang jatuh di halaman orang. Tak ada. Si sepupu
masuk ke dalam rumahnya. Salah seorang dari antara kami itu bertemu
dengan adik kami yang cewek, yang langsung memeluknya sambil berjalan
dan bercerita. Adik kami yang paling kecil sedang bermain-main di parit
bersama teman-temannya, yang memukul mukanya dengan buah pepaya
setengah matang, ketika mereka sampai di sebuah gang sempit yang menuju
ke rumah, datang segerombolan perempuan yang marah-marah.
Mereka
itu tahu sesuatu yang tak diketahui salah satu di antara kami ini.
menjalani gang itu sampai seperempatnya, baru tahulah dia bahwa Ibu
bertengkar dengan Ayah dan Ibu pergi dari rumah. Ayah kami ada di rumah
seorang tetangga yang masih kerabat, sedang meminta Ibu pulang tapi
wanita ramping itu lebih memilih cerai.
Salah
seorang dari kami itu menangis sejadi-jadinya. Dia tak sanggup
menghadapi kemungkinan ini. Dia dan adik kami berjalan ke samping
rumah. Di situ dia menangis lagi. Semua orang sedang menontonnya. Dia
tak bisa tahu apakah para penonton itu bersedih atau tidak. Dan dia
berniat membunuh Ibu, bahkan berpikir untuk mengajak Ayah memutilasi
Ibu.
Setelahnya...katanya, "Aku mimpi memutilasi semua hal. Dari kucing sampai alat kelaminku sendiri."
Kami semua tertawa, lalu hening, ngeri. Apakah Ibu akan bercerai dengan Ayah?
Semoga tidak. Ya, Tuhan, semoga tidak!
6
Kami
berkumpul di rumah Remuel dan dia menceritakan kisahnya yang bagi kami
tragis, sebab sampai kini dia masih jomblo dan anti terhadap laki-laki
yang berbuat seperti perempuan. Pokoknya laki-laki yang tidak tegas.
Dari Remuel kami tahu bahwa setelah fitnes, dia pulang dengan angkutan
umum. Di dalamnya ada sepasang anak SMA lengkap dengan pakaian sekolah,
asyik bermesraan seperti sepsang suami-istri. Kemudian setelah beberapa
tikungan, naik sepasang orang kantoran yang langsung bermesraan, sama
infantil-nya seperti bocah-bocah SMA tadi. Seorang ibu tua berjilbab
naik dan langsung tertidur. Angin dingin, obrolan di angkot berbau
cinta melulu
yang sangat primitif. Ramuel yang jadi stres sendiri ingin mengisap
cigarette tapi dia mengingatkan dirinya bahwa dirinya baru selesai
fitnes. Setan. Akting pun di mulai.
Wanita
berjilbab dan bercelana bahan halus itu adalah wanita bertubuh kecil
dengan wajah sempit, mungkin juga otaknya, berhadapan dengan seorang
laki-laki kekar dan macho...dalam hati Remuel berbisik, "rugi banget
gue fitnes, nah ni cowok yang kebagian gelembung-gelembung ototnya."
Tapi kemudian Remuel bisa bernapas dengan lega, "sayang, cara bicaranya
tak lebih dari sepupu kami yang banci dan sekarang pasti sedang sibuk
mengeriting rambut orang di salon bunga-bunga."
Si
cewek terus bicara. Sok bijaksana. Sok tahu begitu pula si cewek yang
manja. Sama manjanya seperti sepasang anak SMA di sebelah mereka. Kami
dengarkan saja cerita Remuel sambil cengar-cengir. Setan! Si cewek
memanggil dirinya sendiri, "bunda" dan si cowok menamai dirinya
sendiri, "AA atau ayah?" Meski sebenarnya dia bernama Adit.
Oh,
kami mulai sentimen mendengar Remuel menyebut nama Adit. Semoga kami
bertemu dengan dia di angkutan umum dan kali itu kami akan mendominasi
pembicaraan sampai dia kepengen muntah-muntah lintah dan turun, seperti
yang dialami Remuel saat ini.
Remuel
melanjutkan ceritanya meski dia benci cerita itu. Si cewek "bunda" itu
merasa bangga sebab "AA" memilihnya sebagai kekasih, padahal AA waktu
itu suka pada beberapa cewek sekaligus dan menolaknya mentah-mentah.
Remuel agak gembira di bagian ini. Si AA rupanya trauma pada sesuatu
dan Bunda dengan perhatiannya berhasil meluluh-lantakannya meski
kebanyakan cowok segan dekat-dekat dengan Bunda yang selalu mengenakan
jilbab.
Remuel bertanya pada kami, "Seakan cewek berjilbab menjadi jaminan untuk kepositifan dalam segala hal?"
Remuel
menyuruh salah satu dari kami membuat teh untuknya. Kami memilih kopi
hitam pekat biar malam bisa begadang di depan laptop, mngedit foto
cewek-cewek yang tak kami kenal tapi kami dapatkan lewat jejaringan
Twitter.
"Mereka
ini masih kuliah, kalian tahu ini?" Remuel tiba-tiba bicara, seperti
baru selesai trans dan menemukan bahwa Tuhan yang kita percayai selama
ini hanyalah tukang kebun tua yang bersembunyi di belakang matahari dan
awan. Sepasang insan kasmaran itu bertolak latarbelakangnya. Si cewek
adalah anak rumahan yang sering dikonfirmasikan keberadaannya jika
sedang di luar rumah, dan oleh karena itu berpikir bahwa semua orang di
rumah dan orang-orang yang ingin tahu dimana kita berada adalah
sekumpulan orang yang Care and Jempoulan. Si cowok adalah kebanyakan
laki-laki yang bebas. Yang tak bisa dibedakan dari kedua orang ini
adalah, "kearoganan mereka pada orang-orang di sekitar mereka". dari
mulut besar keduanya, Remuel memberitahukan kepada kami kalau si Bunda
"kejar-kejar" si AA sampai ke tempat yang jauh. Si Bunda perhatian
akhir-akhir ini. Sedangkan si AA merasa ada yang memperhatikannya dan
memilih si Bunda.
"Dasarnya
bukan cinta," kata Remuel takjub, "tapi perhatian yang lebih dari kerja
keras untuk menunjukkan: INI LHO AKU, LEBIH HEIBAT DARI PADA YANG
LAINNYA KAN?"
Anak-anak SMA turun. Setan! Bunda dan AA turun di jalan masuk ke senuah SMA yang menurut Remuel standart banget sampai kami membantahnya, "Memangnya kau menteri pendidikan?"
"Aku
tahu sekolah itu. Bertahun-tahun yang lalu aku pernah tinggal tepat di
depan sekolah itu. Aku dan teman-teman sering memandang bobroknya
sekolah itu dari jendela kamar kami di lantai dua. Daerah yang kami
tahu berisi orang-orang kelas menengah ke bawah. selalu kebanjiran.
Sarang pemakai dan pengedar narkoba. Kebanyak anak-anak sekolahan yang
tinggal di situ mesum. Angka kehamilan di bawah umur 18 tahun meningkat
tiap tahunnya. Daerah yang bagi kami jalannya sangat hancur, apalagi
penghidupannya?"
Dan
orang-orang yang bermesraan dalam angkutan umum itu turun di situ,
masuk ke gang sempitnya. Remuel sekonyong-konyongnya terpingkal-pingkal.
"Dasar sombong. Kamuflase. Sok hebat. Padahal tai kuciang."