Jendela Bundar
Kamu duduk di sana, mungkin berdiri, sebab aku tak bisa melihat bagian lain tubuhmu selain kepala cepak dan kacamata bulan separoh-mu itu. Kamu tampak tua, setua yang kukenal selama ini.
Aku berdiri di sini, di sebuah dermaga kayu, yang menjadi tempat burung camar menukik, anak-anak bermain lempar batu dan bapak-bapak menjalin pukat.
Kapan besi itu akan segera bertolak. Kamu masih duduk di muka jendela mundar itu. Di dek berapakh engkau tidur, kekasihku? Sudahkah kamu membeli spons dan selumut? Sudahkan kamu mengambil jatah makan siang ini? Sebab aku tak bisa berada di sisimu. Aku hanya bisa berdiri di sini. Tahukan kamu aku ingin sekali berlayar bersamamu, kembali ke ibu-bapak yang kamu ceritakan itu?
Tapi aku tak bisa. Aku memilih mengurus buah kasih kita ini sendiri. Lihatlah engkau dari jendela bundar itu, aku sedang mengelus-elus buah cinta kita?
Jika kamu bisa mengartikannya, kuharap setelah kamu sampai, kamu bisa meneleponku, dan akan kudekatkan gagang telepon ke perutku, sebelum istrimu memanggilmu makan malam bersama.
Kamu pasti tahu, kamu selalu di hati kami!
_Bogor, 8, 11_
0 komentar:
Posting Komentar