75
Banyak hal yang ingin kami ceritakan satu sama lain, tapi sebaiknya mulai darimana ya?
"Mungkin sebaiknya mulai dari hari Selasa, cez," usul Si Tengah sementara dia mencukur jenggot kambingnya.
"Kenapa mesti hari Selasa?"
Karena hari itu, begini ceritanya: hari Selasa... ketika kami mesti tergopoh-gopoh ke kampus untuk bertemu dengan dosen pembimbing akademis kami. Dia bule dan tampan, meski sudah tua. Kami kadang-kadang menyamakan dia dengan Sam Sephard atau Sam Sheperd yang membintangi film penuh ciuman basah NoteBook...tentu kami ingat, sebab kepingan cakram itu berada paling atas dari susunan kepingan-kepingan lainnya.
Si bule ini, waktu bertemu dengannya, dalam ruangannya, yang kecil dan ber-AC, kami terlontar, terlonjak, sadar bahwa manusia tercipta dan hidup dalam ruang dan waktu. Manusia bukan yang Ilahi.
"Manusia bakalan mati, bos!" seru teman kami, Nox Nix (baca: no onni) dari ujung aspal, warung kopi, yang beroperasi 10 jam sehari. "Dan orang tua bakalan lebih dulu mati daripada orang muda, secara usia."
Kesadaran itu menohok hati kami.
Si dosen sudah pasti tercipta oleh sesuatu yang bukan dirinya.
"Pakar biologis, gw ga sebut Darwin lho, menegaskannya berasal dari spermatozoite dan ovume ayah ibu." Tiba-tiba si Ama Dinn menggagas dari balik tembok.
"Dia hidup dalam ruang dan waktu."
"Waktu dan ruang Eropa."
"Sebelum beranjak remaja..."
Percakapan itu makin ramai. Semuanya berawal dari hari Selasa.
"Ruang dan waktu memotong masa hidupnya," Nox Nix belum puas juga berargumen. Kami ingin Nox Nix menyambung kalimat putus di atas. Sebelum beranjak remaja...
Remaja yang menyenangkan sebab dia tingga di Eropa. Yang lebih maju kira-kira 20 kali lipat dari Indonesia.
"Waktu itu belum tentu Indonesia sudah merdeka."
Kemudia si remaja Eropa pergi ke tanah-tanah di Timur. Tanah yang pernah dicari Colombus, tanah yang diserbu orang Saxon, Hispanic, dan klan Aragon di semenanjung Iberia sana. Karena bau bumbu masakan rempah-rempah kita, telah menusuk hidung paruh burung bule-bule Eropa berbulu pirang itu.
"Apakah dosen kita itu termasuk kolonialis-imperialis yang berkamuflase agamis-karitatif?" tanya Ama Dinn masih dari balik tembok.
"Tidak, sama sekali tidak. Dia bahkan lebih menginginkan negri ini tanpa kekerasan berdarah dari orang Indonesia manapun."
"Kau serius?"
...