Herman J Masan, Tersangka Pembunuh
Merry Grace
Herman Jumat Masan (45) telah ditetapkan
sebagai tersangka oleh Polres Sikka, NTT, dalam kasus pembunuhan Merry Grace
dan dua orang bayinya, yang merupakan hasil hubungan intim antara pelaku dengan
korban. Ketiga korban dibunuh di Desa Lela, 25 km arah barat Maumere, Flores, pada
tahun 2002.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian
Resor Sikka, Ajun Komisaris Achmad, di Maumere, Selasa (5/2/2013), mengatakan,
hasil pemeriksaan polisi menunjukkan pelaku mengakui sebagian perbuatannya
tetapi menolak sebagian lainnya.
"Kami telah periksa pelaku, begitu turun dari pesawat.
Kami jemput dia, yang baru datang dari Kalimantan, bekerja di sana. Dia sudah
menjadi tersangka," kata Achmad.
Herman Jumat Masan diduga membunuh tiga
nyawa, yakni Merry Grace dan dua bayinya. Kasus ini sendiri baru terungkap
pekan lalu setelah saksi kunci yang bernama Sofi melaporkan kasus ini kepada
keluarga Merry Grace.
Sofi adalah mantan pacar HJM. Karena HJM
tidak bersedia menikahinya, ia pun melaporkan perbuatan HJM itu kepada polisi
dan keluarga korban. Pembunuhan itu diduga dilatari motif asmara. Kemarin,
orangtua korban dan sebagian warga ada di Polres Sikka, menyaksikan proses
pemeriksaan terhadap Herman Jumat Masan.
Tanggapan:
#1 Benar-benar menarik karena pembunuhan ini
terpendam selama sepuluh tahun. Padahal daerah Flores, meskipun bergunung,
berlembah, dan berhutan, masyarakatnya saling memperhatikan, dan tentu saja
tidak ada gossip atau sesuatu yang mencurigakan yang luput dari perhatian
orang-orang yang sangat social dan punya rasa ingin tahu yang besar ini. Banyak
pembunuhan telah terjadi di Flores, tapi itu mungkin bisa dihitung dengan jari—kecuali
pembunuhan yang terjadi karena perang tanding—dan tidak terlalu mengejutkan
seperti yang kali ini.
#2 Kasus
ini menjadi istimewa karena melibatkan mantan imam dan mantan suster—meskipun begitu
kita tetap harus memandang mereka sebagai manusia normal seperti kita—yang diharapkan
tidak terlibat hubungan asmara apalagi sampai berujung pembunuhan. Pasti banyak
gossip yang mulai menyebar, banyak kata-kata menghina untuk pelaku dan korban,
meski begitu, dari kasus ini kita semua, terkhusus umat Katolik dan masyarakat
Flores, bisa belajar bahwa imam dan suster bukanlah dewa. Perlakuan masyarakat
Flores kepada imam—suster tidak terlalu—sebagai manusia yang levelnya lebih
tinggi ini, bagi saya, kadang menyebabkan masyarakat Flores menutup mata dan
permisif terhadap “kasus-kasus” serupa—meski tidak melibatkan pembunuhan.
#3 Kasus
asmara, hubungan intim seperti ini bukanlah suatu hal yang baru, mengingat
banyak kasus yang sudah terjadi sejak dulu, dan sebagian besarnya tidak
diungkap karena menjaga nama baik agama dan imam. Dengan terungkapnya kasus
ini, semoga para imam—dan suster(mohon maaf, saya melihat suster sebagai korban
laki-laki)—yang “pernah” melakukan hubungan asrama, sedang, dan yang berniat,
dimohon menahan diri. Memang tidak bisa menghilangkan nafsu seks, tapi bukankah
setiap orang punya pilihan menjadi baik dan buruk? Kalau hendak menjadi imam—atau
suster—tanggung juga konsekuensinya. Atau jika sudah melakukan, atau berniat
melakukannya, bersikaplah jantan dengan mengundurkan diri lalu menikah saja. Simple
kan?
#4 Ini
adalah gambaran kelemahan gereja dan otoritas gereja di Flores. Semacam koin
bermata dua. Di satu sisi terkenal religious sementara di sisi lain menyimpan “penyimpangan”
yang “mengerikan”. Ayo, otoritas gereja dan masyarakat saling terbuka,
bekerjasama, jangan lagi menganggap pelajaran seks dan relasi social antara
perempuan dan laki-laki sebagai hal yang tabu. Siapa tahu dengan saling terbuka
dan mengenal satu sama lain, kasus-kasus serupa bisa diminimalisir. Sebab saya
tidak yakin kasus semacam ini bisa dihilangkan. Ini sudah semacam budaya. Kalau
di setiap keluarga ada “cacatnya”, siapa yang akan merasa malu lagi jika
melakukan “cacat” yang sama?
Avram ben Naphtali
0 komentar:
Posting Komentar