Siapakah #DKI1 Itu?
Jumat, 14 September saya berangkat subuh menumpang communterline Bogor menuju Jakarta, kota yang selama tujuh tahun pernah menampung saya. Banyak kawan masih menetap di ibukota yang sering banjir dan macet itu (Bogor juga sering banjir dan macet. Tidak semua Jakarta banjir dan macet kan?), sebagian karena masih melanjutkan kuliah S2 sebagian karena sudah mendapatkan pekerjaan bagus. Sementara saya karena merasa Jakarta sudah cukup menampung saya, saya memutuskan untuk hijrah ke Bogor dua tahun lalu, kira-kira pada bulan ini, September.
Yang membedakan September dua tahun lalu dan September sekarang adalah sedang hangat-hangatnya orang membicarakan siapakah yang akan menjadi #DKI 1, apakah Sang Gubernur sekarang atau Jokowi Sang Bupati Solo? Sebagian besar masyarakat yang mengaku berpendidikan #Lumayan, #WargaPendatang, #NonMuslim, #Dll, atau katakanlah saja semua warga Jakarta Raya yang menginginkan perubahan, mendukung Jokowi sebagai #DKI 1 dan berharap Bang Kumis kalah dalam pemilihan putaran kedua nanti. Para simpatisan Jokowi yakin sambil menunggu dengan berdebar-debar, sama seperti yang mereka lakukan pada pemilihan putaran pertama lalu, bahwa jagoan mereka yang akan menjadi #DKI 1.
Saya bukan pendukung salah satu dari calon ini, dan bukan juga pendukung dari semua calon yang pernah ditampilkan. Secara sentimental karena saya bekerja dan tinggal di Bogor, saya bilang pada kawan-kawan saya yang di Jakarta bahwa saya memilih Alex dan Nono. Meski begitu saya tidak memakai hak pilih saya karena terhalang pekerjaan yang harus saya lakukan. Boleh dikatakan jagoan saya kalah telak, tapi saya tidak bersedih karena memang saya tidak sungguh-sungguh memilih salah satu dari mereka.
“APAKAH ANDA MERASA BERSUNGGUH-SUNGGUH MEMILIH SALAH SATU DARI BANG KUMIS ATAU JOKOWI NANTI? ATAU HANYA DORONGAN SENTIMENTIL SEPERTI YANG SAYA ALAMI. KEKASIH SAYA ORANG SUMATERA DAN SAYA TINGGAL DI BOGOR JADI SAYA MEMILIH ALEX DAN NONO?”
Jika gaya memilih saya merupakan gaya memilih sebagian pemilih Jakarta, saya yakin bahwa Jokowi akan memenangi pemilihan putaran kedua ini dengan suara jauh melampaui perolehan Bang Kumis. Tapi entah kenapa saya merasa tidak yakin Jokowi menang. Bukan karena saya bukan orang Jawa, tapi karena saya melihat realitas yang sedang terjadi di masyarakat. Dan ini hidup sejak zaman dulu kala, salah satu factor kenapa Jokowi kalah.
1) Dalam perjalanan saya menuju tempat tinggal kawan saya di Rawasari, saya melihat begitu banyak spanduk di pinggir jalan dan di mulut-mulut gang sempit, tempat orang-orang kelas menengah kebawah hidup berhimpitan. Spanduk itu berisi ucapan terima kasih warga setempat kepada Bang Kumis karena telah memperhatikan mereka selama masa jabatannya. Mereka berharap Bang Kumis terpilih kembali menjadi #DKI 1. Saya kenal beberapa orang di gang-gang sempit itu, dan dari cara bicara mereka saya kisa tahu dari suku bangsa mana mereka berasal. Suku bangsa inilah yang menjadi basis? Dukungan bagi Bang Kumis selama ini yaitu Betawi. Mereka merasa bagaimana pun Bang Kumis mewakili suara dan #Keminoritasan mereka di Jakarta yang mereka klaim sebagai tanah nenek moyang mereka sejak Belanda. Sementara itu saingan Bang Kumis non-Betawi, non-Jakarta. Ada kekhawatiran Jokowi tidak sungguh-sungguh memperhatikan orang Betawi yang makin hari makin termarginalkan dengan bertambahkan penduduk setiap kali #ArusBalikLebaran.
2) Kira-kira pukul 10.13 saya sampai di tempat tinggal kawan saya. Dia sedang mengetik sesuatu pada notebook-nya dan menyambut saya dengan gembira. Orang Jakarta menyambut warga Bogor. Saya tertawa senang. Kami minum es cincau sambil ngobrol, tapi bukan tentang #DKI 1. Kira-kira tengah hari, masjid dan mushollah di sekitar situ mulai ramai. Orang Muslim sembahyang Jumat. Sambil ngobrol kami mendengar tema yang saya dari semua penceramah yang berbicara di pengeras suara. Intinya adalah sebuah rumah tangga yang baik haruslah terdiri dari suami dan istri yang seiman. Seiman dalam artian sama-sama Islam, jika seiman dalam agama lain, itu bukan urusan penceramah itu. Kemudian penceramah menganalogikan bahwa sebuah negara sama seperti rumah tangga, pemimpinnya harus seiman, sama-sama Islam, jika tidak negara itu akan kacau balau, dan si penceramah tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Menarik sekali. Bang Kumis dan pasangannya adalah Muslim, sedangkan Jokowi dan pasangannya, diketahui #PernahBerbauKristen. Yang harus dicatat, meski sila 1 Pancasila mengatakan yang enak kedengaran, tapi pemimpin di ibukota negara, haruslah Muslim. Tidak lebih tidak kurang.
3) Pukul satu siang, setelah kenyang, saya naik 47 kemudian 52 menuju Stasiun Tebet, stasiun favorit saya pulang pergi Bogor-Jakarta. Sepanjang perjalanan dengan commuterline, saya mendengarkan radio. Di pertengahan jalan, radio itu memutarkan sebuah iklan alih-alih lagu-lagu bagus. Iklannya ternyata tentang bagaimana Bang Kumis sudah terbukti melakukan pekerjaannya (tidak dikatakan baik atau buruk), bagaimana Bang Kumis sudah menunjukkan bukti nyata dan sekarang sedang melanjutkan pembangunan, membebaskan Jakarta Raya dari banjir dan macet. Bandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi? Belum, karena dia bukan #DKI 1. Dan selam ini dia tidak menetap di ibukota negera. Lalu masyarakat ditanya apakah mereka akan memilih yang tidak pasti dan belum terbukti? Sekali lagi, inilah keuntungan seorang calon #DKI 1 yang pernah dan sedang menjabat sebagai #DKI 1.
4) Bagi saya, idealisme buta akan realitas. Saya mendangar orang-orang mengeluhkan kinerja Bang Kumis kemudian orang-orang ingin dia turun dan digantikan dengan sosok baru yang membawa perubahan. Kemudian masyarakat Jakarta Raya ditawarkan banyak pilihan. Sebagain dari partai sebagian independen. Menariknya, masyarakat mengaku menginginkan perubahan tetapi mereka sedikit sekali memilih calon independen, yang boleh dikatakan bisa menyaingi #3FaktorBangKumis di atas untuk menuju #DKI 1. Apakah partai politik yang tolol atau masyarakat yang termanipulasi, saya tidak tahu. Nyatakanya sekarang, muncul dua sosok yang bisa dikatakan bertentangan. Yang satu pernah menjabat dan telah melakukan sesuatu untuk Jakarta Raya, yang lainnya belum. Yang satu mengklaim diri orang asli Jakarta Raya, Betawi, yang lainnya bukan. Yang satu Muslim dan yang lainnya berbau non-Muslim.
5) Kalau boleh menyalahkan, saya akan menyalahkan pihak partai politik pengusung, seandainya Bang Kumis tidak bisa tergeser dari #DKI 1. Kenapa saya menyalahkan partai politik? Tentu saja, kenapa partai pengusung tidak melihat ketiga factor di atas ketika mengusung pasangan calon? Kenapa dukungan tidak diberikan kepada pasangan calon yang tidak bisa diganggu gugat tentang #Kebetawiannya #Keislamannya dan #PengabdiannyaBagiWargaJakarta? Kenapa partai mengusung calon pasangan yang bakal menyebabkan masyarakat menjadi terpecah antara orang Jakarte atau bukan, orang Muslim atau bukan, Melakukan sesuatu untuk Jakarte atau belum.
6) Saya juga ingin perubahan sama seperti warga Jakarta Raya lainnya. Saya juga ingin banjir sedikit teratasi, macet bisa dikurangi, terlebih bagi saya, angka kejahatan berkurang di Jakarta Raya ini. Saya akan memilih #DKI 1 yang manawarkan #Keamanan dari tindakan kejahatan dari pada #Macet dan #Banjir. Apa gunanya bebas macet dan banjir, tapi nyawa kita tidak berharga di jalanan ibukota. Apa gunanya?
7) Saya kira ini salah satu factor kenapa angka #GolPut makin banyak. Karena dari semua calon pasangan yang diusung partai politik, tidak ada yang sungguh-sungguh meyakinkan mereka. Yang ditawarkan adalah semua hal yang bersifat material. Masyrakat Jakarta Raya membutuhkan yang namanya #Kenyamanan #Ketenteraman #Ketertibab. Rasa aman adalah kunci perubahan di Jakarta Raya. Kalau soal #Macet, solusinya kenapa tidak minta ke Kementerian Perhubungan dan Transportasi? Kenapa tidak minta solusi dari Produsen mobil, show room-show room atau dealer motor? Stop saja import kendaraan, dijamin mengurangi macet. Kalau soal #Banjir, tanya pada diri kita, apakah kita begitu konsumtif? Apakah setelah mengkonsumsi sesuatu, bungkusnya kita buang pada tempatnya? Apakah kita peduli pada tanah serapan air?
8) Jadi orang Jakarta Raya jangan cengeng. Kalau saya menjadi #DKI 1, saya akan bilang pada masyarakat Jakarta Raya bahwa “ENAK SAJA KAMU YANG BELI KENDARAAN BARU TIAP MENIT. KAMU YANG NYAMPAH SEMABARANGAN. KAMU YANG NUTUP TANAH DENGAN SEMEN DAN KONBLOK, KOK GUBERNUR YANG DISURUH BERESIN? TRUS KAMU SEBAGAI WARGA TUGASNYA APA? BIKIN MACET DAN BANJIR TRUS NGELUH?” Dan yang akan saya lakukan pertama kali adalah memberikan efek kejut pada preman dan orang-orang yang mengganggu keamanan di jalan raya.
9) Saya berdoa semoga tidak terjadi #Bakar-bakaran atau #Rusuh-rusuhan sebelum dan sesudah #DKI 1 terpilih, siapa pun orangnya. Dan saya masih yakin Bang Kumis akan tetap duduk di kursi #DKI 1.
-Rav Mordechai-