LUKA-LUKA TWITTER (TUIPS)
a/
Saya termasuk dalam daftar ORANG-ORANG TELAT INTERNET karena dari semua kawan-kawan atau orang-orang yang hidup dalam ruang lingkup keluarga dan pergaulan, saya yang paling AKHIR tergabung dalam sebuah SOCIAL NETWORK—bahkan saya tidak punya akun Friendster dan baru punya E-MAIL pada tahun 2009—tapi kemudian saya menjadi GILA, KERANJINGAN, dan membuat semua akun di setiap SOCIAL NETWORK yang saya temukan di internet. Saya punya selusin akun, sebagiannya tidak saya kunjungi, dan sebagiannya menjadi tempat saya BICARA tentang BUKU, FILM, KRITIK SOSIAL BUDAYA.
b/
Saya menganggap diri saya MENARIK ketika berhubungan dengan SOCIAL NETWORK—secara fisik saya mirip Robinho—karena disitu saya MALAH tidak terhubung dengan orang lain. Padahal salah satu KESOMBONGAN SOCIAL NETWORK adalah tawaran menghubungkan kita dengan orang lain—secara semu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan (lihat saja kasus-kasus kriminal lewat jejaring sosial dan teror atau fitnah)—yang sangat kita kenal, seperti kita mengenal setiap jengkal KELAMIN kita, yang cukup kita kenal, yang lumayan kita kenal, yang sedikit kita kenal, yang mengenal kita, yang jarang kita kenal, yang paksa-paksa mengenal kita, dan yang tidak kita kenal sama sekali (semua jenis akun itu sama berbahayanya dengan mereka yang melakukan tindak kriminal ECEK-ECEK di pasar, terminal atau tempat wisata).
c/
Pertama kali saya malah membuka akun di PLURK—sebuah jejaring sosial dengan sistem pemberian nilai/KARMA bagi setiap respon atas postingan—dan bertemu (secara semu) dengan (nyaris semua) ABG yang kelihatannya ingin sekali eksis, menjadi sangat popular (kemudian seperti Justin Bieber dan Sinta/Jojo). Mereka suka sekali merespon yang aneh-aneh, yang lucu-lucu, yang brutal-brutal dengan EMOTION yang kreatif (ada emotion memukul dengan kursi lipat). Saya berkenalan (secara semu) dengan seorang ABG MUSLIM, dan dari sini pertemanan menjalar kea kun-akun lain. Tanpa sadar, saya menjadi cukup TOLERAN pada agama lain, disini.
d/
Kemudian saya membuka akun (terpopuler menurut saya, tapi lumayan tidak berbobot untuk kemajuan dunia dalam segi apapun kecuali teknologi internet itu sendiri) FACEBOOK. Bertemu kawan lama, bertemu orang-orang yang bersekolah di sekolah yang sama, membentuk komunitas ini dan itu sesuai hobi dan saling komen demi seru-seruan. Setelah itu tidur dan tidak ada apa-apa yang HEBAT dari ini. Dalam kebosanan, saya dilipur oleh akun GOODREADS dimana saya bisa menjadi seorang PUSTAKAWAN (salah satu cita-cita saya) yang mengumpulkan buku-buku yang saya baca dari masa lalu, sekarang, dan nanti. Saya mulai sibuk dengan memberi rating, mengomentari, membuat review, dan berbagi pengalaman tentang hunting buku, buku diskon dan lain sebagainya. Akun ini akun paling bermanfaat bagi saya. Menariknya, dari jejaring sosial ini saya bisa konek ke FACEBOOK dan TWITTER. Saya sering mendengar tentang TWITTER. Kata orang dan teman-teman yang sudah punya akun disana, TWITTER lebih oke dari FACEBOOK atau jejaring sosial lainnya.
“Kenapa?” saya bertanya.
“Selebriti di Facebook, palsu.”
“Apa hubungannya?” saya heran.
“Semua orang terkenal di negeri ini, berkumpul di Twitter.”
“Wah!” saya hanya bisa takjub. Dunia semakin sempit. Mereka—orang-orang terkenal itu sekarang bisa saya sentuh, sekalipun semu dan kita tak pernah tahu apakah mereka punya hasrat MENGENAL atau BERBICARA dengan kita atau tidak. Tapi bukan berarti semua orang-orang terkenal itu sombong. Beberapa malah jauh lebih baik dari tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh (yang berkoar-koar) agama. Saya pun buat akun di TWITTER, follow sebanyak mungkin orang-orang terkenal di negeri ini, dan tak lupa pula mention kea kun teman-teman (sebab saya sangat yakin, teman-temanlah yang lebih MENGENAL dan BERBICARA dengan saya. Teman-teman peduli, orang-orang terkenal itu, tidak. Ini kan pertemanan semu. Kita hanya MENCANTELKAN KAWAT KITA PADA ORANG LAIN, tidak pernah dia yang mengajak kita berkenalan (jika pun iya, tentu karena ada maunya, misalnya untuk mendukung dia dalam Ajang tertentu, atau mendongkrak Film, Lagu, dan Produk yang dibintanginya). Setelah setahun penuh (selalu mengutamakan membuka) di TWITTER, saya jadi paham bahwa saya hanya bisa BERKENALAN dan BERBICARA dengan mereka yang sama seperti saya yakni orang-orang yang tidak terkenal (secara sederajat). Saya mengeluh pada kawan yang sering membalas mention saya.
“Rasanya seperti zaman penjajahan Belanda. Saya ini Pribumi.”
Dia tergelak. “Memangnya apa yang kamu harapkan?”
Dengan lugu. “Terhubung dengan dunia tanpa sekat.”
Dia malah mendorong sebuah buku ke arah saya. “Tidak akan pernah begitu. Jangan membuang-buang waktumu untuk mention orang-orang terkenal itu. Biarkan mereka berkicau, dan jika kamu ingin menanggapi kicauannya, tulis saja di TL kamu, jangan di TL dia. Dan ingat satu hal: jangan pernah jadi fans. Kamu akan terluka.”
“Kok bisa?”
“Coba saja.”
Saya selalu penasaran mencoba. Saya mention orang-orang terkenal itu untuk memberi tanggapan (yang kritis dan saya kira berbobot) tapi sebanyak apapun saya mention, tidak ada tanggapan sedikitpun. Saya pikir, pasti kritik saya terlalu pedas atau kasar atau kampungan. Saya mencoba mention yang lebih jenaka, lebih halus, lebih berbudi, tap tak ada balasan. Dan selama dua tahun ini, saya tidak pernah diSAPA oleh orang-orang terkenal yang saya follow dengan HARAPAN BESAR bisa BERKENALAN dan BERBICARA sebagai sesama PRIBUMI (ini bukan istilah kasar), sederajat, tanpa sekat karena ini dan itu. Tapi sejauh ini seorang selebriti saja yang menanggapi mention saya, itu pun dibarengi saling ngotot tentang sebuah masalah. Saya pikir saya tidak berbakat menarik perhatian orang-orang terkenal itu, mungkin karena saya terlalu kritis dan kampungan. Mungkin saya seharusnya sama seperti followers lainnya yang karena ngefan, mau melakukan hal-hal sinting untuk menyenangkan hati atau menyanjung hasil karya selebriti tersebut.
“Mereka tidak mau dikritik.” Saya bilang pada kawan saya.
“Mereka mau disanjung kan?”
“Setidaknya ada kesan seperti itu.”
“Lalu?”
“Saya kasihan pada beberapa orang kawan.”
“Kenapa?”
“Mereka juga followers.”
Kawan saya tersenyum geli. “Mereka fans, bukan seperti kamu.”
e/
Tapi fans sama TERLUKAnya seperti followers seperti saya. Untungnya saya tidak punya HARAPAN muluk-muluk, diLIRIK, dimention balik, diajak KENALAN dan BERBICARA secara sederajat. Malangnya, para fans itu, mereka punya PENGHARAPAN besar untuk TERHUBUNG dengan selebriti atau orang-orang terkenal di negeri ini. Jadi jika mereka mention dan tidak dimention balik, mereka akan GILA, MARAH, dan NANGIS MOMBAY. Mereka—para fan itu—bahkan tidak malu-malu MEMAKSA para selebriti dan orang-orang terkenal itu untuk mention balik. Kasihan mereka. Sebuah hubungan indah berakhir dengan paksaan. Saya pikir, ada baiknya, mereka MOGOK berkomunikasi dengan para selebriti dan orang-orang terkenal itu. Lalu kita lihat apa yang terjadi. Kalau perlu unfollow.
“Bukankah tidak ada gunanya terhubung dengan orang seperti itu?”
Kawan saya meringis. “Apa yang kamu harapkan dari jejaring sosial?”
“Banyak.”
“Kurangi tiga per empatnya.”
“Bukankah jaringan itu disebut dunia maya? Semu kawan.”
Saya hanya bisa menelan ludah. Semu.
Benjamin Azerah