Selesaikan Pelanggaran HAM dan Luruskan Sejarah Papua
Persoalan Papua yang tak pernah selesai sejak wilayah itu direbut dari Belanda, diharapkan selesai dalam tiga tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Salah satu persoalan kunci yang harus diselesaikan dalam tiga tahun mendatang adalah pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, dan pelurusan sejarah Papua.
"Kami menyadari ada persoalan sosial politik yang menjadi warisan masa lalu yang kita harus selesaikan. Presiden SBY menyadari, harus ada penyelesaian dalam periode sisa tiga tahun terakhir pemerintahannya. Mudah-mudahan penyelesaian Papua yang lebih bermartabat dan secara damai ini bisa diselesaikan," kata Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah, Velix Wanggai, di Jakarta, Senin (14/11/2011).
Velix mengatakan, salah satu yang harus dibenahi pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua adalah aspek yang bersifat politik, hukum dan HAM.
"Misalnya penanganan pelanggaran HAM, kemudian penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Kemudian masalah klarifikasi sejarah Papua," katanya.
Pemerintah, lanjut Velix, tak bisa sendiri untuk mengatasi persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan pelurusan sejarah. Terlebih lagi menurut dia, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Padahal, tadinya KKR akan dilibatkan dalam penanganan pelanggaran HAM masa lalu dan pelurusan sejarah Papua.
"Terakhir MK memutuskan untuk membatalkan UU KKR. Ini kan implikasinya terhadap otonomi khusus tidak bisa membentuk KKR yang tugasnya adalah klarifikasi sejarah Papua dan juga menyusun strategi rekonsiliasi sosial," katanya.
**Buat saya, pertama-tama, tulis sejarah Papua sebenar-benarnya dalam sebuah buku sejarah (bdk. Buku sejarah tentang Jawa dan Sumatra yang banyak beredar di Gramedia sekarang). Setelah itu, seluruh warga Indonesia—yang bukan orang Papua—meminta maaf atas apa yang selama ini terlah terjadi—meski tentu saja tidak semua orang menjadi penyebab situasi buruk di Papua. Oleh karenanya, Pemerintah Pusat berwajib meminta maaf, menyangkut hak ulayah tanah dan hasil bumi yang diambil.
Dari situ baru pemerintahan daerah Papua “berbicara” dengan perusahaan-perusahaan yang “bekerja” di tanah Papua, untuk mengikuti aturan main yang dibuat oleh Pemda Papua—yang disetujui masyarakat Papua—soal pembagian hasil 60-40 %. 60 untuk Papua dan 40 untuk perusahaan. Sehingga kemajuan Papua bisa dikerjakan oleh orang Papua sendiri—Pemerint Pusat tidak perlu repot dengan pembagian hasil itu—agar mereka tidak mengeluh, sakit hati, dan bikin dis-integrasi**
0 komentar:
Posting Komentar