Kereta Listrik Jakarta-Bogor
Kemarin, Minggu, tepat peringatan 84 tahun
Sumpah Pemuda. Saya dan kekasih berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sebuah
syukuran seorang kawan yang merampungkan studi S2-nya di UP. Kami berangkat
Sabtu dan kembali Minggu malam pukul 7.30. Jakarta panas, Ford Fiesta hitam
berhenti tak jauh dari stasiun Tebet dan kami berdua turun, melangkah dengan
riang menuju peron.
Jakarta masih panas, belum ada hujan
semenjak kemarin kami datang. Gerah, maka kekasih saya membeli sebuah Orange
Water demi mengademkan tubuhnya. Saya tidak meminumnya sedikit pun karena saya
sedang memikirkan begitu banyaknya penumpang yang menunggu di peron dan begitu
sedikitnya gerbong yang tersedia menuju Bogor.
Lima belas menit menunggu, lumayan cepat,
biasanya kami harus menunggu sampai lebih dari satu jam di masa-masa sebelum
ini. Katanya tiap 15 menit kereta datang, dan mungkin sistem transportasi jenis
ini mulai disiplin seperti di negara lain. Kami naik bersama serombongan
keluarga berjilbab, ibu-ibu, yang kasihan tidak mendapatkan tempat duduk karena
tempat duduk sudah dikuasai oleh pemuda-pemudi (anak SMA atau kuliahan) yang
baru kembali dari kegiatan kurban sapi atau kambing. Saya menyimpan tas kami di
bagasi dan berdiri tepat di belakang kekasih saya. Kaosnya sedikit basah karena
gerah dan keringat mengalir di balik kemeja biru saya. Hanya 3 buah kipas angin
kecil yang berputar dalam sebuah gerbong itu. AC yang bertebaran dimana-mana
kelihatannya padam sehingga semua orang mengeluhkan kegerahan kecuali
pemuda-pemudi yang tidur sambil menutup muka mereka itu.
Dalam
gerbong ini, dua jendela teratas telah dibuka karena kegerahan. Angin yang
menghantam kencang dari luar membantu penumpang mengusir rasa jengkel karena
pelayanan AC yang buruk. Bukankah penumpang kini mesti membayar Rp 9.000 untuk
pelayanan macam begini?
1)
Saya tidak percaya jenis
transportasi ini mulai disiplin karena tidak setiap 15 ia lewat. Ia sepertinya
menunggu beberapa lama agar penumpang yang terkumpul cukup banyak; ini tidak
ada bedanya dengan angkot yang ngetem.
2)
Tempat duduk di peron
tidak cukup menampung penumpang yang banyak, sementara penjual diberikan
kesempatan membangun lapak-lapak di sekitar peron. Apakah peron disediakan
untuk penumpang atau penjual? Saya pikir pihak kereta api lebih peduli pada
berapa besar “pajak” penjual itu kepada mereka dari pada pelayanan tempat duduk
bagi penumpang.
3)
Di mall meski kita hanya
nongkrong tanpa membeli apapun, toilet yang kita pakai gratis. Anehnya di
stasiun, kita sudah membeli tiket namun tetap harus membayar kepada seseorang
yang entah siapa, ketika kita memakai toilet. Saya kira yang harus mengurus
kebersihan toilet adalah karyawan PT. KAI, bukannya “preman” atau orang yang
suka berkeliaran di peron-peron. Apakah dari pajak toilet itu PT. KAI
mendapatkan “bagian” juga? Astaga! Berapa banyak penumpang harus mengeluarkan
uang untuk membiayai kehidupan PT. KAI? Tidak cukupkah dengan kenaikan harga
tiket menjadi Rp 9.000?
4)
Kereta api di Indonesia
sering melewati daerah hutan, kebun, perumahan warga dan tidak ada pembatas
antara areal kereta api dan kehidupan warga di seberangnya sehingga sangat
berbahaya bagi keselamatan penumpang dan warga sekitar. Orang bisa menyeberang
dimana pun lintasan kereta api. Orang bisa melakukan sabotase juga. Yang paling
mengerikan adalah orang bisa melemparkan batu ke gerbong. Dan mala mini beberapa
jendela dibuka karena AC padam.
Betapa takutnya saya karena saya dan kekasih
berdiri persis di depan jendela yang terbuka itu. Seandainya seseorang melempar
dari seberang, melintasi jendela itu dan mengenai kami, saya yakin saat itu
juga kami bisa langsung mati. Pada jendela yang tebal itu saja bisa menimbulkan
ledakan dan getaran yang luar biasa, apalagi pada tengkorak kepala kami yang
lembut ini? Saya menjadi paranoid dan segera menarik kerai ke bawah sebagai
tameng seadanya setidaknya batu itu tidak langsung mengenai kami.
Beberapa penumpang tolol memandangi saya
dengan heran dan kesal. Saya tidak mengatakan apa-apa, tapi seandainya salah
seorang dari mereka datang dan membuka kerai itu, akan saya hajar dia
habis-habisan. Tapi itu tidak terjadi, semua orang telalu gerah dan lelah. Beberapa
orang mahasiswi di seberang belakang saya, yang duduk dengan santai, malah
membuka jendela bagian atas demi mendapatkan udara dingin. Ngerinya mereka tak
sadar bahwa dengan membuka jendela itu, peluang terkena lemparan makin banyak. Saya
menjadi sangat marah dan hendak pergi menutup jendela itu. Tapi beberapa
penumpang turun di Depok Lama dan kekasih saya mendapatkan tempat duduk. Saya berpindah
ke tempat yang lebih jauh dan rasanya akan terhindar dari batu jika dilemparkan
ke gerbong. Saya ingin melihat apa reaksi para mahasiswi tolol itu jika salah
satu penumpang yang berdiri di depan mereka kepalanya hancur terkena lemparan
batu dari luar.
Di Bojong Gede saya mendapatka tempat duduk
dan mulai santai. Terjadi pelemparan ke gerbong tapi syukur bukan di gerbong
kami. Tapi saya menjadi marah karenanya. Apa saya kerjanya petugas kereta api?
Kemana mereka bekerja? Bukannya mereka seharusnya memperhatikan keselamatan dan
kenyamanan penumpang yang terus membayar meski harga makin mahal? Kenapa mereka
tidak memeriksa setiap gerbong, mencaritahu apa yang sedang terjadi. Membetulkan
Ac, menutup jendela dan menghitung penumpang; sebab penumpang sudah melebihi
kapasitas tempat duduk dan tempat berdiri. Hitung saja berapa jumlah penumpang
yang tidak mendapatkan tempat duduk dan pegangan pada besi gantungan, dari
mereka inilah PT. KAI mendapatkan “kelebihan” uang tiket? Wah, jika benar, kita
bisa kalikan Rp. 9.000 dengan jumlah penumpang “kelebihan” dikalikan dengan
jumlah gerbong. Saya kira masuk akal dalam sekali perjalanan Jakarta-Bogor PT.
KAI (atau karyawannya?) mendapatkan minimal Rp. 630.000. Berapa kali perjalanan
PP Jakarta-Bogor (Bogor-Jakarta)? Saya menjadi ngeri sendiri, sebab saya merasa
kami para penumpang adalah orang-orang bodoh yang membayar mahal untuk sesuatu
yang seharusnya kami bayar sangat murah.
Kita bisa bandingkan, di mall meski kita
tidak membeli satu pun benda murah di situ, toilet mewahnya tetap gratis. Nah,
kenapa di stasiun, kita sudah membayar tiket, tapi kita harus membayar toilet
lagi; dan toilet itu jorok minta ampun, ada “preman?” yang berkeliaran,
duduk-duduk di depan toilet? Ah, kenapa kita tidak memilih suatu hari untuk naik
kereta api tanpa membayar? Kita semua sepakat dan tidak membayar. Atau kita
demo di stasiun saja?
Mordechai Levitt