Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Alur-film (Roro)

  • Selasa, 29 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 33


    Terlalu idealis, angkuh, tapi kami benar-benar ingin membuat film yang detail-detailnya diingat sebagian besar penonton. Bukan cuma adegan romantis, sedih, bahagia, ketakutan, juga adegan sepele setiap hari. Detail perabot rumah tangga. Kata-kata sederhana yang diucapkan oleh Diut di salah satu sudut ruangan. Warna piring dan letak panci yang baru dibeli Toju. Dan detail-detail keren lainnya seperti:
    Sambar Diut, si Kepala Suku, "alat pembuat kopi mendidih jam berapa."
    "Good itu."
    Sehingga kata-kata, orang, dan benda adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. 
    "Bukan sekadar ditempelkan supaya memberitahu ini adegan apa, ini saat dimana," sambung Toju dari balik pintu almari.
    Agar tidak perlu mengecat silang pada pintu atau jendela dan menulis seperti anak kecil, di dinding agar orang tahu ini markas preman lho.
    "Sesuatu yang membuat penonton jadi geli," celetuk Kepala Suku alias Chief. "Merasa ditawarkan melihat rentetan gambar tolol, untuk menghibur anak kecil yang merengek minta permen."


    Kami rasa 20 tahun lagi baru hal itu bisa terealisasi. Mengingat kami belum kelar kuliah. Belum menemukan Roro. Tak tahu harus mencari si wanita narasumber cerita film dimana. Dan bagaimana bisa sampai bangunan atau setting idealis itu ada. Setahun teakhir kami berhenti nonton bioskop. Karena tema-teman cewek yang kami ajak, takut nonton film horor atau ada unsur sadisnya. Tak kuat mereka melihat adegan berkelahi. Tembak-menembak. Atau kekesaran seksual. Jadi waktunya dialokasikan untuk makan, jalan-jalan ke toko buku, sesekali ke museum, meski setelahnya mesti jalan-jalan ke taman mini.
    "Beruntung dapat cium."
    "Hahahahahahaha........." Chief ngakak.


    Praktis, kami ikuti pesatnya pertumbuhan film dalam dan luar negri. Lewat koran. Cukup tahu para pemainnya, garis besar ceritanya, dan apa komentar para pemerhati film dan sejumlah surat kabar Amerika tentang film tersebut. Lewat tv kami tahu film ini dan itu masuk nominasi dan menerima award apa.
    "Nonton saja di kompi," kata Desni lewat sms-nya yang selalu menyenangkan itu.
    "Ah, kami ga bisa lagi nonton di komputer kami; orang-orang yang merasa bertanggung jawab terhadapnya, benci kalau kaset bajakan masuk. Dibaca susah minta ampun. Waktu nonton acak-acak. Dan subtitlenya ga jelas. Bahasa Malaysia kadang-kadang ga nyambung buat mengerti jalan cerita film itu."
    "So?"
    Kami benci keadaan ini. Tapi mau apa?



    Setting-film (Roro)

  • Rabu, 16 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 32


    Kami terjaga dengan muka bengkak....ini mungkin efek mimpi kami sendiri.
    Dan kami mulai berpikir tentang keinginan kami:
    "Menemukan seorang wanita yang tinggal sendirian di sebuah rumah besar, tua, dan orang ini memang asosial dan pesimistis. Dia tentu saja mapan, wanita karier yang keras, namun orang-orang seperti dia memiliki kutukan dengan masalah besar yang disembunyikan dengan rapi sekaligus ingin dipercahkannya."
    Seorang teman dekat kami, Diut, si Chief alias Kepala Suku mengusulkan ide:
    "Dia butuh bantuan orang lain tapi terlalu...gengsi untuk memintanya. Dia tidak mau sampai ketahuan lemah."


    Hahahahaha, kami ingin menjadi penulis skenario film. Menjadi sutradara amatiran, pekerja efek bayangan dan sebagainya dan sebagainya. Sebab kami inginkan cerita misterius atau cerita tentang narapidana serta kejahatannya yang melegenda. Sang wanita adalah sumber pengalaman. Diangkat dari kisah nyatanya dan dia akan membantu kami, mengerjakan 80% isi film ini.
    Tapi kami terus membayangkan setting seperti kebanyakan film produksi Hollywood.
    Dan Diut, si Chief alias Kepala Suku mendeskripsikan dengan asyik:
    "Ada komplek rumah-rumah pribadi yang jauh dari pusat kota. Tanah yang luas, halaman luas, rumah tingkat dari kayu atau tembok bat zaman Victoria. Tumbuhan rambat, pagar rendah, dan beberapa pohon pelindung rindang berumur di atas 50 tahun. Jalan aspal hitam pekat di depan rumah. Jarak ke tetangga 55 meter, dan ada orang aneh di sekitar rumah."
    Kami jadi geli dan meneguk kopi bikinan Chief:
    "Setting seperti itu tidak akan bisa ditemukan di Indonesia."
    Tempat yang paling "mendekati" adalah kantor-kantor kecil pemerintahan atau Istana Negara dan Istana Bogor. Tapi sayang, pagarnya tinggi, berpenjaga, dan ditambah bangunannya kaku. "Kita butuh kediaman yang mudah diakses orang sampai ke terasnya."
    Chief mengusulkan namun segera mengendur:
    "Di kompleks perumahan elite...terlalu formal ya. Pagarnya tinggi-tinggi untuk antisipasi perampok atau aksi anarkhis kaum Proletarian. Di kompleks perumahan biasa, terlalu sempit. Kotor, terik, bau, tak ada lahan kosong untuk rumput dan tanaman lainnya."
    Sedangkan di kampung-kampung, terlalu riskan mendirikan bangunan rumah bertingkat dan berkesan aristokrat. Selalu saja ada yang iri hati. Sehingga setting film tak akan menjadi alamiah. tak akan menyentuh. Dibuat-buat sehingga penonton jadi tak pernah memahami detail film, menikmati keindahan semua hal yang ada di kamera. Tapi cuma sekadar gaul, pergi menonton film yang sedang digantung di depan dinding teratas mall-mall.

    Laptop (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 31


    Merapikan tas dan meja kayu cokelat. Berbasa-basi sebentar di ruang kuliah, lalu berjalan pulang. Tidak ingin ikut nongkrong di kantin. Tidak mau merokok bersama kelompok tertentu yang gayanya seperti jagoan: duduk-duduk di atas sepeda motor besar dan memandang orang lain dengan sebelah mata.
    "Mang dia bajak laut pa?"
    "Ga juga sih, tapi mungkin saja dia bajak laut."
    Kami bertemu dengan Si Tengah di tangga turun. Dia bilang dia juga tidak ingin nongkrong di kantin sambil makan makanan siap saji kebule-bulean dengan mereka-mereka yang membuka internet hanya untuk chatting, utak-atik facebook, friendster, cari info soal artis, melihat video tindak kekerasan yang tidak mendidik sama sekali, juga download video klip lagu-lagu dari youtube.
    Kami jadi pikir-pikir sebab kami berempat pernah bertengkar hebat soal laptop.


    "Mau minta duit ke Ibu?"
    "Emang gak cukup komputer yang di kamar itu?"
    "Malah ada dua buah, terus laptop tua itu?"
    Tidak ada hasil yang menyenangkan. Masing-masing kami punya pendirian sendiri soal laptop ini. Ada yang mengatakan laptop bisa lebih murah dari pada komputer kantoran. Bisa dibawa kemana-mana. "Portable, boss." Tidak boros tempat. Keren. Modern. Bisa gaul dengan cewek-cewek cantik di kampus yang juga punya laptop keren. Mudah mengakses info. Pada pokoknya: "Apa saja bisa dengan laptop," kata Si Bungsu, yang menurut kami, naif. "Setidaknya lebih mudah mengerjakan tugas," dia melanjutkan dengan riang gembira seakan-akan laptop itu solusi buat orang modern.
    Tapi sayang, laptop juga naik harganya sesuai gonjang-ganjing dollar. Dia bisa dicuri dan dirusak dimana saja. 
    "Punya orang lain lebih bagus dan lu minder ntar," kata Si Tengah sok bijak pada Si Bungsu.
    Laptop bisa dijatuhi apa saja karena tidak kelihatan. Mudah dicuri perhatian dari mengerjakan tugas. Informasi-informasi yang sampah juga masuk ke kepalamu. 
    "Lalu otakmu yang bersih dikotori," Si Tengah tidak mau mengalah.
    Kita kemudian mengotori otak-otak yang lainnya, yang ada di dekat kita. Lalu kita yang banyak itu mulai berpikiran kotor terhadap orang-orang di sekitar kita. Dan penyebaran serta efek negatifnya semakin meluas.
    "Cukuplah dengan warnet," kata kami, nyaris mengakhiri debat aneh ini.
    "Jadi perjanjiannya, kalau semua warnet ditutup baru kita beli laptop satu-satu!" seru Si Sulung, berlagak kayak uang untuk beli laptop dari sakunya sendiri.


    Akhirnya kami setuju. Setuju untuk menunggu sampai Ibu menelepon dan menanyakan apakah kami tidak butuh laptop untuk keperluan kuliah? Ibu memang selalu lebih modern dari Bapak. Buat Bapak, nama baik dan kesejahteraan bawahanlah yang lebih penting. Kalau laptop mempengaruhi nama baik dan kesejahteraan bawahannya, Bapak akan setuju sekali semua orang punya laptop.
    "Itulah Bapak."
    "Gagap teknologi tapi dia sangat membanggakan kalian, anak-anaknya," gumam Ibu di sore itu, hujan masih deras dan suaranya yang terputus-putus membuat suasana terasa sakral.
    Bagi kami, Ibu meski lancar teknologi tapi sering pemahamannya tentang aspek-aspek kehidupan manusia masih sempit. Cocoklah Ibu dan Bapak menjadi pasangan sehidup semati. dalam istilah Latinnya kami ingat: "Unitas dan Indissolubilitas."
    Ibu dan Bapak memang tidak tahu sama sekali istilah itu. Tapi mereka menjalankannya. Sementara itu, banyak orang yang tahu istilah itu tapi pura-pura tidak pernah mendengarkannya atau pura-pura lupa. Mereka tahu namun enggan menjalankannya dengan berjuta alasan.
    "Mereka pikir cuma mereka yang punya masalah psikologi..."
    "Seks..."
    "Dan finansial..."


    Seandainya teori Seleksi Alam Darwin benar...

    Ujian-kampus (Roro)

  • Senin, 14 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 30


    Kami mulai menikmati yang namanya ujian atau quis yang dibuat di kampus. Bukan karena kami pintar atau supaya kami kelihatan lebih tenang menghadapi ujian dari pada mahasiswa yang lainnya. Tetapi kami memang senang, dan senang memang kami. Mungkin kami senang karena kami suka ke warung kopi di waktu senggang, terus membaca buku yang berat. membaca saja. Misalnya membaca di rumah, supaya:
    "Gw gak nyuruh kalian masak makan siang ya?" semprot Si Sulungdi tengah hari bolong. Yah, memang, supaya kami tidak disuruh beli air galon atau merapihkan rumah.
    "Belajar itu lebih penting dari segalanya, coy..." Si Tengah selalu menantangnya.
    Kami suka itu. Setidaknya ada penyeimbang dalam rutinitas kami yang kadang menjemukan.


    Misalnya membaca di angkot, supaya:
    "Gak jengkel dengerin obrolan remaja SMP dan SMU yang sok dan aportunis," sergah Si Bungsu.
    "Ibu-ibu yang senang menceritakan kejelekan tetangganya sendiri," tambah Si Tengah.
    "Atau penumpang cowok yang cantik minta ampun," kata kami, "dan kalau kau tidak membaca buku, kau akan ketahuan penumpang lain, sedang menatapnya dan naksir padanya.
    wkwkwkwkwkwkwkwkw..............!!!!


    Mungkil hal membaca itulah yang menyebabkan kami menjadi profesional. Melakukan apa yang penting tanpa menciptakan kerusakan untuk diri sendiri dan orang lain. kami tiba di kampur tepat jam di mulai ujian. Mengambil tempat duduk yang kosong melompong. Menarik napas dalam-dalam, mengambil lembaran soal dan jawaban, kemudian mulai mengeluarkan kentut-kentut ide yang terpancar dari lubang pengetahuan kami. Sophia! Oh Sophia! Kemudian kami mengerjakannya dengan tenang, mendayung sampan di tengah sungai, sampai waktu petang tiba, dan kami menepi, berhenti, memeras peluh, dan menyegarkan diri dengan segelas Martini. Jika sampai di titik itu, tahulah kami bahwa memang tak ada yang bisa kami tambahkan lagi pada lembaran jawaban--"Otak dan memori selalu terbatas!"
    "JUGA AKU YANG PINTAR!!!!"

    Kuliah (Roro)

  • Minggu, 13 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 29


    Kami menganggap sekolah--kuliah adalah rutinitas yang menyenangkan. Meski juga kadang menjadi pelarian ketika di rumah terjadi pertengkaran dan tak ada yang berinisiatif untuk merawat rumah dan memasak makanan. Sebab di sekolah--kuliah, kami mendapat begitu banyak kemudahan. Bukan saja ilmu pengetahuan, tapi juga kantin, karyawatinya, dan mahasiswi-mahasiswi yang membuat jatuh cinta. 
    "Ada yang janggal."
    Namun untuk kampus sebesar ini, kami juga belum mendengar ada seorang mahasiswi bernama Roro.
    Temi memang kami lihat pagi ini. Tetap cantik dan membuat gregetan. Dia melirik kami sesekali dari percakapan dengan gang-nya yang duduk di deretan bangku depan pintu Gedung Utama. Si Tengah tentu saja jatuh cinta padanya setengah mampus. 
    "Tapi Nenek berpesan," ujar Si Bungsu, "jangan kou (kau) pikirkan perempuan dulu, selesaikan kuliah kou itu yang utama."
    "Oke juga ya otak Nenekmu itu."
    "Nenenkmu juga setan."
    "WOIIIIIIII!!!!!"

    Sopan-santun (Roro)

  • Rabu, 09 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 28


    Kami pulang kuliah. Bus yang kami tumpangi sepi. Namun kemudian ketika sampai di depan sebuah halte kampus swasta, banyak mahasiswi naik. Banyaknya mereka bukan hanya karena mereka lebih dari 5 orang, tetapi juga karena 3 diantaranya gendut,dut, dut...Mereka memilih kursi dan seorang langsung duduk di sampingnya kami. Namun ketia sebuah bangku di seberangnya kosong, dia cepat-cepat pindah. Kecewa sekali kami sebab kami menganggap mahasiswi itu tidak punya sopan santun dan tinggi hati. Buat kami dai tak mungkin Roro. Atau apakah saat bertemu nanti, Roro akan segera menjauh dari kami seperti wanita ini?


    Tak ada masalah dengan cewek-cewek di kampus. Bahkan orang-orang yang sering kami perhatikan, tidak tampak. Orang Sulawesi itu, orang Setengah China itu, orang Sumatra itu, dan orang Setengah Maluku itu...gila! mereka sangat menarik hati. Semuanya mempesonakan kami. 
    "Gila banget, cewek-cewek makin cantik tiap harinya."
    "Itu imitasi."
    "Mana mungkin?"
    "Itu botox."
    Sembarangan lu."
    Kami beradu argumen dengan teman-teman seangkatan yang juga memuja kecantikan para temen mahasiswi kami. Tapi sebuah rasa masih mengganjal di hati. Sesampainya di tingkat dua, kami bertemu dengan Si Tengah.
    "Mau kemana lu?"
    "Nongkrong di atas."
    "Mau ngeliat cewek-cewek cakep lu?"
    "Mau tahu cewek-cewek mana saja yang sudah mulai berkurang sopan santunnya padaku."
    "Sok moralis--moralis busuk lu."
    Biarin. Dia mau bilang apa ke...kami memang orang moralis. Sekalipun busuk. Kami tetap moralis yang memahami kebusukan itu seperti rongga mulut yang menganga dan siap memuntahkan penghinaan pada orang yang tidak sehebat dirinya....busuk lu!!!!

    Body-proporsional (Roro)

  • Sabtu, 05 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 27


    Kami diam-diam punya kebiasaan baru: MENGHITUNG BERAPA BANYAK CEWEK CANTIK DAN BERBODY PROPORSIONAL dengan pakaian yang pas, yang sedang berdiri, duduk, atau parkir di bawah spanduk, baliho, atau bahan kampanye Caleg lainnya. Kami memulai menghitung semenjak masuk ke dalam tubuh angkutan umum; pergi dan pulang. 50 orang cewek cantik adalah semacam pradestinasi bagi kemujuran kami, meski kadang-kadang kami juga terlambat dan diusir dosen yang disiplin itu. Beberapa kali kami tidak bahagia, meski kami telah menghitung 50 cewek cantik, jadi kami kemudian beralih menghitung: BERAPA BANYAK MOTOR GEDE YANG LEWAT DI JALANAN. 50 buah tetap menjadi syarat Hari-Mujur-Kami. Meski tak jarang kami harus berakhir dengan dicuekin teman-teman yang sibuk sms atau talk mania, kena hujan, becek, angkutan umumnya sesak, ga ada ojek, terciprat lumpur dan air di pinggir jalan. Dan kami mujur karena tidak memaki sebab percuma saja: "hanya orang-orang goblok yang ribut dengan orang egois."


    Di angkot, Si Tengah bertemu dengan sebuah keluarga sederhana. Mungkin baru bermigrasi dari desa. Merantau ke Jakarta dan sedang menghafal rute menuju suatu tempat. Ibunya adalah seorang perempuan bertubuh besar, rambut ikal halus, hidung bertulang lebar dan bibirnya sedang. Bajunya kuning cerah, jins biru terang selutut, sandal jepit ungu dihias pernak-pernik perak. Bapaknya berambut lurus, hidung kecil, bibir tebal, dengan mata yang redup. Baju kaos berkerah biru pudar melekat dan memberi bentuk ketuaanya. Celana bahan kain murahan bersaku samping membungkus kakinya yang kokoh. Sepatu kets garis-garis hitam putih yang seperti baru habis digigit tikus di beberapa tempat, melindungi kakinya dari kotoran Jakarta. Anak perempuan mereka, kira-kira berumur 10 tahun. Rambutnya lurus halus berkilau, hidungnya seperti ibunya, matanya bulat besar, bagus sekali jika dia sedang menatap dengan ingin es krim penumpang SMA di sebelah ibunya. Bibirnya tebal seperti punya bapaknya, sepatunya, tapi tak robek sedikitpun. 
    "Lebih baik bapak yang menderita dari pada anak kan?"
    Sepatu itu, hanya sedikit kotor. Ketiganya berkulit gelap seperti habis berjemur, menandakan mereka pekerja yang tekun, tahan banting, dan umut panjang.


    Hal seperti itulah yang terekam dan dipikirkan Si Tengah, sehingga dia bisa menceritakan kembali dengan gamblang kepada kami bertiga di atas tempat jemuran. Dia pandangi mereka bergantian dan merasa senang dalam hati sebab masih bisa bertemu dengan orang-orang  seperti ini. 
    "Keluarga yang bersatu."
    Sementara penumpang lainnya yang pulang kantor, kuliah, dan sekolah, atau belanja, seakan berusaha menjauh dan tak mau melihat. seorang wanita karier menutup hidungnya dan batuk-batuk. Dan saat itulah Si Tengah cegukan, matanya berkaca-kaca sewaktu menceritakan ulang kepada kami saudara-saudaranya.
    "Saat itu aku ingin memeluk keluarga kecil yang sederhana itu untuk menantang perikemanusiaan dan penghormatan wanita karier itu."

    Cerpen-gombal (Roro)

  • Kamis, 03 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 26


    Bertandang ke rumah teman kami, Ronaldo. Sampai di kamarnya, ternyata orang ini sedang sibuk memelototi layar komputer miliknya. "Apaan tuh?"
    "Gw lagi nulis cerpen."
    Asing. tapi Ronaldo, yang gila bola dan nyaris masuk tim senior dalam sebuah seleksi klub sepak bola di Makassar ini, menulis cerpen? bagaimana bisa? Dia itu memang sedikit plekmatis dan melankolik, tapi yang paling menonjol sanguisnis kok. Ataukah dia sedang mengejar sesuatu dengan menulis cerpen itu? Perlu dikorek keterangan lebih dalam lagi. "Sudah berapa halaman?"
    Tak menjawab. bagus lu!
    Kemudian baru kami mencaritahu sendiri. Ronaldo sudah menulis 13 halaman penuh. Dia meminta kami membacanya, sementara dia turun ke bawah, berlari ke warung, dan pulang dengan kantong plastik berisi segala macam keperluan kalau kami sedang ingin nongkrong. Sekarang situasi menjadi agak dingin. Cerpen itu secara garis besar berisi tentang cinta. ya memang cinta. Maka kami cepat-cepat protes, berharap ide kami yang lebih bagus di dengar. Tapi Ronaldo bagai Kafila, anjing menggonggong, peduli setan.
    "Rasanya basi banget cerpen tentang cinta. gak jamannya lagi, dimuat di koran Bos."
    tapi Ronaldo bergeming.
    Kenapa kami menolak cerpen cinta? Alasannya, cerpen cinta biasanya bergerak dibuat-buta dn lamban. Nyaris tanpa energi spontanitas dan inovatif. Alurnya mudah ditebak, saking mudahnya, kau tidak perlu membaca cerpen itu, bahkan kau bisa mendiktekan kepada sang penulis apa yang belum ditulisnya. Kau mungkin punya ide seperti yang kami pikirkan ketika Ronaldo membawa masuk kopi susu mengepul dan dua batang rokok putih. Kisahnya begini: biasanya sepasang insan jatuh cinta, orang tua keduanya tak setuju, terpaksa mereka karena saking cintanya, kawin lari. Karena kawinnya pakai lari, si perempuan hamil di luar nikah, dan atau kawin dengan laki-laki lain sebab si laki-laki pertama melarikan diri ketika tahu dia akan menjadi bapak. Pada akhirnya terjadi pertemuan yang dramatis, dan semua antagonis disulap menjadi protagonis. "Basi."
    tapi teman kami ini serius sekali, seakan tak menangkap hawa penolakan kami. Tanpa dosa, dia menyelesaikan cerpennya, meski mata dan otak kami sudah leleh di halaman ketiga, dan tak mau membaca lagi, cuma melambai-lambaikan di depan batang hidung, dan berpura-pura mengangguk riang. Padahal ngantuk.
    "Romantisme semu."
    "Ini untuk sebuah buku kumpulan cerita."
    Seorang teman yang lain, dulu sekali pernah ikut menulis cerpen untuk hajatan seperti itu, dan tahun ini, dia meminta Ronaldo mengerjakannya. Tentu saja atas nama Ronaldo sendiri. Uang honornya pun tak dibagi dua. Kami langsung berpikir, kok bisa ya ada orang yang berniat mengumpulkan cerita-cerita tak bermutu itu untuk diterbitkan? Setengah jam kami mengeluhkan cerpen itu dan sejumlah tetek bengeknya yang kami sangkut-pautkan saja ke situ. Namun Ronaldo tidak terjamah. Dia sekali berkata: "Minum kopimu, isap rokokmu, dan kita bicara tentang kata."
    Dan kami bicara tentang kata, meski kami tidak menyedot nikotin dan teman-temannya dari sebatang rokok putih itu. Tak tahu kami bahwa yang terpenting dalam menulis adalah kejujuran, kesetiaan, dan kesenangan. Kami memang tidak langsung beralih mencintai cerpen cinta, tapi kami kemudian bisa mendukung Ronaldo. kami tahu dia bahagia atas dukungan itu. Karena dia bahagia, kami juga ikut bahagia. 
    "Tidak sia-sia kau datang kemari, Bro."
    "Siapa dulu...gw!"
    "Smoga terbit dan disambut masyarakat luas."
    "Traktir nasi goreng spesial."
    Crettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt!!!!!!!

    Dansa-dansy (Roro)

  • Selasa, 01 Desember 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 25


    Temi. Kenapa dalam kisah kami yang tak berkesudahan ini terdapat kisah seorang gadis bernama Temi? Karena kisah Temi adalah kisah paling menghangatkan dari seorang teman wanita kami sekeluarga.
    Dan Temi pulang. Juga Si Tengah. Mereka membawa pakaian-pakaian ke kamar Si Tengah dan kami yang lain senyum-senyum nakal. Si Sulung mengatakan, "Dasar otak mesum." Dan kami melirik Si Bungsu, "Jangan dengarkan ocehan orang yang juga sedang pengen."
    Lima belas menit mereka keluar. Wow!!!
    Di depan pintu, kini, berdirilah seorang wanita belia dengan paras bak bidadari. Dia mengenakan gaun silver dengan taburan manik-manik di bagian V gaun. Namun dia seperti kerasukan, matanya terus meloto dan panik. Dia takut tampak aneh di depan orang-orang. Setelah pakaian, sekarang yang jadi masalah, "Bagaimana perutku gak kelihatan buncit?"
    Tak ada gaun lain lagi yang mendukung. Malah  sebuah gaun hitam kulit lumba-lumba menjadi mini, dan jika dia naik atau menunduk, habisalah dia.


    Akhirnya dengan marah-marah, Si Sulung memilihkan gaun yang terbaik untuk Temi.
    "Gunakan stagen."
    Bahkan saking paniknya, Temi bertanya bahwa, "Pake bra atau putingnya ditutup pake plestes aja?"
    "Terserahlah," jawab Si Sulung. Memang harus terserah, barang itu kan punya Temi, emangnya punya Si Sulung yang matanya saja mesum itu. "Yang penting nyaman." Si Sulung memang paling bisa bijak tapi dasar mesum ya tetap mesum. tapi Temi, kasihan, dia benar-benar tidak nyaman. sejam kemudian baru mereka berangkat.
    Sampai di tempat pesta, ternyata pesta itu diadakan di gedung berukuran kecil. Suasana kekeluargaanya tampak sekali sebab, "Sepertinya semua orang yang hadir saling mengenal, meski bahasa yang digunakan agak berbeda," jelas Si Tengah dengan mata mengawang-awang. 
    "Kau trans?"


    Orang-orang menyambut Temi dan Si Tengah dengan senang. Ketika mereka sedang mengambil makanan ringan yang terdiri dari agar-agar dan krim, kedua mempelai yang berbahagia menghampiri dan bertanya: "Setelah ini mau kemana? Aanak muda kan banyak acara?"
    Temi dan Si Tengah tertawa ngakak. Mereka mengedarkan pandangan, tahu bahwa di pesata ini, para undangan datang dengan pakaian pantas, pakaian yang nyaman, tanpa menonjolkan jenis pakaian tertentu. tak ada yang memakai tuxedo. Temi menertawai Si tengah. Si Tengah balik menertawai Temi, yang gaun bagian perutnya agak mengembung aneh. Dan Si Tengah bertanya geli: "Menurut Mbak dan Mas, apa Temi boleh makan lagi?"
    Kedua mempelai yang berbahagia tertawa ngakak. Tak ada undangan yang menoleh, merasa risih, dan mencibir tingkah kedua mempelai yang berbahagia.


    "Itukan hari besar mereka berdua. Mereka pantas bahagia dan tertawa ngakak. Mereka yang kawin kok mesti menenggang perasaan "terhormat" para undangan yang belum tentu terhormat?" kata Si Sulung sok bijak dan kritis.
    Mesum lu, dalam hati kami berteriak. Kemudian Si Tengah melanjutkan kisah Temi lagi: keduanya terseret dalam gelombang danda-dansy ketika ratusan tangan menyambar mereka ke dalam lautan manusia dengan gigi meringis dan celoteh asali. Berdansa. mari berdansy. Ayo berdanda-dansy. hilangkan duka dan lara, juga manner yang omong kosong. Baik tua baik muda. Bocah laki-perempuan riang gembira, seakan terbang melayang-layang, mengapung, saling berkejaran di atas langit-langit balon dan bunga-bunga hias. Kedua mempelai yang berbahagia turun dengan gegas dari panggung mereka yang tinggi menuju lantai dansa sesungguhnya. Temi bahkan berbisik pada Si tengah.
    "Kita balik kalo pesta ini udah selsai."
    Dan keduanya tertawa dalam lautan asmara-dana. Keduanya tertawa atas perkenalan dengan begitu banyak manusia ramah-tamah. Orang-orang itu kemudian menceritakan banyak hal. membuat Temi tertawa, terkejut, heran, dan tertawa lagi, ngakak lagi. di tengah pesta, temi ditelepon bapaknya.
    "bagaimana pestanya, Mi? Sudah wakili Bapak sepenuhnya?"
    "Bapak itu bodoh. pasti Bapak sangat menyesal tidak bisa datang kan?"
    "Memang."
    "dan saya sudah sampaikan permitaan maaf Bapak pada semua orang di sini. Hebat bukan?"


    "Temi belum pernah seliar itu, bos," kata Si Tengah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang anggun. "rasanya aku ingin menciumnya."
    "dan kita tahu siapa sebenarnya yang mesum," Si Sulung pakai kesempatan untuk membela diri.
    "Tapi dia tulus, bos," bela Si Bungsu.
    "Memang, tapi kalian berdua biasa kong kalikong, toh?"
    Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha................!!!!!

    Party-family (Roro)

  • Senin, 30 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 24


    Kemudian suatu hari, kira-kira jam 6 sore, hujan tapi belum banjir. Jemuran di atas basah kuyup karena kami semua tidur lelap. Semalam begadang nonton bola sampai subuh. Sarapan pagi jam 11 siang, dan tidur lagi. Bugsh!
    Temi menelepon ke telepon rumah. Katanya dengan panik, minta ditemani sebab dia mesti menggantikan kedua orang tuanya ke sebuah pesta pernikahan dari seorang kerabat yang berbeda suku dan budayanya. Aneh, belum kenal, kok dia sudah ciut. Dia berkisah bahwa dirinya takut tidak bisa beradaptasi di tengah orang-orang dan jadi malu sendiri. Dia juga tak tahu mau pakai gaun yang mana karena tak ada dresscode yg paten di lembaran undangan. Maka dia pun minta bantuan.
    "salah orang, minta bantuan kok ke kita?"
    Si Tengah jadi pioneer. Sok gentle dia. Mau pedekate kali sama Temi.
    maka dengan sepeda motor butut dia ke sana. Tadi sana mereka harus meminjam tuxedo di salon yang mereka cari secara acak di buku telepon.

    Nilai (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 23


    Si Tengah melihat teman kuliahnya sedang jalan dengan seorang laki-laki bertubuh tinggi, agak bungkuk, meski. Dia tak kenal laki-laki itu. Mungkin pacarnya. Mungkin sepupunya. Mungkin juga teman dekatnya yang baru datang dari luar kota. Mereka kelihatan asyik sekali bercanda. Si Tengah menunggu angkutan umum di dekat mereka tapi dia tak mau menyapa mereka. Tak mau mengganggu.
    Dia pun kembali ke rumah kami.
    "Lumayan juga hari ini," katanya kepada PRT di tetangga sebelah. "Cerah dan tidak ada kecelakaan lalu lintas meski ramai sekali di jalanan."


    Keesokan harinya...Kami masih mengingat-ingat wanita itu. Dia punya senyuman paling manis dikombinasikan dengan bibir yang penuh, lesung pipi? Dagunya yang kenyal, mirip sarang madu. Bagaimana dia berjalan dari sana, tak terganggu oleh orang-orang yang lewat dan sibuk dengan hal yang remeh temeh dan omong kosong. Bagaimana dia tersenyum dan seakan mengatakan bahwa: aku mengenalmu. Dan kami suka mengatakan: ah, masa? Tapi kami tak mungkin melupakannya. "Bahkan sampai mati pun kami akan mengingatmu."
    Kemudian hari, jauh setelah hari ini, kira-kira dua ratusan hari, baru kami tahu namanya Tasha. Gadis berdarah Arab-Castilia. Dia bekerja sebagai stylist di perusahaan yang dibangunnya dengan 3 saudaranya dengan uang tabungan sendiri. Memang dia baru berhubungan dengan klien yang baru terjun ke dunia keartisan. Kami merasa senang sekali bisa bertemu dengan saudaranya yang 3 itu dan diam-diam dalam hati berharap, "ini sebagai pendekatan"
    "Kelewat pede lu."
    "Mungkin saja, siapa tahu, mereka menerima aku di rumahnya dan dengan itu kami bisa kenal lebih dekat dengan Tasha."
    Tapi kedua saudara yang lain tak kalah cantiknya. Sayang, yang seorang sudah bertunangan dan yang lainnya sedang didekati oleh 3 orang cowok. "Wah, kau tidak masuk hitungan, kawan," cemooh Si Sulung.
    "Dan kau akan patah hati lagi," timpal Si Tengah.
    Si Bungsu hanya tersenyum, tapi mengejek juga.


    Kebahagian bertemu dengan 3 wanita cantik itu tidak menular sampai ke dalam rumah kami, sama halnya dengan pesimistis 3 saudara kami itu. Si Bungsu ternyata menyembunyikan sakit perutnya. Si Tengah marah-marah mirip ibu-ibu gila. (Tentu saja tidak mirip Ibu). Dan Si Sulung menonton sinetron melulu.
    "TV tidak bermartabat seperti itu ditonton..."
    "Terserah...hiburan, goblok."
    "Hiburan untuk orang yang malas berpikir. Nrimo lu."
    Sejam berlalu dengan apiknya dalam kemarahan Si Bungsu karena Ibu tak ada di sisinya dan dia mesti melewati sakit perut kurang ajar itu sendirian di kamar tidurnya. Dia hanya bisa mengeram, "Ibu...Ibu" panjang-panjang.
    Si Sulung tiba-tiba marah-marah. Mungkin terkontaminasi sinetron buruk? Buku perpustakaannya hilang.
    "Periksa baik-baik dulu," tanggap Si Tengah.
    "Kalian memang suka iseng. Bangsat semua ini...."
    "He...kau jangan sembarangan...kebiasaanmu taruh barang sembarangan dan sekarang tanggung akibatnya...jangan menuduh orang lain dunk."
    "Setan lu."
    "Kuntilanak lu."
    Mereka disela dering telepon.
    Telepon itu datang dari seorang cewek yang tak kami kenal. Dia ingin bicara dengan Si Sulung. Katanya penting, ga penting, tapi penting. Mereka berdua berbicara lama, saling mengumpat dengan canda, dan berjanji akan bertemu. Ternyata buku perpustakaan itu dipinjam sama cewek ini. 
    "Yang suka minum softdrink di kantin itu ya?"
    "Yang sesekali coba merokok, kalau lagi sendiri."
    "Sama gilanya seperti kakakmu itu."
    Kami dan Si Tengah mencela Si Sulung ketika dia pergi mandi.
    Malamnya, seperti biasa, kami duduk-duduk di tempat jemuran pakaian. Kala begini, hati sudah tentram, yang ada hanyalah perasaan senasib sepenanggungan, dan saling melindungi antara saudara.  Kami membuka olok-olok itu. "Jadi cewek itu bilang dia lupa taruh dimana?"
    "Nanti di kampus, teman-teman angkatanmu, mengejekmu habis-habisan."
    "Gw tonjok mereka kalau berani."
    "Kau itu lebih tua tapi kayak anak SMP. Culun banget. Masa bisa terpesona dengan kemolekan tubuh cewek itu."
    Dan dia mengaku kalau dia tertipu. Kenapa? Dia tak mau menjawab. Kami bertiga tertawa mengejeknya sejadi-jadinya. Keesokan harinya kami berangkat ke kampus, dan dari jauh sudah mencium bau olok-olokan teman seangkatan Si Sulung. Tapi kami pura-pura tidak pedulu, tidak tahu. kasihan dia nanti. Sampai pulang kuliah, mungkin dia masih diejek teman-temannya, sehingga kekesalannya terbawa sampai ke rumah. Lucunya, Si Sulung malah disiram secara tak sengaja oleh Si Bungsu yang kesal karena mencuci piring bertumpuk-tumpuk dan sisa makanannya tidak mau hilang. Entah dari jaman kapan piring itu tidak kena air.
    Sepersekian detik, semua orang diam. Akhirnya kami bertiga bahu membahu mengepel lantai dan menjemur benda-benda yang kena siram. Untung di luar cerah, sedikit terik. Dan untung juga, laptop baru tidak kena air. Meski baru laptop itu ngadat mulu.
    "Kesingnya jorok."
    "Kasihan sekali kalau sampai rusak."
    Padahal Si Sulung paling sayang benda itu. Di kasih sama dosen pujaannya yang kurus botak itu. Dosen yang Si Sulung selalu mengerjakan tugas papernya dengan serius, dan mendapatkan hasil ujian A.
    "Tapi banggalah sesekali pada kakakmu itu," kata Si Tengah bijak.
    "Puih."

    Sosialismus (Roro)

  • Sabtu, 21 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 22


    "Tumben."
    Yah, kami tidak mau mendengarkan musik, dering sms, bunyi tit...tit...telepon rumah, atau main game bersama anak tetangga yang kecil-kecil. Kami ingin bersosialisasi dengan orang-orang banyak. Sebanyak tangan kami bisa merangkul dan sekuat mulut kami mengucapkan kasih sayang. Kenapa?
    "Mungkin ada Pak Tua yang mencari sesuatu." Atau anak kecil yang ingin tahu tentang sesuatu yang tak mau dijawab ibu atau ayahnya. Atau babysitter yang tampak risi dan jengkel. Kenapa?
    "Karena dia cantik tapi mesti jadi babu dari si nyonya gendut, ada di depan umum, dan di suruh-suruh nyonyanya yang asyik mengisi perut buntalnya sambil bersenderan pada suaminya." Bermesraan seakan mereka adalah dua remaja yang baru jatuh cinta.
    Tapi di tempat umum itu, orang-orang sibuk. Sibuk membaca. Sibuk makan. Sibuk melihat-lihat. Berbicara pada orang yang datang bersama mereka. Ber-sms ria. Menelepon, bermain game, dan banyak lagi. Jadi kami sadar cuma diri kami yang tidak berpasangan. Sendiri, tanpa kesibukan. Tapi kami senang sebab kami bisa menikmati tempat itu tanpa dibatasi oleh keinginan untuk terus. Terus apa?
    "Terus makan. Terus menunggu balasan sms. Atau terus berdebar-debar apakah seseorang di samping kita akan mengatakan atau membelikan sesuatu yang membuat kita serangan jantung karena marah atau bahagia."
    Kira-kira satu jam berlalu sebagai turis, kami menelepon ke rumah, mengatakan bahwa kami akan pulang sebentar lagi. "Masak apaan?" Kemudian dari sana berjalan ke arah kami, wanita itu. Rambutnya berwarna cokelat, lurus, dan diikat, berponi. Percampuran yang menakjubkan bahkan buat kami yang tidak tahu menilai wanita. Wanita ini berwajar bagai patung-patung peninggalan Majapahit dan Mataram. Tingginya kira-kira 1,45. Body-nya pas. Pakaiannya rapi, cocok dengan tempat ini. Dan dia memandang, tersenyum kecil. Dan kami langsung tahu, mungkin juga pura-pura tahu, kami jatuh cinta padanya.
    "Rasanya aku sudah kenal lama sama wanita itu."
    Bahkan rasanya kami dapat menceritakan dengan lugas siapakah wanita ini, namun tentu saja kami tak sanggup. kami terlalu terpesona pada keutuhan ciptaan Tuhan ini. Kemudian ketika dia makin mendekat, kami berjalan keluar, kembali ke rumah. Namun wanita ini mengisi ingatan kami sepanjang hari itu. Kami juga tak ceritakan soal ini pada yang lainnya. Kami hanya ceritakan pengalaman "tidak enak" pada mereka bertiga.
    "Ketika keluar dari tempat belanja itu, di pintu kaca otomatis, aku ga sengaja, memang juga ga tahu. Aku menyenggol payudara seorang perempuan. Kekasih perempuan itu lalu mengomeliku. Si perempuan juga ikut-ikutan. Mereka bilang sama aku: KAMPUNGAN! Terus aku bilang sama mereka: OKAY!"
    Banyak reaksi orang setelah itu. Namun kami lebih merindukan makanan yang dimasak saudara-saudara kami yang di rumah dari pada bertengkar dengan dua orang tolol ini.



    Family-boy (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 21


    Nyaris empat hari kami berempat tidak keluar rumah. Bukan karena tidak punya duit. Kami hanya ingin bersenang-senang bersama keluarga di rumah (ya, kami-kami ini). Seandainya ada Ayah dan Ibu, dan juga Bibi, pasti nyaman sekali. Kami biasanya akan duduk-duduk di teras belakang yang luas. Lantai teras itu tak berpagar, terbuat dari papan mengkilap dengan bangku-bangku kecil dan panjang permanen. Di bawahnya ada kolam ikan mas dan lele. Ibu biasanya yang paling repot menyiapkan kue dan teh dingin sebab dia satu-satunya wanita tua di situ (meski tak bisa kami pungkiri, diam-diam, Ibu masih cakep lho.) Dua wanita muda yang tak lain tak bukan PRT (kami panggil Bibi saja) akan disuruh Ibu mengerjakan pekerjaan lain saja. Ibu memang tak mau kami berempatbergantung pada orang lain.
    "Ini acara keluarga." 
    Dia sering berkilah.
    Kini, kami berempat cuma bisa naik ke atap, dekat jemuran, menjejerkan kursi berlengan dan sebuah tikar pandan, kemudian menggoreng singkong dan membeli sambal botol. Satu krat bir kaleng dan beberapa mix-max. Malam ini kami merokok sambil melihat-lihat langit dan lampu pesawat mana yang paling terang. kadang kami melihat orang mengendap-endap. Menelepon di gelap-gelap. Laki-laki dan perempuan muda atau tua berbisik-bisik, "Maling mungkin?" orang bertengkar. Dan kentut. Kemudian ketawa ngakak.
    "Pasti si Ndut anak Pa Aji itu."
    Biasanya kami berempat lalu menelepon Ayah dan Ibu berganti-ganti tiap sejam sekali. Satu akan bertanya pada yang lainnya apakah sekarang sudah boleh menelepon Ayah atau IBu? Urutannya kami bagi sesuai nama bukaan umur. Bahkan saking kesepiannya dan rindu suasana di rumah, kami menelepon ke telepon rumah dan berbicara panjang lebar tentang apa saja dengan kedua PRT. Kami juga pernah menelepon suatu rumah penampungan gelandangan dan mengaku sebagai keluarga dari si anu dan si ini agar bisa bicara apa saja dan mengenangkan rumah. Kami iseng kalau rindu pada orang-orang yang kami cintai.
    Waktu hari libur kampus, Si Sulung pergi jalan-jalan. Bersama teman-temannya, mungkin. Katanya, "terlalu banyak, terlalu ribut." Dan tentu saja terlalu banyak mengkonsumsi barang-barang tak bermutu. masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Si Sulung tiba-tiba seorang diri di tempat itu. Melihat-lihat seperti turis.Memotret dengan HP kamera yang baru dibeli dua minggu lalu, setelah menunggu harga Dollar US turun. Mengagumi kesenian dan cita rasa bangunan itu, dan dia berusaha menemukan makna simbolis dari angka-angka, kata-kata atau bentuk abstraksinya.
    "Dasar Dan Brown," umpat Si Tengah. Untung tidak terjadi adu pelungku.
    Si Sulung sampai pada kesimpulan bahwa: jika manusia tidak membuat Lingga maka mereka mendirikan Yoni. Sederhana sekali proses berpikirnya, meski bentuk Lingga-Yoni itu  sering disamarkan. 
    "Jadi kalian akan melihat sesuatu yang tabu di hadirkan ke depan public. Lumayan untuk di ingat."
    Dia katanya tak mau jajan sebab teringat masakan Ibu dan para PRT. Dia memesan kopi. Di larang merokok di tempat itu.
    "Aku memang berniat berhenti merokok sampai aku bekerja dan menghasilkan uang."
    "Yang benar lu?"
    "Menurut kalian?"

    Hand-phone

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 20


    Tiap hari selalu ada jeda dimana pikiran kami tertuju kepada Roro. Paling tidak sehari dua kali meski beberapa wanita cantik berpenampilan sederhana cukup menggoda, kami lihat atau memang duduk di dekat kami. Misalnya hari ini. Temi yang asal Gorontalo itu nongkrong dengan Si Bungsu dan diam-diam menaruh perhatian padanya.
    "Mungkin Temi jatuh cinta padamu."
    Tapi dia menjawab dengan cuek. "Temi itu suka laki-laki yang cerdas dan sering bolos kuliah untuk menemaninya di kantin atau di taman."
    Jadi menurutnya, Temi pasti memilik laki-laki lain yang kebiasaannya sering bolos kuliah dan jalan-jalan ke mall untuk nonton film nomad atau nomat? Kami bertiga mengangguk. Benar juga dia. Temi itu wanita cantik berbody bagus.
    "Tapi sifatnya agak aneh." kata Si Sulung.
    Jelaslah Si Sulung mewakili suara hati kami. Kami benar-benar tak ingin menemukan Roro dalam keadaan seperti itu.
    Sementara itu, di dalam sebuah kendaraan umum, tubuh kami terasa gerah. Beberapa perempuan muda berbicara keras-kerasa sambil marah-marah di Hand-phone. Semakin jengkel kami pada Hand-phone dan gerah. Seandainya kendaraan umum ini pakai Air-conditioner katanya, "Ga ramah lingkungan lu."

    Banjir (Roro)

  • Jumat, 20 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 19


    Hari yang aneh. Perasaan aneh. Tapi lebih baik pilah-pilah sampah di rumah dan pergi berbelanja--kalau punya banyak duit--dengan menggunakan keranjang sendiri atau tas dari bahan yang bisa di daur ulang dari pada berkotek terus menerus tapi mengharapkan semua belanjaan dibungkus rapi dalam plastik-plastik sialan itu.
    Tapi itulah, kami juga sering menyalakan lampu sepanjang hari atau mencabut rumput dan bunga-bunga liar di taman demi memasang konblok agar kelihatan rata, rapi, dan mulus. Dapat disejajarkan dengan halaman tetangga di sebelah yang kami sebut: "Tuan-Nyonya Pameran". Sebab setiap kesempatan kami saksikan mobil mereka yang banyak, kemudian di atas atap mobil itu mereka tutup dengan payung-payung besar permanen, dan di bawah ban mobil, mereka tutup tanah resapan air hujan dengan semen yang indah. Jika datang hujan, curahan air hujan akan penuh di got depan, naik tinggi dan menyebabkan banjir di rumah-rumah tetangga. salah satunya rumah kami yang sedang kami set ulang dengan tanaman hias aneka ragam kecuali kaktus.
    Kami semua tak tertarik pada kaktus. Sebab menurut Si Tengah, "Kita bukan seniman Kontemporer."
    "Memang ada hubungannya?"
    "Iya."
    Apa misalnya?"
    "Cari tahu aja sendiri."
    Juga sebab kami bukan seniman abstrak atau apalah, menurut Si Tengah yang sok tahu. Anehnya, kami tetap mengisi pot-pot bunga gerabah itu dengan kaktus. Mungkin kami teringat pada Patricia.

    Handycraft? (Roro)

  • Senin, 16 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 18


    Kakek-kakek kami yang bertato.
    Mereka adalah contoh para leluhur yang kami baca di buku-buku pemacu motivasi. Buku yang berisi pengalaman nyata lengkap dengan kalimat-kalimat nasihat yang berbau magi. Kami idam-idamkan menjadi seperti Kakek-kakek kami. Mereka bekerja keras, tentu dengan jalan halal demi membangun kerajaan kecil yang di bawah atapnya berlindung banyak jiwa. Laksana rumah batu kuno dengan fondasi kokoh yang bertahan selama 500 tahun (menurut mithe, fondasi kokoh biasanya dibangun di atas tumpukan kepala bayi), dinikmati oleh anak cucu, bisnis yang didukung dan bekerja sama dengan petani, nelayan, dan para pekerja kerajinan kreatif. Meski dari tempat kami berasal, kerajinan kreatif dianggap manan anak-anak. Sesuatu yang jauh dari apresiasi, juga pikiran maju masyarakat.
    Omong kosong bila mereka bilang mereka cinta seni. Lha, kami lihat di rumah-rumah mereka dipenuhi barang plastik dan logas sekali pakai. Instan. Barang-barang itu mereka beli di pabrik-pabrik yang memuang limbah beracun, pembunuh ekosistem air, yang berefek banyak pada manusia: kelainan genetik. Padahal karya kreatif di rumah-rumah atau sanggar-sanggar lebih bagus dan ramah lingkungan.
    "Omong kosong kalau mereka itu mengecam keras intervensi negara-negara kapitalis atas pasar mereka."
    "Betul itu."
    "Toh, mereka terus saja memamerkan barang-barang yang bisa dibeliyang bermerek luar negri. Yang dimasukkan ke pasar mereka dengan selundup. yang mungkin bekas pakai..."
    "Seperti kondom?"
    "Yang instan dan mempasifkan manusia."
    Sehingga manusia tak dapat melihat kerja dan kretifitas di balik benda itu, hanya sampai pada batas mengagumi kecanggihannya yang membuat generasi baru mampet otaknya. Anak-anak jadi asosial dan konsumtif terhadap alam tanpa tahu apa yang mereka pakai dan mereka buang turut menggerogoti alam sampai tak bisa dihuni dengan damai lagi.
    Kami sama sekali tidak sependapat dengan orang-orang bahwa generasi tua: generasi dewasa adalah perusak alm dan mewariskannya pada anak cucu yang tidak berdosa.
    "Bukankah generasi dewasa itu berasal dari generasi muda?"
    "Generasi muda berasal dari generasa anak-anak?"
    "Generasi anak-anak adalah mereka yang disebut anak cucu, bukan?"
    Kemana perginya mereka yang merasa warisan mereka telah dirusak oleh kakek nenek dari kedua orang tua mereka? Apakah mereka membalas dendam dengan menghancurkan lagi warisan itu, kemudian menelantarkannya?
    "Mereka itu tukang ngomong, tukang bual."
    "Menyedihkan?"
    "Harusnya."

    Manusia Implan (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 17


    Hasrat untuk menemukan wanita bernama Roro tak pernah padam. Namun begitu, perjalanan hidup kami bukanlah satu-satunya untuk menemukan Roro. Roro memang tetap ada pada urutan teratar, segaris dengan Menimba Ilmu-Belajar Nilai Masyarakat dan Agama-menjadi Guru SD di daerah-daerah yang kekurangan tenaga pengajar bergelar S1. dari hari ke hari kami mendapati fakta yang mengejutkan kami sekaligus merisaukan seperti : soal perempuan dan pendidikan, juga kesehatan dan seksualitas. Kami beberapa kali gentar dengan situasi masyarakat yang membuat asing di negeri sendiri. Kami sesekali merasa tidak diterima karena alasan, "Yang menurut kami sudah diperdamaikan dengan tubuh Pancasila dan UUD 1945."
    Kami pernah mendengar orang mengatakan bahwa negeri ini pelan-pelan hancur jika masalah integrasi tidak dipahami secara benar. Otonomi daerah yang gegabah mendatangkan masalah besar untuk kebanyakan rakyat jelata yang sering orang sebut "wong cilek, wong cilik". 
    "Aku wong cilik," kata Si Bungsu.
    "Ya iyalah, lu yang bungsu."
    Tapi Si Sulung juga merasa wong cilik sebab harta kekayaan Kakek-moyang kami berrmpat di dapat mereka dengan kerja keras hampir selama usia mereka.

    Asosial (Roro)

  • Minggu, 15 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 16


    Mestinya kami orang-orang asosial. Karena ketika pulang kuliah di tengah hari, kami temukan cewek-cewek remaja di angkutan umum. masih sangat muda dan sedang mekar-mekarnya.  Seorang dari antara mereka, yang saking tingginya, jika melihatnya berdiri, langsung teringat si ikan duyung dalam film 30 Hari Mencari Cinta. Dia berkeringat meski hari tidak terik-terik amat. Dia adalah cewek yang sering main basket dengan teman-teman cowok kakaknya di lapangan basket dekat masjid itu, dekat kompleks rumah kami. Ternyata siswa SMA ini tetangga di blok sebelah. Hampir dua tahun menetap di blok ini, kami kok tak sempat kenal dia? Kami tak kenal satu sama lain? Tapi Si Tengah, yang ingin pergi potong rambut jeleknya itu, sekarang sedang duduk di samping wanita cantik bercelana pendek..pendek sekali.
    Kulitnya bagus. Terawat. Mungkin seorang model. Wanita karier atau mahasiswi yang manja. Wanita ini kiranya juga asosial sebab dia tidak pernah menatap penumpang lainnya; sibuk dengan belanjaan dan hp-nya. Si Tengah mengatakan bahwa wanita itu bertanya padanya, "apakah kamu kuliah sastra?" sebab dilihatnya Si Tengah memegang buku roman. Dijawab, "iya."
    "Sastra sekarang lebih mudah diakses, membuat rasanya, menjadi bukan barang berharga dan menggetarkan lagi."
    "Tentu saja. Teknologi dan pasar global. Sebenarnya itu ada untungnya bagi penulisa dan masyarakat kelas menengah ke bawah."
    "Tapi karya sastra jadi seperti koran. Dibaca saja sebagai sesuatu yang lewat hari ini dan dibuang. Rasanya roh sastra telah terbang, hilang. Kamu suka menulis?"
    "Yah, untuk tugas Bahasa Indonesia saudara-saudariku, teman-teman atau yang lebih sering untuk Bapak sebab dia guru dan suka bercerita pada anak-anak muridnya."
    "Aku suka fiksi, juga fiksi sejarah. Aku menulis beberapa, tapi tak pernah berani mengirimnya ke majalah perempuan. takut ditolak. Maukah kamu membaca tulisanku?"
    "Bagaimana kalau kita pakai satu nama pengarang dan kita kirim bersama-sama?"
    "Kalau kita bertemu lagi."
    Okay. Si Tengah turun di depan parkiran sebuah salon kecantikan, dan mengatakan kepada seorang waria bahwa dia ingin rambutnya dipotong pendek. Cambangnya tak usah dirapikan. Juga kumis dan jenggot. Waria itu memandanginya heran karna Si Tengah menghayal. Dan hanya menggumamkan, "Ham", jika ditanya ini itu. Ketika dia membayar, si waria bertanya, "Abang seorang seniman?"
    "Teman saya yang cewek tadi itu."
    Dan bengonglah orang-orang di salon itu waktu Si Tengah melangkah keluar dan menyetop angkutan umum di jalan. Angkutan umum itu dipenuhi anak-anak sekolah yang berkeringat dan bising minta ampun. Tapi mereka memang butuh mengekspresikan diri. Mereka toh sedang melakukan pencarian jati diri besar-besaran....

    Drugs (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label

  • 15


    Kami adalah segelintir orang yang tidak suka jalan-jalan. Lebih suka tingga di rumah sendiri atau berleha-leha di rumah teman-teman kami yang jaraknya tak lebih dari sepelemparan tombak dari rumah kami. Sebab kami lebih suka naik angkutan umum untuk perjalanan yang lama daripada harus naik-turun, pindah-pindah  dari satu mobil ke mobil yang lain. Lagipula, untuk urusan jalan-jalan, kami mesti hemat-hemat, karna Ibu dan Ayah menanggung 4 orang pemuda kuliahan di kota besar. Meski harta Kakek dan Ayah tidak akan habis sampai kami punya cucu asalkan kami semua ikut program KB.
    Namun hari ini, setelah mendapatkan pelajaran yang bagus-bagus, kami ingin lebih mengendapkan  ilmu yang berharga itu dengan refreshing. pilihan kami jatuh pada tempat yang bisa didatangi dalam jumlah banyak orang. Hari berjalan dengan apik. Di sana-sini tetap saja ada kecelakaan, kematian, dan trafficking, dunia terus bergulir, seperti jiwa-jiwa kami yang masih bersih. Sewaktu hendak pulang sebab hari menjelang jam 8 malam, Si Bungsu yang telah kami larang agar jangan kencing di belakang pohon besar yang rindang itu, kencing juga di situ. 
    "Kau tahu, mungkin malam nanti ada orang miskin yang tidur di situ atau sepasang kekasih memilihnya sebagai tempat mengikat janji..."
    "Sorry, tidak kepikiran."
    "Primitif-egois."
    "Jangan salahkan dia."
    Kami tetap membahas ulahnya itu. Dia malah pergi sendiri, meninggalkan kami bertiga, kakak-kakaknya yang selalu memperdulikan keberadaannya, seperti Ibu dan Ayah. Dia merasa seolah tak bersalah. Dan kami bertiga yang jengkel, mengejarnya.
    Sampai di dekatnya, tepat dua meter di belakangnya, yang sedang merunduk, Si Bungsu bilang, "Diam. Sssttttt...Ada orang sedang transaksi."
    Sembunyi-sembunyi, kami mengintip. Selama 15 menit kami melihat. Dunia seperti tak ada aturan. Mungkin ini yang dinamkan Paradisum Baru, yang jelas sekali berbeda langit dan bumu dengan Paradisum Lama, yang tertulis dalam kitab-kitab suci dunia. Di atas sederetan sepeda motor dan dua buah mobil mewah, orang bercumbu; asyik dengan rokok dan liquid. Seorang perempuan melihat kami. Kami taksir dia 20 tahun, bisa kurang, sebab dia langsing sekali. Seperti kehabisan gizi. Dia meneriaki kami berempat. Dan secepat perginya teriakan itu, kaleng-kaleng minuman mereka melayang ke arah kami. Kami sempat ambil 2 kaleng yang masih setengah isinya, dan mencuci tangan kami yang kotor kena tanah, akibat merangkak tadi di semak-semak.
    "Kau yakin mereka nge-ganja?"
    "Lihat saja mata mereka."


    Basket (Roro)

  • Sabtu, 14 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label

  • 14


    Kami berpencar hari ini. Tak berniat menemukan Roro. Meski kami yakin ketiga saudara kami sangat ingin kebetulan...sekali lagi kebetulan melihat Roro. Si Sulung pergi dengan temannya yang benama Ho Cheng--seorang China totok dari Singapore--untuk bermain basket. Tentu saja banyak cewek menonton dan memuja mereka ketika salah satunya melakukan Dunk atau Blocking. Kami tahu, Si Sulung akan bertemu dengan banyak cewek China yang menarik. Dia sekali pernah bilang bahwa jika tidak menikah dengan orang Toraja, dia akan menikah dengan orang Tionghoa. Dan jika dua-duanya tidak, dia akan single seumur hidup. Ketika pulang, dengan Ho, dia jadi cerewet, banyak ngomong tentang cewek-cewek yang bukan saja China tapi juga anak-anak Jakarta yang menyorakinya. Dia lalu berkenalan dengan sejumlah cewek baru yang kelihatan betul, naksir sama Ho. Tapi kepada Si Sulung, yang seorang, bukan China, sering mengajaknya bicara. Cewek itu pakai kaos Polo dan jins selutut. sepatu kets mahal dengan gelang emas di kaki kirinya. Si Sulung langsung teringat pada seorang tante yang bawel minta ampun, suka bersolek, dan sering mencaci maki suaminya dengan bahasa Inggris atau Belanda. Semua orang tentu tahu apa itu GOTTVERDOME???
    "Kau dengar--"
    "Tidak ada. Tapi ada seorang cewek di lapangan sebelah yang belum kutahu namanya."
    Berarti dia tak dengar ada yang bernama Roro. kami yang lain juga.
    Si Tengah ditilang polantas. Si Bungu di kira Glenn Fredly. Dan kami hanya di depan komputer teman: mengerjakan paper mata kuliah Antropologi Budaya. Tapi menurut kami, kami yang paling beruntung sebab ketika naik angkutan umum, kami duduk di antara dua orang cewek berpenampilan bak model top. Wangi. Bicaranya keluaran kursus public speaking. Mereka berdua ini berbicara seperti tak peduli pada kami. Ketika mereka menyadari ada orang di antara mereka, permintaan maaf pun meluncur dari mulut merah mungil itu, dengan malu-malu, melirik kami dengan bola mata besar yang anggun. Kami bilang: "Sudahlah, gak usah dibesar-besarkan."
    "Kami terlalu asyik. Sorry."
    "Yah, sorry banget. Kau sering naik angkot ini?"
    Tentu saja. Angkot ini sudah seperti milik nenek moyang kami. Meski sering ngetem dan jalannya seperti keong. "Yep. Terlalu sering sampai tak cukup terima kasih saja."
    "Kami baru sekali ini. kau tinggal di depan situ?"
    Saat kami mengeluarkan uang pecahan seribu rupiah dua lembar untuk membayar. "Oke, duluan. hati-hati di ajaln. kalau pulang lewat dari jam delapan malam, jangan tunggu angkutan ini lagi, sebab sudah masuk garasa."
    "Ough...."

    Religius (Roro)

  • Jumat, 13 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label

  • 13


    Kami sama sekali tidak religius. Tapi kami akhirnya pergi ke Gereja juga. Gereja yang telah kami pilih untuk mengikuti Ekaristi Kudus. Maka kami membuat skenario menarik: tidur sampai pukul 6 sore, mandi, brdandan, dan pergi ke Gereja. tak banyak orang yang tahu bahwa kami sebenarnya mencari sosok Roro juga di situ. Mungkin saja ada Roro.
    "Yang jadi masalah, kita tidak tahu Roro beragama apa."
    "Tidak menjadi aral."
    Mungkin juga tidak ada Roro.
    Kami datang, diam, pulang. Tak cukup berhasil sebab kami harus melewati berikade orang-orang yang menawarkan brosur dan aksesoris, oleh orang yang kami kenal entah kapan itu. Kami juga menangkap sekelebatan teman-teman dari Kampus. Kami terkesiap beberapa saat kemudian, ketika mendengar sang Pastor mengucapkan, "terima kasih untuk Roro." Oh, wow, dimana dia? Di saat lagu penutup yang menyentak-nyentak sedang dimainkan, mata kami yang hitam melihat seorang perempuan yang sangat menarik hati. Rambutnya hitam panjang. Mata coklat. Hidung mungil. Melihat ke dalam matanya, meneduhkan sekali. Sekonyong-konyongnya kami tak risaukan lagi apakah akan bersua dengan Roro atau tidak sama sekali.
    "Kulitnya sawo matang."
    "Bersih."
    Dia berpaling, kemudian berbicara dengan 3-4 orang pemuda yang kelihatan senang sekai. 
    "Ya, memang." kami akan gembira bukan kepalang kalau bisa tahu namanya. Kami berempat saling berbicara satu sama lain--tapi sebenarnya melihat betapa mungil dan merah mudanya bibir itu.
    Langit biru tua. Awan menghiasi sudut-sudut terjauhnya seakan manusia bisa menggapainya kalau ingin.
    kami pulang dengan gegas sebab kami tak ingin bertemu orang-orang yang kami kenal. kami sebenarnya hanya ingin membersihkan ruang memori untuk wanita tadi.
    "Yang bibirnya merah muda itu?"
    "Absolutely. Jangan bodoh, siapa lagi yang kau lihat sampai bingung mau bilang apa, begitu?"
    "Banyak perempuan cantik di sana."
    "Tapi tak banyak bibir merah muda."
    "Terserahmulah."
    Dan kami makin bahagia ketika menyadari jika perempuan itu ada, Roro kemungkinan besar ada di situ. Oh, wow, kami akan sering datang ke tempat itu. Namun betapa bodohnya identifikasi serampangan seperti itu.
    "Apakah Roro dan perempuan itu satu tubuh?"
    "Kau dengar Pastor bilang Roro tadi?"
    "Ya, tapi yang kita tahu, Roro itu SMA dan sedang sibuk mengurusi Pensi."
    "Dan kita belum melihat wajahnya."
    Sampai di rumah kami masing-masing berpencar. Ada yang nonton tv, ada yang main komputer, baca buku, atau menelpon kenalan. Salah satu dari kami, Si Bungsu tiba-tiba mengatakan: "Menurutku, bagian Salam Damai adalah bagian yang bikin gregetan."
    "Mengapa?"
    "Sebab kita akan bingung."
    "Why?"
    "Sebab orang akan menjulurkan tangannya padamu tanpa menjabatnya."
    "Memangnya?"
    "Mereka mungkin porselen antik mahal, dan kita adalah martil. Tentu saja tak bisa bersentuhan dengan kuat, akan pecah satunya. Orang bersalaman seperti enggan. Aapa gunanya jika kita berdoa sambil bercerita dengan kekasih kita? Berbisik-bisik ketika orang lain sedang mendengarkan bacaan Kitab Suci?"
    Kami rasa obrolan ini sudah kelewat berat. Pela-pelan merapat di ruang tengah, pindah ke balkon dan mulai mendengarkan Si Bungsu. Kami bertiga sangat mengasihinya, meski kadang dia bikin ulah yang tidak-tidak.
    "Bolehkah kita menggelitik salah satu orang terdekat kita atau berbicara layaknya kita sedang nongkrong di ruang makan atau foodcourt?"
    Kami cemburu. sekaligus memikirkan betapa tidak tahu apa-apanya dan tidak dewasanya dan tidak profesionalnya orang-orang ini. Mungkin hal inilah yang diam-diam membuat salah satu dari kami, Si Tengah, terganggu dan pindah ke tempat lain.
    Karena kami adalah saudara dan tak mau salah seorang terpisah dari kami gara-gara sepasang kekasih atau keluarga yang kekanak-kanakan itu, kami mengatakan dengan bijaksana (versi kami lho): JIKA TIDAK BISA BERADAPTASI KAU MESTI MENYADARKAN MEREKA."
    Tapi Si Bungsu menjawab dengan geram. Kami jadi tak yakin apakah itu Si Bungsu atau roh orang yang sudah mati. "martil tak bisa membuat porselen, martil boleh menempa baja panas. Aku tak sudi ada satu tempat bersama orang-orang yang mengganggu jalan pikiran orang lain di sebelahnya."
    Dan kami gemas ingin meninju sesuatu.
    Apakah kami manusia yang baik beragama?

    Toleransi (Roro)

  • A. Moses Levitt
  • Label

  • 12


    Suatu hari--hari yang aneh, kami melupakannya--kami pergi ke luar kota. Seperti mencari-cari tetapi tidak mencari-cari sesuatu. Setengah jam berlalu, kami temukan Rumah Teduh dan Ramah itu di sebuah kompleks padat penduduk dan rumah, juga ibu-ibu muda dan bayi-bayinya. Orang dari berbagai daerah membanjiri lahan yang tak cukup menampung 100.000 jiwa itu. Nikah campur. Tanaman dan pohon buah-buahan ada di tanah-tanah kosongnya, seakan mencuri kesempatan berdiri dengan para manusia. Meski bangunan di situ, rata-rata kelihatan kecil, rendah, norak, namun rumah itu adalah tempat berdiam dengan tipikal: peristirahatan yang sosialis. selalu menentramkan dan seakan selalu menerima kita meski kita jahat sekalipun: memetik daun tanaman atau membuang sampah plastik di gotnya yang sempit namun bersih. 
    Tuan ruman ramah. Menyediakan makanan terbaik dari dapurnya seolah kami raja. Dari ruang tamu kami jika menjulurkan leher beberapa senti saja akan disuguhi mahasiswi lalu lalang, juga duduk-duduk di bale-bale bambu. Tak jauh dari situ cewek-cewek yang lebih belia menonton sebuah pertandingan bola basket, yang kemungkinan besar dimainkan oleh pacar-pacar mereka.
    "Ya, untuk apa menonton pemain basket yang bukan pacar kita?"
    "Untuk menikmati orang bermain basket, kalau kau memang punya hoby olah raga."
    Kami berempat bertengkar sendiri, sementara para cewek itu asyik menyoraki para pemain basket dan sesekali memegang handuk mereka.
    "Bau keringat."
    "Keringat pacar."
    "Tetap saja bau asem."
    "Kalau kau kawin juga, istrimu akan tetap tidur denganmu meski ketekmu bau."
    Terdiam. Buat apa bertengkar melulu.
    Kemudian seorang perempuan datang ketika pertandingan basket memasuki kwarter ke-3. Entah kenapa kami merasa dia tidak asing bagi kami. maka dengan angkuh, kami cuek padanya. Berharap dia penasaran. Sewaktu pulang malammalam, orang berbondong-bondong, datang ke sebuah rumah dimana seorang bayi telah lahir. Rumah itu tepat dua rumah di sebelah rumah kami. Dari balkon--yang sebenarnya tempat jemuran--kami lihat orang-orang datang mengunjungi dan memberi selamat. Berpikir, cepat, tergerak oleh rasa senang, seorang manusia lahir lagi menggantikan manusia lain yang telah kembali ke pangkuan ilahi, kami mandi dan ikut merayakannya. Sebagai tetangga yang paling muda dari sisi umur.
    Disambut dengan senyum dan tepukan di pundak. Khas ayah yang puas sekaligus bangga pada istrinya, kami dipersilakan langsung mencubit si bayi. Ah, tidak, kami bohong, kami dipersilakan melihat si bayi yang rambutnya kasar tapi halus... sulit menjelaskannya. Apakah dia perempuan?
    "Bukan, dia punya tonjolan."
    "Makanya jangan cepat-cepat ambil kesimpulan. Rambutnya boleh lebat."
    Kami kok selalu berdebat untuk semua hal sih?
    Segera keluar kekhasan kami: mengobservasi lingkungan. banyak hal, tentu saj yang bisa kami lihat di rumah itu. Misalnya, orang China yang beragama Katolik dikunjungi  tetangganya yang terdiri dari ibu-ibu berjilbab. Sementara kami? kami adalah empat orang muda yang sering sekali menyamarkan identitas, supaya kami lebih pede menjadi warga negara NKRI yang nasionalis. Berpura-pura tidak tahu apa agama yang telah dipilihkan orang kampung untuk kami isi dalam formulir-formulir yang birokratis dan agak menyebalkan.

    Absen Kuliah (Roro)

  • Kamis, 12 November 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label

  • 11


    Kamis.Siang yang cerah.Semburat-semburat putih salju mengisi langit, seakan merayakan kemenangan atas sesuatu. Entah kemenangan partai politik, Liga Champions atau UEFA. Dan kami begadang hampir setiap hari. Akibatnya langsung terasa: jam-jam pertama sering absen. Hal yang memperparah "absen" ini jadi akut adalah: kami mesti berganti angkutan umum beberapa kali. Karena kemalu-maluan, kami memutar otak yang tak seberapa encer ini untuk membentuk alasan yang terdiri dari premis-premis yang menyalahi logika, agar teman-teman seangkatan tidak men-cap kami: "si pemalas" yang menurut beberapa psikolog, identik dengan sifat kekanak-kanakan. Terus terang saja kami sangat anti dengan kata-kata itu.
    Mengunjungi seorang sahabat atau kerabat Ayah dulu waktu dia masih bertugas di daerah Timor Timur, membawa telinga kami mendengar nama Roro. Roro? Kerabat Ayah--yang sekarang telah dialihkan menjadi kerabat kami--ini mempunya seorang putra yang duduk di bangku SMA. Temannya adalah seorang siswi bernama Roro. Kerabat kami ini, sedikit bersungut-sungut sebab putranya keluyuran saat hujan turun begitu lebat pada suatu tengah malam bersama Roro dan beberapa siswa, "tak tahu bagaimana cemasnya orangtua", kata Si Kerabat.
    "Kemana memangnya?"
    "Ada acara Pensi atau Pensil atau apalah."
    Dan yang ikut rapat pensi itu cuma 5 orang siswa/i. 2 orang siswa dan 3 orang siswi. Roro salah satunya. Begitu kabar telepon yang muncul kemudian dari putra Si Kerabat. Tapi percuma saja mengorek info dari kerabat ini sebab dia tidak tahu sama sekali Roro itu seperti apa. "Gadis itu teman anak saya," katanya dengan tenang, tenang karena putranya sudah menelepon dan mengatakan mereka baik-baik saja, "pulang seperempat jam lagi, Pah."
    Oh, Tuhan, jadi Ibu benar. Roro memang ada. Dan dia siswi SMA.
    Di ruang tamu, sebelum pindah ke gazebo di halaman belakang, kami mulai mencatat identitas Roro.
    Roro: Perempuan.Anak SMA. Panitia Pensi di sekolahnya. Keluyuran di malam berhujan. Punya teman siswa SMA 2 orang. 
    Hasrat bangkit. Semangat mengaliri nadi kami bagai darah panas sang panglima perang menyongsong kemenangan di medan laga. Meneguk air jeruk. Mengunyah kue-kue kering. Tapi semua itu tak berasa, hambar, sebab di kepala kami hanya ada Roro dan Ibu. Ingin beritahu Ibu tentang penemuan ini. Oleh karena itu, sementara Si Kerabat masuk ke dalam rumah untuk menerima telepon penting dari perusahan ritel-nya, kami berempat bertengkar dalam pro dan kontra. Kami tak mau segera kabari Ibu, sebab mungkin Ibusudah tahu semuanya tentang kisah pencarian ini sehingga dia menyuruh kami berempat menemukan Roro. Pertengkaran kami berempat sangat mengerikan, ketika sudah sampai di rumah. semua ilmu yang telah didapatkan dipakai untuk menyerang satu sama lain. Jika dilihat dari cara pandang yang unik, kami berempat akan melihat kata dan kalimat bertaburan, melayang bagai komet, memenuhi areal galaxi rumah dengan cahaya-cahaya sesuai bobot dan kebenaran yang terkandung dalam kata dan kalimat itu. 
    Setelah lelah dan kerongkongan kering, kami buru-buru ke kulkas, berebutan balok-balok es dan mengunyahnya, lalu minum air matang dari ceret. Guyuran air dingin di tenggorokan dan perut rupanya mendinginkan tensi malam ini. Tak ada yang terluka, tak ada yang jatuh pingsan, tak ada yang punya tenaga lagi untuk berdebat. Maka, "mari kita tidur, hari sudah larut, besok kuliahnya dosen killer".
    "Itu dosenmu, anak baru."
    "Yang penting kau jangan mengeluh saja kalau dikasih seabrek paper."
    "Dasar sok pengalaman."
    "Nite!"
    "Subuh, tolol!"
    "Bahasa Inggrisnya apa?"




    Related Posts with Thumbnails

    La Musica