Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Kereta Listrik Jakarta-Bogor



Kereta Listrik Jakarta-Bogor

Kemarin, Minggu, tepat peringatan 84 tahun Sumpah Pemuda. Saya dan kekasih berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sebuah syukuran seorang kawan yang merampungkan studi S2-nya di UP. Kami berangkat Sabtu dan kembali Minggu malam pukul 7.30. Jakarta panas, Ford Fiesta hitam berhenti tak jauh dari stasiun Tebet dan kami berdua turun, melangkah dengan riang menuju peron.
Jakarta masih panas, belum ada hujan semenjak kemarin kami datang. Gerah, maka kekasih saya membeli sebuah Orange Water demi mengademkan tubuhnya. Saya tidak meminumnya sedikit pun karena saya sedang memikirkan begitu banyaknya penumpang yang menunggu di peron dan begitu sedikitnya gerbong yang tersedia menuju Bogor.
Lima belas menit menunggu, lumayan cepat, biasanya kami harus menunggu sampai lebih dari satu jam di masa-masa sebelum ini. Katanya tiap 15 menit kereta datang, dan mungkin sistem transportasi jenis ini mulai disiplin seperti di negara lain. Kami naik bersama serombongan keluarga berjilbab, ibu-ibu, yang kasihan tidak mendapatkan tempat duduk karena tempat duduk sudah dikuasai oleh pemuda-pemudi (anak SMA atau kuliahan) yang baru kembali dari kegiatan kurban sapi atau kambing. Saya menyimpan tas kami di bagasi dan berdiri tepat di belakang kekasih saya. Kaosnya sedikit basah karena gerah dan keringat mengalir di balik kemeja biru saya. Hanya 3 buah kipas angin kecil yang berputar dalam sebuah gerbong itu. AC yang bertebaran dimana-mana kelihatannya padam sehingga semua orang mengeluhkan kegerahan kecuali pemuda-pemudi yang tidur sambil menutup muka mereka itu.
            Dalam gerbong ini, dua jendela teratas telah dibuka karena kegerahan. Angin yang menghantam kencang dari luar membantu penumpang mengusir rasa jengkel karena pelayanan AC yang buruk. Bukankah penumpang kini mesti membayar Rp 9.000 untuk pelayanan macam begini?
1)   Saya tidak percaya jenis transportasi ini mulai disiplin karena tidak setiap 15 ia lewat. Ia sepertinya menunggu beberapa lama agar penumpang yang terkumpul cukup banyak; ini tidak ada bedanya dengan angkot yang ngetem.
2)   Tempat duduk di peron tidak cukup menampung penumpang yang banyak, sementara penjual diberikan kesempatan membangun lapak-lapak di sekitar peron. Apakah peron disediakan untuk penumpang atau penjual? Saya pikir pihak kereta api lebih peduli pada berapa besar “pajak” penjual itu kepada mereka dari pada pelayanan tempat duduk bagi penumpang.
3)   Di mall meski kita hanya nongkrong tanpa membeli apapun, toilet yang kita pakai gratis. Anehnya di stasiun, kita sudah membeli tiket namun tetap harus membayar kepada seseorang yang entah siapa, ketika kita memakai toilet. Saya kira yang harus mengurus kebersihan toilet adalah karyawan PT. KAI, bukannya “preman” atau orang yang suka berkeliaran di peron-peron. Apakah dari pajak toilet itu PT. KAI mendapatkan “bagian” juga? Astaga! Berapa banyak penumpang harus mengeluarkan uang untuk membiayai kehidupan PT. KAI? Tidak cukupkah dengan kenaikan harga tiket menjadi Rp 9.000?
4)   Kereta api di Indonesia sering melewati daerah hutan, kebun, perumahan warga dan tidak ada pembatas antara areal kereta api dan kehidupan warga di seberangnya sehingga sangat berbahaya bagi keselamatan penumpang dan warga sekitar. Orang bisa menyeberang dimana pun lintasan kereta api. Orang bisa melakukan sabotase juga. Yang paling mengerikan adalah orang bisa melemparkan batu ke gerbong. Dan mala mini beberapa jendela dibuka karena AC padam.
Betapa takutnya saya karena saya dan kekasih berdiri persis di depan jendela yang terbuka itu. Seandainya seseorang melempar dari seberang, melintasi jendela itu dan mengenai kami, saya yakin saat itu juga kami bisa langsung mati. Pada jendela yang tebal itu saja bisa menimbulkan ledakan dan getaran yang luar biasa, apalagi pada tengkorak kepala kami yang lembut ini? Saya menjadi paranoid dan segera menarik kerai ke bawah sebagai tameng seadanya setidaknya batu itu tidak langsung mengenai kami.
Beberapa penumpang tolol memandangi saya dengan heran dan kesal. Saya tidak mengatakan apa-apa, tapi seandainya salah seorang dari mereka datang dan membuka kerai itu, akan saya hajar dia habis-habisan. Tapi itu tidak terjadi, semua orang telalu gerah dan lelah. Beberapa orang mahasiswi di seberang belakang saya, yang duduk dengan santai, malah membuka jendela bagian atas demi mendapatkan udara dingin. Ngerinya mereka tak sadar bahwa dengan membuka jendela itu, peluang terkena lemparan makin banyak. Saya menjadi sangat marah dan hendak pergi menutup jendela itu. Tapi beberapa penumpang turun di Depok Lama dan kekasih saya mendapatkan tempat duduk. Saya berpindah ke tempat yang lebih jauh dan rasanya akan terhindar dari batu jika dilemparkan ke gerbong. Saya ingin melihat apa reaksi para mahasiswi tolol itu jika salah satu penumpang yang berdiri di depan mereka kepalanya hancur terkena lemparan batu dari luar.
Di Bojong Gede saya mendapatka tempat duduk dan mulai santai. Terjadi pelemparan ke gerbong tapi syukur bukan di gerbong kami. Tapi saya menjadi marah karenanya. Apa saya kerjanya petugas kereta api? Kemana mereka bekerja? Bukannya mereka seharusnya memperhatikan keselamatan dan kenyamanan penumpang yang terus membayar meski harga makin mahal? Kenapa mereka tidak memeriksa setiap gerbong, mencaritahu apa yang sedang terjadi. Membetulkan Ac, menutup jendela dan menghitung penumpang; sebab penumpang sudah melebihi kapasitas tempat duduk dan tempat berdiri. Hitung saja berapa jumlah penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk dan pegangan pada besi gantungan, dari mereka inilah PT. KAI mendapatkan “kelebihan” uang tiket? Wah, jika benar, kita bisa kalikan Rp. 9.000 dengan jumlah penumpang “kelebihan” dikalikan dengan jumlah gerbong. Saya kira masuk akal dalam sekali perjalanan Jakarta-Bogor PT. KAI (atau karyawannya?) mendapatkan minimal Rp. 630.000. Berapa kali perjalanan PP Jakarta-Bogor (Bogor-Jakarta)? Saya menjadi ngeri sendiri, sebab saya merasa kami para penumpang adalah orang-orang bodoh yang membayar mahal untuk sesuatu yang seharusnya kami bayar sangat murah.
Kita bisa bandingkan, di mall meski kita tidak membeli satu pun benda murah di situ, toilet mewahnya tetap gratis. Nah, kenapa di stasiun, kita sudah membayar tiket, tapi kita harus membayar toilet lagi; dan toilet itu jorok minta ampun, ada “preman?” yang berkeliaran, duduk-duduk di depan toilet? Ah, kenapa kita tidak memilih suatu hari untuk naik kereta api tanpa membayar? Kita semua sepakat dan tidak membayar. Atau kita demo di stasiun saja?


Mordechai Levitt

Adakah Anak Punk Era Soeharto?



Adakah Anak Punk Era Soeharto?

Saya lahir akhir tahun 85, jadi saya masih sesedikit merasakan seperti apa pemerintahan presiden Soeharto pada era Orde Baru. Di kampung saya, Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Pertanyaan untuk jawaban ini tidak pernah tidak muncul dalam ujian PMP dan IPS. Menariknya kami anak-anak kampung senang menulis jawaban pertanyaan ini sebab kami tahu jawaban ini akan mendongkrak nilai kami karena beberapa pertanyaan lain terlalu sulit untuk kami jawab.
            Selain menjadi Bapak Pembangunan, Soeharto juga terkenal dengan “Inpres”nya. Bagi masyarakat desa yang kurang mampu, diberi bantuan berupa ternak gratis bernama “babi banpres”. Bagi masyarakat yang masih berdagang di pinggir-pinggir jalan, dibangunkan “pasar inpres”. Bagi kami anak-anak yang tidak cukup nilai dan uang untuk bersekolah di sekolag swasta dan negeri, didirikan “sekolah inpres”.
            Banyak hal indah yang saya dapatkan selama era Orde Baru. Ketika itu, keamanan masyarakat benar-benar terjaga. Jarang pemuda atau polisi minum arak dan melakukan keributan. Jarang terjadi pengrusakan, penjarahan, pembunuhan, pencurian, dan tindakan kriminal lainnya. Karena apa? Saya tidak begitu paham. Tapi menurut desas-desus di kampung, presiden Soeharto seorang jenderal TNI dan ia sangat tengas menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Di kemudian hari baru saya pahami bahwa keamanan dan ketertiban sangat penting, bahkan lebih penting dari apapun ketika sebuah negara ingin membangun, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, presiden Soeharto menyingkirkan semua “ketidaknyamanan” dari jalanan agar masyarakat boleh bekerja mencari uang dengan tenang. Di kemudian hari baru saya membaca bahwa para era Orde Baru ada yang namanya Petrus—penembak misterius—yang bertugas mengamankan negara dari gangguan tidak perlu secara internal. Orang-orang lelaki bertato dihabisi. Kriminalitas bungkam. Preman-preman di pasar dan terminal kabur. Kehidupan menjadi kondusif. Masyarakat merasa tidak takut ketika berada di tempat umum.
            Lain halnya sekarang. Saya melewati era Repormasi, kemudian era ini dan itu. Presiden berganti-ganti. Globalisasi. Modernisasi. Kuliah selesai. Tinggal di Jakarta semakin sempit. Dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di Bogor. Tapi karena saya orang yang patuh hukum, saya belum bisa membeli motor karena KTP Bogor saya belum saya urus. Jadinya untuk melakukan pekerjaan saya, saya menggunakan angkot yang banyaknya minta ampun di Bogor ini. Saya berangkat pukul tiga sore dan kembali pukul delapan malam. Dalam perjalanan ini saya harus melewati Terminal Baranang Siang (lewat belakang) dan Tugu Kujang.
            Di daerah Padjajaran dan Regency, saya sering terganggu oleh pengamen yang dekil, bau, dan tidak tahu bagaimana mengintertain penumpang, tapi tiba-tiba meminta uang. Kebanyakan mereka adalah anak-anak usia SD dan SMP. Sebagian besarnya perempuan. Mereka bahkan tidak bisa disebut pengamen karena hanya meminta-minta sambil menebarkan amplop kumal. Saya pernah melihat seorang wanita cantik, dengan pakaian kinclong, tidak mau menerima amplop itu. Tentu penumpang lain melihat itu sebagai sikap sok, sombong, tapi saya melihatnya lain. Saya kira amplop itu entah sudah berapa ratus kali diedarkan, dan berapa tangan kotor dengan kuman penyakit telah menempel di sana. Ah, sinting, masak hanya untuk dua ratus atau lima ratus rupiah, seorang perempuan cantik dan kinclong seperti itu harus kena sakit dan mati?
            Ini bukan soal pembedaan kelas sosial. Ini bukan soal kaya lawan miskin. Karl Marx yang Yahudi Kripto itu telah merusak konsep masyarakat tentang kelas sosial. Tentang pemilik modal melawan proletar. Sebenarnya itu hanya omong kosong Zionis mereka. Saya adalah proletar karena saya bekerja pada seseorang dan dia membayar saya karena saya melakukan sesuatu yang tidak bisa dia lakukan. Apakah dia dengan begitu menjadi majikan dan saya menjadi budak? Tidak, saya bahkan bisa tidak datang untuk bekerja dan orang itu tidak membayar gaji saya untuk hari itu. Tidak ada cambuk, tidak ada penghinaan. Tak ada pemisahan kelas. Bayangkan kalau saya harus memacul kebun dan menghidupi diri saya dari itu? Berapa lama saya butuhkan untuk mengisi perut saya? Saya keburu mati sebelum musim panen datang. Karl Marx sialan! Entah sudah berapa juta orang mati karena teori “titipan” dari Iliminati itu. Malah Karl Marx yang memisahkan manusia berdasarkan kelas dan membuat mereka saling membunuh.
            Saya mulai bertanya-tanya, apakah itu juga yang terjadi di Indonesia, di Bogor ketika makin maraknya sebuah komunitas bernama Punk? Saya menyebut punk di sini khusus untuk mereka yang beratribut punk dan mengamen. Ada banyak punk yang saya kenal, mereka berjualan dan membuka usaha tato. Mereka dalah punk putih bagi saya karena tidak “mengganggu” pemilik modal tapi bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Sedangkan yang saya sebut punk hitam adalah mereka yang mengamen di belakang terminal Baranang Siang dan Tugu Kujang. Mereka meresahkan masyarakat. Mereka bertato, tidak mandi, dan kadang mengamen dalam keadaan mabuk. Uang yang mereka dapatkan digunakan untuk membeli rokok dan alkohol?
            Apa manfaat kita memberi mereka recehan?
            Kita pikir untuk memberi mereka makan dan minum yang layak?
            Polisi dan Pol PP yang ada atau sekadar lewat di situ seakan tidak peduli pada punk ini. Padahal semua orang tahu punk hitam ini mengganggu kenyamanan pengguna jalan dan pengguna kendaraan umum. Mereka berteriak menyanyi ketika seorang penumpang sedang menelepon atau menerima telepon penting? Mereka menyanyikan syair-syair yang menghasut supaya masyarakat melawan pemerintah? Mereka bertato dan mabuk sambil merokok di dalam angkot? Mereka memilih angkot yang banyak penumpang perempuannya agar bisa diintimidasi? Lalu mereka memarahi penumpang jika penumpang sedang sibuk mendengarkan earphone, membaca koran, membaca buku atau sedang tidur? Apa urusan mereka? Apa hak mereka?
            Dan siapa yang peduli?
            Polisi yang disebut penjaga ketertibab masyarakat?
            Saya teringat era Soeharto. Seandainya saya punya kemampuan untuk menghalau punk hitam ini, akan saya lakukan sekarang juga. Sebelum hal-hal buruk terjadi. Bagaimana kalau tiba-tiba punk hitam ini marah karena sudah menenggak alkohol dan memakai narkoba? Ketika sedang panas ini mereka menyerang penumpang di dalam angkot yang tidak memberikan recehan? Astaga! Hanya karena recehan, seseorang mati di tangan punk hitam? Seandainya saya seorang polisi PP, Polantas, anggota TNI, saya akan minta kepada punk hitam yang mengamen ini untuk berhenti mengganggu anggota masyarakat lain. Negara ini butuh aturan tentang keamanan dan ketertiban masyarakat yang lebih spesifik. Memang tidak pantas lagi saya meminta dibentuknya Petrus lagi. Tapi saya tetap percaya bahwa suatu badan khusus diperlukan untuk menyingkirkan punk hitam ini dari jalanan. Hukum harus tegas. Kalau perlu yang mengintimidasi anggota masyarakat lain, langsung dibuang ke penjara.     Mereka harus diberi tempat khusus untuk mengasah bakat mereka yang lain. Misalnya bekerja di bengkel kayu dan mesin milik pemerintah.


Rav Mordechai
Related Posts with Thumbnails

La Musica