Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Introduksi

Blog ini mengemas NEWS, PROSA, PUISI, dan CERITA-SEKITAR-KITA. Sebagian besar berisi berita yang "Tidak Mengenakkan Dalam Masyarakat". Alasannya adalah supaya para pembaca tidak ikut-ikutan menjadi Orang Indonesia yang "Buruk". Kita sudah bosan dengan kerusuhan, konflik, entah atas dasar SARA atau Intervensi Asing, jadi marilah kita lindungi diri kita dari orang atau kelompok yang "Menginginkan Keburukan Terjadi Dalam Negeri Kita Ini".


_Asah Terus Penamu_





WeDaySupport

Tamu Wajib Lapor










hibah sejuta buku

Pelarian+Perempuan (Roro)

  • Kamis, 29 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label

  • 9.


    Dari Situ juga kami yang tolol, tahu satu hal: bahwa kami yang gurem ini akan didekati perempuan-perempuan modern itu ketika orang-orang mulai berpisah dari mereka dengan sengaja--mereka berbuat seolah-olah tertarik gila-gilaan pada kami. Seperti cinta Ibu pada Bapak yang sawo matang, brewokan, dan giginya agak sedikit kotor sebab perokok berat, sedangkan Ibu, halus dan manis. Jika sedang berpelesiran, Ibu sering dikira kakak sulung kami. Jadi kami tak perlu menaruh curiga, tapi kami curiga juga pada perempuan ini. Kami katakan pada diri sendiri," perempuan yang hebat ini akan mencintai kami apa adanya", namun ternyata mereka mendekati kami karena kami kebetulan berada di situ. Dipilih secara acak dari sejumlah orang lugu bertampang tolol, dan karena si perempuan tak bisa hidup tanpa laki-laki yang selalu menyanjungnya--dia mendekati kami. Dan kami terpaksa mencari sosok Roro di dalamnya. Tak tahulah kami, apakah sudah menemukan sedikit atau belum sama sekali. Tak tahulah. Bagaimanapun kami mencari Roro. Sebab kami yakin? rasa sayang kami padanya lebih dari sekian banyak kenyataan di bumi ini.
    Lelah, kami lelah, padahal pencarian Roro tak bisa berhenti sampai di sini. Kami sudah memilih untuk mulai...Lelah, kami ingin tidur di samping Roro, namun bawah sadar kami termodifikasi. Dalam mimpi kami, patria, sosok perempuan familiar sekaligus asing datang. Setelah berdebat panjang lebar dan lelarian kesana-kemari, kami terlelap di sisi Patria. Rasanya damai sekali ketika tangan memeluk keseluruhannya yang halus dan sejuk. Kami melambung bahagia, hingga subuh merekah, sosok Patria jadi jauh lebih nyata dari pada Roro. Mungkin kami harus memilih menemukan sosok yang mana lebih dahulu. Roro atau patria...
    Sesungguhnya kami tak ingin Ibu tahu soal hal ini. Dia mungkin akan mencaci maki kami dengan nasihat jika kami terombang-ambing. Tapi sepenting apakah Roro ini, Ibu????

    Aborsi+seks (Roro)

  • Selasa, 27 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 8.


    Sebagai mahasiswa baru yang kampungan dan lugu, semberono pula, kami akan mudah di makan di kota besar ini; dengan ide-idenya yang baru atau keseluruhannya yang kuno. Dalam pencarian kami atas sosok bernama Roro, sampailah kami di dunia ini. Seorang diri. Orang aneh. Duduk pada sebuah warung kopi di trotoir dan membaca buku berat, seolah-olah pemikir yang jenius. Padahal jika diperhatikan dengan saksama, tampang kami tak mendukung sama sekali untuk menjadi sosok jenius. Dekil, tak bisa disamakan dengan mahasiswa yang lain, apalagi para mahasiswi, yang kelihatannya pintar, menarik dari segi fisik, stylist, gaul, berwawasan tekno dan jago party. Juga tak jarang, lengkap dengan frasa "mapan" dan bertato.
    Kakek kami misalnya punya banyak tato sebab menurut kepercayaan budayanya, tato adalah lambang status sosialnya dalam masyarakat adat dimana dia beberapa kali menang perang, menyelamatkan anggota sukunya, berburu binatang liar, dan menikahi banyak wanita dari suku-suku kecil dalam rangka hubungan diplomatik.
    Kakek cinta pada nenek-nenek kami dan dari merekalah kami ada. Mewarisi kekolotan dan pencarian atas sosok Roro yang dititipkan mereka pada Ibu. Nenek-nenek kami bertato juga beberapa, sebab mereka adalah putri sulung dan adat mewajibkan itu. Kata nenek-nenek kami, "melakukan ritual tato itu beratnya minta ampun. Kakek kalian juga tetapi dia terlalu angkuh untuk mengakuinya. Misalkan saja, sebuah tato di masing-masing tulang kering..." Bukankah sangat menyakitkan? Memikirkannya saja, air mata kami meleleh...(boong).
    Perempuan seperti itulah yang kami temui di siang ini. Langit cerah pertanda petang sebentar hujan lebat hingga tengah malam. Kini kami menjadi satu tubuh saja. Perempuan itu duduk di samping kami, pada sebuah bangku panjang namun dia seperti menempel pada sebelah lengan kami. Sama-sama tak tahu nama dan sebagainya, kami berbagi cigarette dan cerita yang timpang, sebab kami tak bisa membeberkan banyak hal kepada perempuan yang asing. Sebab dia bukan Ibu, Nenek, atau Roro. Sedang Roro mungkin adalah dalam Nenek, Ibu, dan perempuan ini, atau perempuan yang banyak di tangga kampus sana. Kami bertanya-tanya:
    "Apakah Roro seperti perempuan ini?" Kami memang tertarik secara fisik, tak lebih, karena kami tak punya ketertarikan cinta padanya. Lagipula perempuan ini bukan Roro--sebab kami sama-sama belum kenalan, tak tahu namalah.
    ...orang-orang mengelilingi kami, bicara heboh sementara kami diam membisu. Sesekali menggerung, sebab kami tolol dan tak pernah bisa menjadi seperti mereka. Kami memaknai semuanya secara primitif. Misalnya ketika kami tahu bahwa wanita asing ini suka kopi-susu, cigarette, bergaya, akting, dan sebagainya dan sebagainya...apalagi berani menghilangkan SIM dan STNK seorang mahasiswa (berwajah sungut) yang ternyata sudah beristri dan beranak, yang katanya,
    "Gw belum pernah menjamahnya sekalipun. Sumpah." Demi Tuhan? Dia tak bilang itu. Jadi kami sangsi pada dua orang ini, seperti yang Ibu ajarkan kepada kami,
    "Perempuan yang berbicara banyak tentang laki-laki adalah perempuan yang tak boleh kalian dekati."Sebab mereka iblis dan pendosa? "Tidak, mereka bukan iblis dan pendosa. Hanya saja, alasan praktisnya, mereka cenderung mendatangkan masalah bagi diri sendiri."
    Bagaimanapun juga kami tak ingin Roro seperti ini. Hal yang membuat kami sedih dan tambah konyol. Bloon.
    Kami kembali ke rumah.
    Pikiran melayang kemana-mana. Akibat kuliah, cerita, dan kisah-kisah simpang siur yang baru saj kami dengar. Kami jadi berpikir: apakah benar cerita-cerita itu? Bisa saja si cewek benar dan si cowok takut disalahkan. Takut ketahuan istri dan keluarganya? Betapa kasihan orang berdua itu. Apalagi aborsi?
    Sebab setelah si mahasiswi bertato pergi, laki-laki berwajah sungut itu bergumam pada teman kribo di sampingnya: "Dia bilang ke semua orang kalau gw tidur sama dia. Sentuh ujung rambutnya saja gw gak pernah apalagi...dia bilang mesti aborsi anak gw...perempuan kurang ajar itu."
    Oh, Jezz, untuk mendapatkan kami saja, Bapak dan Ibu harus menunggu dengan tabah selama tujuh tahun yang melelahkan. Kakek dan Nenek sampai mengeluarkan nasihat dan mantra-mantra mereka. Semua cara dicoba: dari dukun beranak, orang pintar tapi bodoh juga, dukun putih (dukun hitam malah kami nanti lewat), ramuan tradisional, mimpi, pratanda, pantangan mengejek orang cacat, membunuh binatang, mengunjungi tempat-tempat keramat (yang sudah disucikan oleh agama tertentu setelah diusir setannya...kami tidak percaya), menyimpan air, tanah, batu, kembang, pasir, berdoa dan lain sebagainya. Sayangnya, waktu itu, jaman itu, mereka tak tahu mengenai bayi tabung, suntik sperma, adopsi dan panti asuhan, suntik kesuburan, kloning, dan seterusnya dan seterusnya.
    Memikirkan percakapan di warung kopi tadi siang, memutarnya kembali di benak kami, sambil menonton tv, rasanya menakutkan sekali. Campur aduk perasaan. Omong kosong. Tai kucing orang-orang itu. Bagaimana bisa mereka begitu muda dan seorang mahasiswa tapi melakukan tindakan yang tolol seperti itu? Semoga salah satu dari kami tidak keceplosan ngomong sama ibu kalau Ibu menelepon dan menanyakan pengalaman kami, pengalaman pencarian kami atas sosok Roro.

    XII. Masalah Kematian

  • Senin, 26 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • Novirya benar-benar panik. Sejak kecil sampai setua sekarang ini, dia ternyata belum dipersiapkan untuk menerima kematian seorang kekasih. Setidaknya, baginya, kematian di dalam keluarga ayah-ibunya ternyata dengan sangat wajar--tua dan mati. Namun kepergian Makelais membuat Novirya bingung, mata rasa, dan putus asa. Berulang kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dirinya tidak tinggal di dunia ini. "Duania ini tak nyata. Semua ini tipuan. Bagaimana Elloc bisa membiarkan ini semua terjadi? Bukankah Dia yang menjadikan kami semua? Apakah Dia sidah kehilangan kemahakuasaannya sehingga tak mampu mempertahankan kehidupan suamiku? Aku tak percaya lagi padanya. Aku tak percaya pada kemahakuasaan Elloc."
    "Ibu, sudahlah Ibu. Jangan berkata seperti itu," pinta ketiga putrinya ketika mereka sedang berada dalam kamar Sallugrun. Namun serapat apapun pintu dan jendela. Setebal apapun dinding Rumah Batu, berita tentang hujatan kurang ajar Ibu Suri pada Elloc telah tersebar di kalangan para bangsawan. Para pelayan dengan sendirinya mendapatkan desas-desus itu dari sejumlah orang yang kelihatannya suka membocorkan rahasia istana.
    Sementara itu, Sallugrun baru tidak mau mengambil tindakan apapun bahkan untuk sekadar berkunjung ke kamar ibunya. Komunikasi terputus antra ibudan anak. Timbul dua blok. Blok pro-Manelais dan blok kontra-manelais. Sementara jasad Sallugrun Makelais mulai bau, dibalsan agar awet. Efon dan sembilan belas tabib lainnya mengerjakan ramuan demi menyamarkan efek racun Anarzenif Brag. Tapi tentu saja sengat racun tentap membiru dan meng-ungu-kan leher dan sebagian rahang jasad. sang Ibu Suri tak mau melihat suaminya. Dia berniat bunuh diri dengan minum racun yang sama pada hari pembakaran kekasihnya. Seandainya Ibu Suri meminta racun itu, tentu saja dengan senang hati akan diberi, namun Sallugrun baru memerintahkan pada semua orang di dalam kompleks istana agar menjaga Ibu Suri dengan nyawanya sendiri. Bila terjadi sesuatu terhadap Ibu Suri, "Penggar kepala seisi rumah, hukuman bagi siapa yang mencelakainya."
    24 anggota Dewan Klan tetap dengan setia menjalakan aturan dan mendukung Sallugrun baru. Meski begitu, 3 dari antara 24 orang Tetua itu menyuarakan agar Ibu Suri meminta maaf pada Elloc dan menarik kembali perkataannya di hadapan umum. Perdebatan terjadi 3:21. Kemudian setelah 1 jam berdebat, kubu pro menjadi 10 orang dan kontra 14 orang. Sekarang Dewan Klan menunggu keputusan dari Sallugrun. Parasit-parasitnya, penasihat-penasihatnya berbiacra dengannya selama 10 menit waktu rehat dan itupun tidak membuahkan hasil, membuat Sallugrun mengambil keputusan. baginya, "Sekarang bukan waktu yang tepat. Memang semua ini serba kebetulan. dan kita harus membereskannya satu persatu. Ordys akan kacau dan siapa yang bisa menjamin Balaium, Hazdam Amballat, dan Illyrium tidak akan menarik dukungannya lebih banyak lagi secara terang-terangan dan meminta kemerdekaan?"
    "Yang Mulia berbicara di luar konteks. kami mendukung Yang Mulia dan oleh karena itu, tak ada satu kota dan desa yang akan melakukan separatis. untuk itu, sebaiknya kita hanya meminta Ibu Suri meminta maaf di depan para Chief saja. Rakyat Ordyz tidak boleh dikejutkan dengan banyak berita tragis sekaligus," kata wakil klan dari Baleium.
    "Jadi apa yang menurut kalian lebih dulu dilakukan?" tanya manelais, merasa dirinya dibuat sulit oleh orang-orang tua bau tanah di depannya ini.
    Seorang wakil klan dari Illyrium berdehem, kemudian bicara, "Yang Mulia pertama-tama harus mengumumkan kematian Sallugrun makelais. Rakyat Ordys berhak tahu, bahkan seluruh penghuni tanah Ellezmaior harus tahu. Kita telah mengabaikan sejumlah Ritus nenek moyang demi entah apa ini."
    "Jadi kau pikir aku bersalah telah melanggar Ritus? sekarang, aku bertanya pada kalian semua. Apa sebaiknya yang mesti kita lakukan setelah rapat ini," kata Sallugrun baru dengan suara lantang, terkesan membentak dan memprovokasi.
    "Yang Mulia. kami hanya ingin Ritus dijalankan dalam situasi khusus ini. Itu demi kebaikan Ordys dan Yang Mulia sendiri," terang wakil klan Amballat.
    Kenyataan bahwa wakil-wakil klan dari 3 kota besar dan penting di Ordys Rexare adalah pendukung Ritus, dan loyal pada Sallugrun Makelais, menggentarkan Manelais. Namun kesombongan dan kerakusannya membuat dia buta dan terus memperuncing keadaan. Dia berkeringat, mengerutkan keningnya dan menatap satu persatu wajah tua anggota Dewan. Sepuluh orang pendukungku dari tadi kemana saja? Ini diam-diam membuatnya khawatir. Apa yang sedang dirancang orang-orang ini? Apakah mereka akan membelaku sampai akhir? Atau mereka akan berpaling kepada tida kota besar itu dan menusukku dari belakang? Manelais tidak ingin berakhir seperti ayahnya. Dia akan menguasai seluruhnya, sendirian, dan dia tahu siapa atau apa yang akan mendukung itu. Dia tersenyum dan bergumam, "Besok pagi, keputusan akan keluar dengan Cap Istana. Kalian semua pulanglah dan beristirahatlah. Upacara Kematian akan dilaksanakan besok siang. Rapat selesai. Terima kasih."
    Manelais bangkit. berjalan diiringi penasihat dan penjaga Rumah batu, sambil memikirkan satu nama: Soddik.

    Single+Man (Roro)

  • Jumat, 23 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 7


    Kami adalah kumpulan tai kuciang. Kesendirian kami adalah kutukan di zaman post-mo ini, namun kami yakin ada kejeniusan di zaman nanti. Meski kami selalu pulang ke rumah dan mencela orang-orang yang kami jumpai di jalan di luar sana, kami menghargai orang-orang yang talk less do more: tapi bukan soal korupsi (KKN), kejahatan, dan cinta yang birahi melulu.
    Sekarang kami berdiam di rumah, dari hujan yang lebat kami berlindung. Dari mata-mata yang mengadili kami berlari. kami memang tidak menyukai banyak hal. Salah satunya aalah agresifitas yang jahat. Oleh karena itu kami dipandang tidak solider pada teman-teman jauh, sebab misalnya kami tak menghadiri sebuah acara reunian atau mendukung teman-teman yang telah sukses pada salah satu level kehidupan. Kami berharap, waktu akan membasuh semuanya hingga jernih. Sebab kami hanyalah tai kuciang, yang kontigen, yang tergantung kebutuhan. Kami semestinya bukan penulis cerita kehidupan yang normal dan indah-indah. kami adalah kumpulan aneh yang melenceng. Tapi kami yakin, cat kami masih terang dan basah, sebab kami dengan berani menentukan diri untuk menjadi orang hebat atau pecundang yang banal.

    Kisah+Cinta (Roro)

  • Rabu, 21 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • 1.


    Roro, nama yang asing nun jauh di sana. Pelajaran sejarah dari buku cerita rakyat mengabadikannya. Kami semua ingat siapa Roro Jongrang. Tapi jika kau tanya pada adik-adik kami, mereka tak tahu. Bahkan nama GajahMadah mereka sematkan pada ketua geng sekolah, disejajarkan dengan kartosuwirjo dan Andy Aziz. Memang adik-adik kami dengan mudah melupakan sejarah. Hanya pada kami semboyan, "Jas Merah" jangan sekali-kali melupakan sejarah-nya Bung Karno masih tetap tinggal, terpaku mat, bagai darah yang mengalir di nadi kami sendiri. Namun kami membayangkan jika bertumbuh besar nanti, adik-adik kami akan mengenakan jas berbagai warna sebagai lambang kepintaran, yang menurut kami, tak lebih dari kerbau. Di Tana Toraja, kerbau atau tedong sangat mahal dan sakral, tapi di demonstrasi jalanan, kerbau hanyalah massa yang anonim. tak masalah jika satu disembelih dan ditembaki gas air mata.
    "Sebab mereka mengganggu ketentraman dan kesejahteraan masyarakat umum," mungkin begitu kata paman kami yang polantas, Melkianus.
    Kami sendiri setuju jika pemerintah lebih mengutamakan mayoritas daripada minoritas yang anarkhis. Betapa tidak, Ibu kami yang berjualan di sebuah ruko di kabupaten kami, dilempari dan luka-luka lalu menutup rukonya yang menderita rusak-rusak sebab massa demonstran sedang lewat di depannya dan sedang adu-kuat dengan aparat keamanan. Ibu kami menangis habis-habisan sebab uangnya untuk menyewa ruko itu dipinjamnya dari bank berbunga besar. Dia tidak peduli kalau ada salah satu pendemo yang mati, meskipun itu seorang mahasiswa/i yang cakepnya minta ampun. Mereka itu kerbau bagi Ibu kami, dan bagi kami juga.


    2.


    Berjalan di jalan aspal, tengah malam, sehabis hujan, dengan tas berisi buku-buku mahal, tidaklah selalu menyenangkan. Meski kami merasa sudah kebal dengan pandangan orang-orang dari atas kendaraan roda empat buatan luar negri, dari resto mewah, atau mungkin kami kebal dari genangan air, kendaraan yang mati-matian lewat di pinggir jalan, memakan pedesterian (fuck-you!) sampai kami kecipratan lumpur atau hujan turun lagi...sampai di rumah, kami akan segera merasa bahagaia kembali 100%.
    Sebab banyak yang bisa dilihat sepintas: geng motor sedang nongkrong, orang main catur atau remi, orang kencing di halte yang tidak ada lampunya, atau orang bermesraan; fakta yang perlu kami catat, nyaris semuanya ada perempuannya, cantik pula.
    "Apa benar syair lagu malaysia itu? yang cantik lahir dari lumpur," kami berdiskusi panjang lebar tentang pokok permasalahan ini. Berakhir dengan hollyshit dari si sulung, Alesis.
    Tukang ojek bisa mengantarkanmu, tapi jika terlalu larut, mereka mesti pulang dan kau terpaksa berjalan kaki ria. Berbuat seolah-olah sedang menikmatinya. Oleh karenanya, kami kira, Roro mungkin cuma dua kali mengalami hal semacam ini dalam hidupnya. Sebab namanya itu menunjukkan statusnya. Meski tak asing, dia terasa nun jauh di sana. kami berharap bertemu dengan seseorang yang bernama Roro. Roro Mendut?
    Ah...ini karena Ibu kami yang meminta..."Cari seorang perempuan bernama Roro."
    Aapakah Ibu kami sudah pikun? atau gila? atau sedang mengerjai kami?


    3


    Bertahun-tahun kemudian baru kami tahu Roro itu seperti apa. Setelah sekian lama menghilangm Roro menelpon di Minggu pagi tahun 2007. Ribut-ribut di latarbelakang. Meski ada getaran itu, rasanya pelan-pelan mulai pudar. Sebab kami merasa cinta kami pada Roro terbuang percuma. Mungkin kami yang bersalah, mungkin juga tidak. Kata Roro, ada seorang teman yang telah lulus S-2 mau membuat syukuran atas keberhasilannya. Kami langsung teringat: mantra, tetua yang pakai sarung dan pakaian adat, sesajian yang ganjil-ganjil, dan orang berjubel. Mungkin ada tariannya, tapi tentu saja alkohol tak ketinggalan menemani, juga cigarette. Kami sedikit merasa berdosa, meski sudah berjanji pada Ibu dan Ayah bahwa setelah kuliah, kami berhenti isap cigarette. Padahal orang-orang mulai mengisap candu itu saat kuliah sebab menurut undang-undang negri ini, umur kala di bangku kuliah sudah mencukupi. Tapi sekali ini kami beda sendiri.
    Seperti yang telah beberapa kali kami lakukan, kami pastikan dulu Roro datang ke acara itu pula. Kami berniat sungguh ikut, namun alam tak bisa diajak kompromi. Hujan turun dengan ganasnya sampai pukul 21.00. Kami batal pergi dan menunggu dengan was-was di depan telepon. Roro atau yang lainnya akan menelepon untuk memeriksa kami datang atau marah-marah. Tapi tak ada. Kami lalu berpikir: mungkin acaranya ditunda minggu depan. Padahal kami itu ingin sekali bertemu Roro. Melihat dan memastikannya baik-baik saja. Tapi kami kadang harus menahan hasrat sebab kami punya prinsip untuk mengambil jarak dari teman-teman lama. Berbuat seolah-olah kami bisa hidup tanpa memikirkan mereka. padahal kami juga sering menunggu di depan telepon, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang, dan diam-diam berdoa agar Roro dan teman-temannya menepuk bahu kami dan bilang, "HEY!"
    Sebab kami merindukan mereka. Sebab kami tak bisa mengatakannya. Sebab kami sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan mereka semua. Mungkin juga karena salah satu dari kami cemburu buta. Sementara salah satu dari kami terobsesi jadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya yang heboh sendiri. Terlalu banyak menghayal. Terlalu banyak minum kopi dan mengisap cigarette (sekarang diminimalisir dengan mengatakan pada diri sendiri dengan malu-malu mau: "aku hanya merokok bila ada yang menawarkan.")


    4


    Roro mungkin senang dengan keputusan ini, mengingat cita-citanya menjadi seorang juru rawat sangat mulia, menolong banyak orang yang sakit dan menderita secara psikis: (bapaknya, anak-anak tak mampu, dan kalau beruntung, kami). Memikirkan itu, salah satu dari kami berkata, "Seharusnya hari ini aku menemui Roro biar kuatanyakan semua kabar tentangnya." Aapakah dia masih berniat jadi perawat medis? Aapakah dia sedang mengerjakan proyek besar-besaran? Aataukah dia sibuk berpacaran dan sering jalan kemana-mana?
    Tapi kami tak jadi pergi...


    5


    Kami bangun pagi Senin itu, jam 09.15. Ibu pasti akan mengomel jika tahu kami telat bangun seperti ini. Salah seorang menceritakan mimpinya yang panjang dan berbau hayalan.
    "Setelah aku pulang berlibur ke rumah, keluargaku jadi berubah aneh." Dia pergi ke party malam-malam, pulang subuh bersama seorang sepupu dan sempat mencari buah mangga yang jatuh di halaman orang. Tak ada. Si sepupu masuk ke dalam rumahnya. Salah seorang dari antara kami itu bertemu dengan adik kami yang cewek, yang langsung memeluknya sambil berjalan dan bercerita. Adik kami yang paling kecil sedang bermain-main di parit bersama teman-temannya, yang memukul mukanya dengan buah pepaya setengah matang, ketika mereka sampai di sebuah gang sempit yang menuju ke rumah, datang segerombolan perempuan yang marah-marah.
    Mereka itu tahu sesuatu yang tak diketahui salah satu di antara kami ini. menjalani gang itu sampai seperempatnya, baru tahulah dia bahwa Ibu bertengkar dengan Ayah dan Ibu pergi dari rumah. Ayah kami ada di rumah seorang tetangga yang masih kerabat, sedang meminta Ibu pulang tapi wanita ramping itu lebih memilih cerai.
    Salah seorang dari kami itu menangis sejadi-jadinya. Dia tak sanggup menghadapi kemungkinan ini. Dia dan adik kami berjalan ke samping rumah. Di situ dia menangis lagi. Semua orang sedang menontonnya. Dia tak bisa tahu apakah para penonton itu bersedih atau tidak. Dan dia berniat membunuh Ibu, bahkan berpikir untuk mengajak Ayah memutilasi Ibu.
    Setelahnya...katanya, "Aku mimpi memutilasi semua hal. Dari kucing sampai alat kelaminku sendiri."
    Kami semua tertawa, lalu hening, ngeri. Apakah Ibu akan bercerai dengan Ayah?
    Semoga tidak. Ya, Tuhan, semoga tidak!


    6


    Kami berkumpul di rumah Remuel dan dia menceritakan kisahnya yang bagi kami tragis, sebab sampai kini dia masih jomblo dan anti terhadap laki-laki yang berbuat seperti perempuan. Pokoknya laki-laki yang tidak tegas. Dari Remuel kami tahu bahwa setelah fitnes, dia pulang dengan angkutan umum. Di dalamnya ada sepasang anak SMA lengkap dengan pakaian sekolah, asyik bermesraan seperti sepsang suami-istri. Kemudian setelah beberapa tikungan, naik sepasang orang kantoran yang langsung bermesraan, sama infantil-nya seperti bocah-bocah SMA tadi. Seorang ibu tua berjilbab naik dan langsung tertidur. Angin dingin, obrolan di angkot berbau cinta melulu yang sangat primitif. Ramuel yang jadi stres sendiri ingin mengisap cigarette tapi dia mengingatkan dirinya bahwa dirinya baru selesai fitnes. Setan. Akting pun di mulai.
    Wanita berjilbab dan bercelana bahan halus itu adalah wanita bertubuh kecil dengan wajah sempit, mungkin juga otaknya, berhadapan dengan seorang laki-laki kekar dan macho...dalam hati Remuel berbisik, "rugi banget gue fitnes, nah ni cowok yang kebagian gelembung-gelembung ototnya." Tapi kemudian Remuel bisa bernapas dengan lega, "sayang, cara bicaranya tak lebih dari sepupu kami yang banci dan sekarang pasti sedang sibuk mengeriting rambut orang di salon bunga-bunga."
    Si cewek terus bicara. Sok bijaksana. Sok tahu begitu pula si cewek yang manja. Sama manjanya seperti sepasang anak SMA di sebelah mereka. Kami dengarkan saja cerita Remuel sambil cengar-cengir. Setan! Si cewek memanggil dirinya sendiri, "bunda" dan si cowok menamai dirinya sendiri, "AA atau ayah?" Meski sebenarnya dia bernama Adit.
    Oh, kami mulai sentimen mendengar Remuel menyebut nama Adit. Semoga kami bertemu dengan dia di angkutan umum dan kali itu kami akan mendominasi pembicaraan sampai dia kepengen muntah-muntah lintah dan turun, seperti yang dialami Remuel saat ini.
    Remuel melanjutkan ceritanya meski dia benci cerita itu. Si cewek "bunda" itu merasa bangga sebab "AA" memilihnya sebagai kekasih, padahal AA waktu itu suka pada beberapa cewek sekaligus dan menolaknya mentah-mentah. Remuel agak gembira di bagian ini. Si AA rupanya trauma pada sesuatu dan Bunda dengan perhatiannya berhasil meluluh-lantakannya meski kebanyakan cowok segan dekat-dekat dengan Bunda yang selalu mengenakan jilbab.
    Remuel bertanya pada kami, "Seakan cewek berjilbab menjadi jaminan untuk kepositifan dalam segala hal?"
    Remuel menyuruh salah satu dari kami membuat teh untuknya. Kami memilih kopi hitam pekat biar malam bisa begadang di depan laptop, mngedit foto cewek-cewek yang tak kami kenal tapi kami dapatkan lewat jejaringan Twitter.
    "Mereka ini masih kuliah, kalian tahu ini?" Remuel tiba-tiba bicara, seperti baru selesai trans dan menemukan bahwa Tuhan yang kita percayai selama ini hanyalah tukang kebun tua yang bersembunyi di belakang matahari dan awan. Sepasang insan kasmaran itu bertolak latarbelakangnya. Si cewek adalah anak rumahan yang sering dikonfirmasikan keberadaannya jika sedang di luar rumah, dan oleh karena itu berpikir bahwa semua orang di rumah dan orang-orang yang ingin tahu dimana kita berada adalah sekumpulan orang yang Care and Jempoulan. Si cowok adalah kebanyakan laki-laki yang bebas. Yang tak bisa dibedakan dari kedua orang ini adalah, "kearoganan mereka pada orang-orang di sekitar mereka". dari mulut besar keduanya, Remuel memberitahukan kepada kami kalau si Bunda "kejar-kejar" si AA sampai ke tempat yang jauh. Si Bunda perhatian akhir-akhir ini. Sedangkan si AA merasa ada yang memperhatikannya dan memilih si Bunda.
    "Dasarnya bukan cinta," kata Remuel takjub, "tapi perhatian yang lebih dari kerja keras untuk menunjukkan: INI LHO AKU, LEBIH HEIBAT DARI PADA YANG LAINNYA KAN?"
    Anak-anak SMA turun. Setan! Bunda dan AA turun di jalan masuk ke senuah SMA yang menurut Remuel standart banget sampai kami membantahnya, "Memangnya kau menteri pendidikan?"
    "Aku tahu sekolah itu. Bertahun-tahun yang lalu aku pernah tinggal tepat di depan sekolah itu. Aku dan teman-teman sering memandang bobroknya sekolah itu dari jendela kamar kami di lantai dua. Daerah yang kami tahu berisi orang-orang kelas menengah ke bawah. selalu kebanjiran. Sarang pemakai dan pengedar narkoba. Kebanyak anak-anak sekolahan yang tinggal di situ mesum. Angka kehamilan di bawah umur 18 tahun meningkat tiap tahunnya. Daerah yang bagi kami jalannya sangat hancur, apalagi penghidupannya?"
    Dan orang-orang yang bermesraan dalam angkutan umum itu turun di situ, masuk ke gang sempitnya. Remuel sekonyong-konyongnya terpingkal-pingkal.
    "Dasar sombong. Kamuflase. Sok hebat. Padahal tai kuciang."

    XI. Musim Semi Yang Ganjil

  • Selasa, 20 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Ordys Rexare memulai kehidupannya di pagi hari hingga terlelap malam hari seperti biasanya. Orang-orang tidak memperhatikan perubahan Talles, si tukang cerita alias tukang bual dan peramal. Bardez dan keluarganya sibuk memupuki tanaman sayuran dan buah-buahan di kebun mereka yang lumayan luas. Dan para pedagang sudah tak sabar lagi melanjutkan perjalanan rutin mereka berkeliling tanah timur Ellezmaior dengan kantong berisi berita baru dan lama, juga kisah-kisah buatan sendiri untuk membumbui kisah-kisah menarik di seputar perjalanan mereka. Sebagian benar, sedangkan sebagian lagi tinggal kebohongan hanya sekadar untuk menarik pengunjung dan para pembeli yang cukup bodoh menghabiskan koin-koin perak di tenda dagangan mereka. Desa-desa dan kota-kota kecil di sekitar kompleks Rumah Batu Sallugrun rupanya tidak begitu saja merasa lega. Mereka yang menjadi Chief di desa-desa dan kota-kota kecil tersebut membacasesuatu yang lain. Yang mengerikan. Telah datang. Dan akan berdiam di tanah itu.
    Sementara pada subuh dimana malam sebelumnya, Sallugrun Makelais memanggil sanak kerabatnya berkumpul, laki-laki bijak dan cinta damai itu mati. Leher dan perutnya membiru. Lidahnya berubah warna keunguan dan mengeluarkan bau gelembung nanah pecah. Para tabib yakin itu racun. Semua yang tahu yakin orang dalam istana sendiri yang telah meracuni Sallugrun yang mulia. dengan Anarzinif Brag; tumbuhan beracun yang hanya hidup di Lembah Belerang di seberang lautan. Tempat yang diyakini sebagai arah datangnya klan Elf dan tempat tinggal Domak.
    "Tapi siapa yang bisa membawanya kemari?" tanya Efon pada seorang pelayan kepercayaan sallugrun. Orang yang ditanya berpikir sebentar, dia menggaruk-garuk kulit kepalanya.
    "Kau mempersoalkan bagaimana racun itu bisa dibawa kemari. Tapi tentu saja tak ada kehidupan di lembah itu. Para Elf sudah berpuluh-puluh abad yang lalu meninggalkan tanah Ellesmaior, sepanjang pengetahuan kita. Tapi...tentu saja...walaupun mereka memiliki sihir dan bisa tetap berhubungan dengan tempat itu, aku sangsi mereka akan melakukan tindakan sehina itu. Berpikir tentang racun itu saja membuat mereka berdosa seumur hidup."
    "Jadi...ada klan lain. Klan yang telah hilang. Klan yang tak diketahui. Klan yang terlewatkan dalam legenda, kisah-kisah, dan sejulah luteratur kita. Bagaimana kalau klan Domak?"
    Udara dingin menghantam tengkuk, bulu kuduk berdiri, angin itu mendesing di ujung-ujung ranting pohon di batas terluar hutan Ur-Adamah. Si pelayan bergidik dan mengintip lewat jendela bulat lantai tiga dari bahunya yang bidang. "Jangan sebut nama itu lagi. Nama itu sudah tak disebut dan tak ditulis kira-kira setengah millenium terakhir. Si keramat ini tidak mempunyai klan, tentu saja. Dia makhluk yang jauh berbeda dari para Elf atau Noiturall Deute. Kalau dia punya klan--aku berharap dan berdoa semoga tidak--habis sudah kita. Dan kalau kau berpikir soal satu dari mkhluk itu telah datang kemari dan membawa racun itu, entah atas permintaan siapa...pembantaian akan segera berlangsung."
    Mereka kemudian cuma berbisik-bisik. Sambil berjalan ke arah pintu menuju tangga turun ke lantai  dua dan turun ke lantai satu. Si tabib akan turun ke ruangan para tabib di bawah tanah dan si pelayan akan pulang ke rumah para pelayan di sisi selatan Rumah Musim Dingin. Seekor burung berwarna merah menyala terbang, melesat kencang  dari arah Rumah Musim Semi menuju hutan.
    "Aku benci ada desas-desus. Aku benci gosip."
    "Begitu juga kita semua yang mencintai tanah ini."
    "Menurutku sesuatu yang tidak wajar telah terjadi dan sedang menyusun rencana. Tapi...ah, tidakkah mungkin kalau Anarzenif Brag diambil?"
    "Diambil? Yah," Efon tertegun, "bagaimana kalau seseorang bisa pergi ke Lembah dan mengambil tumbuhan iblis itu? Cuma ada beberapa kemungkinan."
    "Kau menakutiku. Aku takut dengan pikiranku sendiri, Efon."
    "Aku juga. Tapi kita yang tahu soal racun ini dan kejadian di dalam kompleks ini mesti memperhitungkan semua kemungkinan yang telah dan tengah terjadi. Anggap saja seseorang atau beberapa orang punya akses ke Lembah dan dengan cara tertentu dapat mengambil Brag untuk dibawa masuk diam-diam ke Ordyz. Jadi lima puluh persen tidak ada klan Domak...betul kan? Jika tidak, mereka tidak akan pulang hidup-hidup."
    "Atau orang-orang ini mempunya hudungan baik dengan siapa yang tinggal di Lembah."
    "Demi Elloc, kita dalam masalah kematian, yang lebih parah dari pada kelaparan pangan."

    X. Sallugrun Manelais

  • Minggu, 11 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Desas-desus, isu, gosip, dan apapun namanya itu, kini makin santer diperbincangkan dalam rumah-rumah penduduk Ordys Rexare. Pedagang-pedagang yang mondar-mandir dari satu kota ke desa yang lain, membawa kabar keresahan di kota ke desa yang sebelumnya di kunjungi.
    "Bahkan penduduk di Docen pun merasa ada yang tidak beres dengan Kerajaan kita. Telah terjadi sesuatu di balik tembok batu itu."
    "Jadi, menurut kalian akan terjadi sesuatu?"
    "Kita berharap tidak. Perdagangan sedang bagus dan hasil alam berlipat ganda."
    Seorang laki-laki bertubuh gempal dengan muka bopeng menyeruak kerumuman dan membentak seorang pedagang kurus yang tiba-tiba pucat. " Sudah cukup kalian menakut-nakuti kami. Kami hidup damai di desa kecil ini. Menurutku, kalian urus saja dagangan kalian dan pergi secepatnya. Selalu ada tragedi mengikuti kereta-kereta kuda kalian."
    Dari tempat yang tak jauh dari situ, Anastasya memandang kerumunan yang pelan-pelan bubar. kakak laki-lakinya, Bardez, telah menegur mereka, meluapkan kemarahannya yang masih tersimpan sejak hilangnya iparnya di hutan Ur-Adamah. Si kakak berbalik, melihat adiknya, menunduk, mungkin malu, mungkin haru, dan berlalu, menuju kerumunan di depan tenda penjual peralatan berladang. Di situ didapatinya beberapa anak muda asyik memperbincangkan situasi kerajaan yang agak aneh seminggu terakhir ini dan yang paling membuat kesal, mereka percaya begitu saja pada bualan para pedagang.
    "Katanya penduduk Baleium menarik tentara mereka dari Rumah Batu."
    "Berkof juga mengatakan kalau menurut penunjauannya selama di Ambalatt, mereka yakin ada yang sama sekali tidak beres dengan kepemimpinan Sallugrun dan menurut desas-desus, Chief Ambalatt mengumpulkan orang-orang mudanya untuk berlatih pedang dan memanah."
    "Seorang laki-laki yang umurnya mungkin tidak lebih dari anak bungsu Bardez menimpali dengan gaya sok dewasa. "Tentu saja ada kaitan dengan perebutan kekuasaan. Ayah mengatakan, markion si Pembangkang pernah berhubungan baik dengan orang-orang di sekitar Illyrium dan desa kecil di dekat situ, Helles. dan ada sejumlah orang yang melihat salah satu dari para Sallugrun menemuinya. Ibuku mungkin tahu lebih banyak tentang Markion ini."
    "Ah, itu mungkin cuma dongeng," si laki-laki berambut panjang ikal memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya, "tapi kita juga harus mempersiapkan diri jika terjadi apa-apa. tapi Chief Humrikessia kok tenang-tenang saja? Apa dia--"
    "Tutup mulut besarmu, bocah. Di sini orang berbelanja dan mendiskusikan alat berat dan perkebunan. kalau kau dan teman-temanmu tidak tertarik, lebih baik kalian pergi ke Chardine dan bergosip ria bersama para wanita di sana."
    Kerumunan itu berpencar. Tak menoleh lagi waktu berjalan pergi. Bardez menoleh, sekedar meyakinkan diri bahwa adiknya tidak di belakangnya, sedang memandanginya dengan mata sayu. Wanita janda itu tak ada di sana. Bardez lalu memperhatikan kedua orang penjual alat-alat pertanian dan melangkah ke salah satu kotak besi.
    "Hei, kau, Bardez, teman terbaikku. Bagaimana kabarmu? Akhir-akhir ini kudengar tidak ada masalah srius dengan pertanianmu? Oh, maksudku, ladangmu tentu lebih hebat dari semua ladang di desa-desa sekitar sini. Dan apakah yang bisa kuberikan padamu, kawan?"
    "Fork dan satu set mata bajak. Persiapan kalau kau mengalami masalah di perjalanan."
    "Oh, kau keras sekali. Apa yang sedang berlangsung sebanrnya ini?"
    "jangan pura-pura dungu.Teman-temanmu merecoki para pemuda di sini dengan kengerian, katanya perang segera datang. Mungkin lebih baik kau mulai menjual mata pedang ganti mata bajak?"
    "jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, kawan. Kami mengalami banyak hal dalam perjalanan hingga selamat sampai ke sini. Hutan-hutan di Ellezmaior tidak mudah dijadikan teman. sedikit keberanian dan doa."
    "Karena uang jauh lebih penting daripada nyawa."
    "Dan sementara kau enak-anak memandangi istri dan anak-anakmu, kami bertaruh nyawa di jalanan."
    Mereka terdiam lalu, si pedagang berkata, "Ah, kita melewatkan soal omong kosong itu demi pertanian yang lebih menggairahkan. Sekarang ceritakan padaku, apakah si sulung sudah bisa menggantikan ayahnya?"
    Bardez tertawa. Dia selalu senang jika membicarakan anak-anak laki-lakinya yang berjiwa pekerja seperti dirinya. "Bahkan dia bisa jadi salah satu tukang kebun terbaik Sallugrun."
    "Dan Manelais akan memanggilnya."
    Bardez terkejut. Berpikir keras.

    IX. Sallugrun Manelais

  • A. Moses Levitt
  • Ordys rexare terdiri dari 24 klan, yang dulunya memiliki masing-masing desa kecil. Desa-desa itu sekarang, setelah melewati beberapa kepemimpinan Sallugrun, telah berubah menjadi kota-kota yang besar dan berpengaruh. Tiga di antaranya yang sering diperbincangkan adalah: Baleium, Ambalatt, dan Illyrium. Tiga kota besar ini lumayan strategis karena letaknya berjauhan dan tidak saling bermusuhan . Mesi begitu, kesombongan selalu menjadi cikal bakal perseteruan di antara para pendukungnya. Orang-orang Humrikessia mendukung Illyrium sebab banyak leluhur klan mereka, turut membangun kota di pinggir Dataran itu. dan banyak pula, jika ditanya, perempuan-perempuan Humrikessia mengaku mempunyai sepupu dari pihak ibu mereka yang adalah orang Illyrium. Tapi tidak banyak kisah soal kota yang dulu pernah menjadi kemah sementara pasukan pengacau keamanan dari Utara itu, keluar dari mulut kerut merut Talles. hari-hari ini, si tukang cerita itu bagai orang pikun. Dia berjalan kesana kemari sepanjang jalan kereta kuda dan berbisik pada ruang kosong di depannya, "Pewaris yang lemah."
    Tiga hari berlalu sejak pengumuman Sallugrun sakit keras. Spekulasi menyebar di bar-bar dan teras-teras rumah penduduk Humrikessia. Para wanita pun memperbincangkannya dengan leluasa di pinggir sungat, saat mencuci. Di antara mereka ada seorang yang paling cantik dan menjadi kembang di situ. Namanya Anastasya. Janda beranak dua. Suaminya seorang pedagang yang mati diterkam binatang buas di tengah perjalanan menuju kota pelabuhan Ambalatt; setidaknya begitu cerita para pedagang lain yang membawakan berita mengerikan itu untuk si janda yang berduka.
    "Binatang apa?" Teodos, kakak laki-laki si janda bertanya pada para pedagang yang kelihatan sangat ketakutan dan lelah. Tak ada yang tahu. "Kalian tidak benar-benar melihatnya?" Mereka hanya mendengar teriakan lalu si korban menghilang ke dalam hutan. "Kemungkinan dia masih hidup dan kalian lari ketakutan seperti bocah?" Dia berusaha memberi harapan pada adik perempuannya. Mereka berpikir, hutan Ur-Adamah yang mahaluas itu penuh kekuatan gaib dan sesuatu yang secepat itu datang dan pergi tentu tidak mudah dipukul dengan panci atau gagang pisau lipat. "Pengecut." Tapi siapa yang mau memberikan nyawanua cuma-cuma pada binatang buas itu?
    Kejadian di hari para pedagang membawa beria tragis itu telah tinggal kenangan. Hari ini genap 6 tahun kematian suaminya. Anastasya terkenang bagaimana dulu, sebelum tidur, mereka berdua merencanakan membuat sebuah rumah musim gugur di belakang rumah induk, mengunjungi sanak saudara di Illyrium dan Addres, dimana seorang sepupu yang kaya tinggal bersama kuda-kuda terbaiknya, tanpa anak dan tambun. Sekarang rencana itu punah. Anastasya kembali mendengar gosip di antara para wanita Humrikessia di sekelilingnya ini.
    "Suamiku bertaruh dengan ayahku; Sallugrun tidak benar-benar sakit keras."
    "Apa maksudmu? Kalian sekeluarga menyumpahi Zubaal?"
    "Kau benar-benar tolol. Tahumu cuma melahirkan anak untuk suamimu. Dengar, Carolina benar. Saudara laki-lakiku mengatakan bahwa sudah tiga bulan, sejak Sallugrun keluar terakhir kali dari balik tembok komplek Rumah Batu. Dia biasanya melakukan kunjungan rutin selama musim semi dan panas tapi kali ini... apakah itu tidak aneh, bagimu?"
    Seorang gadis, belum bersuami, tentu saja, menambahkan dengan takut-takut, "Aku kira tidak terlalu baik kita membicarakan ini di sini. maksudku... di sekitar sini." Mata mereka semua berputar berkeliling. Sudah menjadi kebiasaan , para Prajurit Perdamaian melakukan kontrol rutin pada musim semi, di pingir hutan, dan ujung hutan itu juga tidak jauh dari tempat mereka berkumpul.
    "Kita akan tahu kalau mereka memberi minum kuda-kudanya."
    "Dan apakah mereka semua sudah beristri?"
    Ketegangan berubah tawa geli. Khas para gadis dan wanita yang masih menyimpan hasrat untuk dimanja percintaan. Carolina yang tolol menutup gosip itu dengan, "Mereka kan penjaga kedamaian... kita tidak boleh menggoda mereka."
    "Kami tak bermaksud menggoda, Carolina Honey."
    Mereka tertawa mengejek Carolina yang dengan heran memandangi satu persatu wajah perempuan Humrikessia itu. Dia sadar bahwa seorang janda tidak tertawa. hanya tersenyum kecil. Carolina teringat pesan ibunya sebelum meninggal sewaktu melahirkan si bungsu. "Perempuan yang menggoda suami orang lain adalah iblis. begitu pula seorang istri yang tergila-gila pada laki-laki lain yang lebih muda atau tua daripada suaminya. Hubungan seperti itu akan mendatangkan musibah. Sebagian besar perang di Ellezmaior dahulu kala disebabkan olehnya. Jadlah gadis ibu yang baik dan kadang-kadang kesetiaan kita merupakan anugrah buat kita para perempuan." carolina tersenyum pada air sungai yang mengalir, menggelitik, membilas kakinya yang mungil. Aku lebih baik dari semua perempuan Humrikessia, Ibu, batinnya sambil mengenang wajah sang ibu.
    Sewaktu para perempuan Humrikessia pulang dari sungai dengan cucian mereka, sangkakala berbunyi. sambil berjalan dengan tenang, mereka memasang telinga. Angin membawa suara sang kepala rumah tangga ke teras-teras rumah penduduk desa di sekitar situ. Beritanya adalah: "Doa-doa penduduk Ordys Rexare telah didengar Elloc yang mahabesar. Terpujilah namanya. Sallugrun terkasih telah sembuh. Dan masa berdoa dinyatakan berhenti sejak saat pengumuman ini dimaklumkan."

    VIII. Ibu Klan

  • Sabtu, 10 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Ramuan obat untuk Sallugrun sudah ditelan oleh Sallugrun Makelais sendiri 10 jam yang lalu. Sekarang--waktu gerbang utama sudah diturunkan setengah jam yang lalu--semua keluarga besar Sallugrun berdiri di sekeliling ranjangnya. Si sakit baru saja memutuskan bahwa ramuan dan obat apapun tak akan menahannya untuk bergabung dengan para leluhur klan. Para perempuan menangis tanpa suara dan para lelaki bermuram durja. Lalu Sallugrun mengatakan sesuatu yang membuat sanak saudaranya tercengang. Dia menyuruh putri-putrinya membawa istrinya ke Kotte du Culz dan meminta yang lainnya tetap tinggal.
    Sang permaisuri dan para putri kesal, namun demi kecintaan mereka pada Sallugrun, keempatnya mematuhi titah. Demikianlah Sallgrun Makelais memberikan bekas mendalam untuk melindungi istri dan putri-putrinya sebelum kepergiannya. Suaranya mantap, seperti ketika dia masih sehat. "Semua pemimpin klan akan mati, tidak terkecuali aku. Kuhargai semua usaha kalian untuk mempertahankan keberadaanku di dunia fana ini. Tapi...tentu saja aku lebih menginginkan kebakaan. Dan oleh karenanya--racun dalam hatiku sudah bekerja dengan sangat baik--bersumpahlah demi Elloc dan makam ibu kalian, jagalah tanah ini seperti kita menjaga para wanita dan anak-anak kita. Tak ada yang boleh merampasnya dari kita, dengan cara apapun itu."
    Jeda yang berjalan berat membangkitkan bisik-bisik di antara mereka yang hadir. Anggota keluarga besar yang belum tahu soal racun, menjadi marah, panik, dan terkejut. Namun sebagian orang menonfirmasikan desas-desus tersebut saat itu juga. Sallugrun sendiri telah mengatakannya. Dan jika benar dia diracuni, siapakah orang yang tega meracuninya? Kenapa belum ada hukuman gantung untuk orang hina itu?
    "Tapi siapa?"
    "Tidak ada yang memberitahu."
    "Kenapa kita harus mendengarkan gosipnya dari para pelayan?"
    "Jangan sampai penduduk Ordys tahu."
    "Bagaimana bisa sehina itu?"
    "Kita sudah mendapatkan saksi dan bukti?"
    "Hukuman paling keji."
    Namun sang Sallugrun sendiri menenangkan keributan itu. "Simpanlah semua dalam hati. Ketidaktahuan adalah berkat bagi sebagian orang, dan pengetahuan adalah juga merupakan penderitaan bagi sebagian lainnya. Aku hanya meminta kalian semua bersumpah, sebelum aku berbaring di samping para leluhurku, jagalah Ordys Rexare dengan nyawa kalian.Tak ada pecah belah. Tak ada musuh dalam selimut. Tak ada iri hati dan dengki, juga dendam. Dukunglah Sallugrun yang baru agar tanah Ellezmaior dapat menjadi rumah bagi warganya."
    Seorang laki-laki, sepupu Makelais, maju ke ranjang sang Sallugrun dan membisikkan sesuatu di telinganya. Keduanya lalu saling menatap dan tersenyum. Melihat itu kemuraman dan keterkejutan berangsur-angsur hilang. Tapi tak bisa disembunyikan bahwa pertanyaan siapakah yang hina, meracuni Sallugrun yang bijaksana itu, akan menuntut jawabannya yang sebenar-benarnya.
    Terompet penanda berakhirnya waktu bagi orang-orang, siapa saja untuk berkeliaran di sekitar tembok kompleks Rumah Batu Sallugrun, terdengar nyaring. Bunyi kepak sayap burung malam dan kelelawarterdengar menjauh. Serangga-serangga memperdengarkan suaranya yang khas, saling meningkahi. Lima menit kemudian, kembali senyap. Tersenyum, Sallugrun mengedarkan pandangan ke wajah-wajah sanak saudaranya di sekeliling ranjang. Putra sulungnya, Manelais, berdiri di antara istrinya, Lidya, dan sepupu yang selalu bermain bersamanya sewaktu kecil, Kappalais. Di belakang ketiganya, membentuk bendungan melengkung, tak beraturan, para keponakan Sallugrun. Mereka semua tampak sama di matanya: rambut hitam panjang, tatapan was-was bercampur gairah yang ganjil.
    "Saat aku mengatakan ini, aku menyerahkan tanggung jawab mulia ke atas pundak Manelais. Biarkan laki-laki tua tidak banyak berguna ini tidur dengan tenang sebelum pagi tiba," gumam Sallugrun pada mereka semua. Diam. Membatu. Angin mendesir di ujung hutan. Kekhawatiran apakah detik itu juga saudara tertua akan pergi, menghantui. Namun ketika tak terjadi apa-apa, manelais maju ke depan, mencondongkan tubuhnya dan berbisik pada telinga ayahnya.
    "Aku akan panggilkan ibu dan adik-adik."
    "Kau tahu apa yang terbaik untukku."
    "Ayah--" Sebilah pisah serasa menikah ulu hati si anak. Tapi dia berusaha tersenyum.
    Sallugrun kemudian mengeraskan suaranya dan menyuruh mereka semua keluar dari kamarnya, "Sudah saatnya kalian semua beristirahat di rumah masing-masing. Aku tidak ingin menyusahkan kalian lagi mulai sekarang." Dia tersenyum, "Dan kau, Manelais, kau harusnya mulai memikirkan tentang semua urusan yang rumit di tanah ini." Dia malah tertawa, "Tapi selalu harus ada perempuan yang baik di belakang semua urusan rumah tangga."

    VII. Ibu Klan

  • Selasa, 06 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Novirya dengan enggan meninggalkan kekasihnya, mengunjungi para tabib yang sedang meramu obat untuk Sallugrun.
    "Kerjakan apa saja yang menurutmu berguna bagi rumah ini, kekasihku," kata Sallugrun dari ranjang. Wajahnya pucat tapi suaranya tenang. "Tapi jangan menghalangi kehendak Elloc. Aku tak ingin dia marah padamu."
    Tapi permaisurinya tak menjawab. Dia keluar dari kamar, menyuruh penjaga pintu bersumpah kepadanya demi Zubaal, tidak akan membiarkan orang lain selain dirinya yang masuk ke dalam kamar Sallugrun. Sebab dia begitu gentar jika suaminya dengan jiwa kepahlawanannya, menerima Manelais dan penasihat-penasihatnya masuk untuk menghabisinya. Dan merebut tahta dengan cara paling kurang ajar.
    Tabibi yang diperintahkan mengurusi ramuan obat Sallugrun adalah tabib-tabib terbaik dari seluruh penjuru negri timur. Jumlah mereka 20. Yang paling muda dan cakap bernama Efonn, putra bungsu mendiang Natan, tabib legendaris Ellezmaior. Sang permaisuri langsung bertanya pada si pemuda. "Berapa lama lagi ramuan itu selesai, anak natan?"
    "Tidak lama lagi, Ibu Klan. Dua jam tepat."
    "Tapi," seorang tabib agak tua menyela, "maafkan saya, Permaisuri. Ramuan ini belumlah sempurna. Penambahan Kelopak Ginywait--"
    "Jadi berapa lama lagi, Naum?" Permaisuri tampak kesal. Yang muda mengatakan akan selesai dalam 2 jam, yang tua mesti menambahkan Kelopak Ginywait. Mana yang benar? Dengan cemas bercampur marah, dia memperkirakan mungkin beberapa tabib telah disusupi oleh orang-orang Manelais dan penasihat-penasihatnya.
    "Tidak mudah, Ibu Klan," Efonn menjelaskan, namun ada nada menentramkan dalam suara muda itu. "Menurut ayahku Natan, Ginywait mustahil ditemukan pada musim semi. paling mudah orang kebetulan melihatnya berpendar-pendar cemerlang pada musim gugur sebab Kelopaknya tak pernah gugur meski seluruh tumbuhan menggugurkan daunnya."
    Ibu Klan merasa tidak punya harapan lagi. Kesal pada kehidupan. Benci pada keadaan di luar dirinya. Tak dapat memahami dunia yang dimasukinya. laki-laki saling membunuh demi kursi. Mereka hanya meminjam rahim dan kesusahan seorang ibu untuk melahirkan mereka dan melihat mereka menghancurkan hati sang ibu dengan cara yang paling liar. Kemudian serasa dirinya baru kembali dari pencarian yang melelahkan atas Ginywait, Ibu Klan menangkap suara sayup-sayup yang memberikan pengharapan, "...khasiat bunga Turri Lembah juga tidak kalah dibandingkan Kelopak Ginywait. Takaran pas dan," Efonn melirik jam pasir di atas meja kayu mengkilap, "satu setengah jam lagi Sallugrun yang kekasih akan berangsur-angsur sembuh."
    Andaikan kau benar, Anak Natan. Ingin sekali Novirya mempercayai kata-kata tabib muda itu. Ingin sekali dia membawa sendiri ramuan itu dan menyuapkannya ke dalam kerongkongan kekasihnya. Ingin sekali dia melarikan kekasihnya jauh-jauh dari dunia yang pikuk penuh kebusukan hati bercampur otak laki-laki.
    "Sallugrun menunggu kebaikan hati kalian, tabib-tabibnya," gumamnya pelan seperti bicara pada diri sendiri, berusaha menjaga para pembuat ramuan obat itu agar tidak tercemar oleh nafsu kekuasaan. "Kami akan ada di sana satu setengah jam ke depan."
    "Terima kasih atas pengertiannya, Ibu Klan."
    Dan Ibu Klan berjalan bagai roh. 3 orang putrinya datang menghampirinya, menggandengnya. Keempatnya berjalan dengan muram ke Kotte du Flouwa. kelebatan hijau menembus ke dalam Hutan Ur-Adamah. Sementara itu, berkilo meter dari situ, di Humrikessia, Talles keluar dari pondoknya, hendak menjenguk sepupunya Tellypa.

    VI. Ibu Klan

  • A. Moses Levitt
  • Sewaktu lamunannya buyar dan kesadarannya kembali terjaga, ditangkapnya kelebatan hijau jangkung, meluncur tembus ke dalam pilar-pilar dan tembok batu. Seharusnya itu cuma ilusi yang berbaur dengan lamunan dan kegentaran, katanya dalam hati. Dengan gegas dia berbelok ke kiri, terus lurus, kemudian belok ke kanan. Kini tubuhya yang masih langsing di masa tuanya, melambai di bawah langit-langit kayu Pahlawan, kecil, rapuh, dan menyedihkan.
    Setiap kali melewati sebuah ambang pintu, dua orang pengawal menunduk, dibalas anggukan oleh permaisuri Sallugrun. Dan akhirnya setelah ambang pintu yang terakhir, dia keluar, menuruni tangga batu, menuju udara yang segar, alam yang bebas, menuju udara yang segar, alam yang bebas. Menuju kekasih tercintanya, Sallugrun Makelais, di Kotte du Flouwa, terbaring sakit dan merasa kecewa.
    makelais menunggu. Melihat lewat jendela bulat besar, seorang kekasih melangkah ringan dengan menyembunyikan kerat beban di pundak dan dada. Apa yang harus kuperbuat agar dia mengurungkan niatnya? tanyanya dalam hati, sedih sekaligus bangga memiliki seorang pendamping sesetia itu.
    Pintu kamar terbuka.  "Kau rupanya. Kau datang kemari lagi. Kau seharusnya menghadiri pertemuan Dewan Klan, sayangku Novirya."
    "Aku tidak akan kemana-mana lagi. Tempatku di sini, di sampingmu. Semuanya akan baik-baik saja."
    "Tidak semuanya. Aku...," Makelais berhenti sejenak, menatap keluar jendela, jauh, mungkin mencoba mengukur sejauh mana tanah-tanah leluhur klan; seluas apa tanggung jawab yang telah diembannya; dan seberapa banyak hasil yang telah dipersemahkannya untuk para penduduk Ellezmaior. "...aku akan pergi dengan tenang, entah dengan atau tanpa racun itu. Aku akan menyongsongnya dengan gagah perkasa."
    Novirya terisak. Menjambak rambutnya sendiri. Membiarkan air mata mencoreng mukanya. Kemudian memperdengarkan tangisnya, ratapnya, kemarahannya, penyesalannya. "Oh, demi Pohon Kehidupan Ur-Adamah, aku lebih baik melahirkan seribu bayi perempuan--atau lebih baik mandul--dari pada harus melahirkan bayi laki-laki dan kehilangan kekasihku tercinta. Oh, makelais, aku tak bisa hidup--"
    "Sssttt...jangan menyesali kehidupan yang diberikan ke rahimmu. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Tapi aku seorang Sallugrun. Aku akan mati sebagaimana pejuang mati."
    "Begitu pula aku, kekasihku."

    V. Rumah Batu Sallugrun

  • Minggu, 04 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Kira-kira sepelemparan tombak jauhnya dari meja taruhan, seorang laki-laki sedang hilir mudik di depan sebuah kursi dari kayu Elder bersalut emas. Ruangan itu sepi. Meja pualam di sebelah kirinya kosong (biasanya makanan melimpah ruah di situ, untuk Sallugrun). Ada bunyi klik kecil di sudut dan dinding di belakang pilar-pilar tempat mengaitkan lampu minyak. dari baliknya meluncur, jubah  ungunya menggelombang di lantai marmer.
    "Tuanku, engkau menimbulkan desas-desus."
    "Kenapa? Memangnya apa yang kau harapkan selain desas-desus? Mulut pelayan-pelayan memang selalu begitu. Mereka akan berhenti sendiri kalau ada peristiwa baru muncul lagi. Kau tidak senang, Lydia?"
    Wanita cantik berambut ikal pirang itu memeluk suaminya dan berbisik, "Aku takut. Sekaligus aku bergairah."
    "Tidak perlu memikirkan hal yang tidak-tidak, perempuan bodoh. Dimana-mana putra sulungnya yang akan menggantikan sang raja memerintah negri. Biarlah laki-laki tua itu mati dalam kelemahan dan kerendahan hatinya sendiri. Tahta yang kosong itu membutuhkan Sallugrun yang lebih pantas." Dan dia tertawa di atas ubun-ubun istrinya. namun sebelum gema tawanya menghilang dari ruangan itu, pintu masuk utama terpentang. Dengan langkah mantap seorang perempuan tua berjubah biru tua tanpa hiasan, tanpa alas kaki, menuju pada Lydia dan suaminya. Dia berhenti pada jarak 20 cm dan menampar sang calon Sallugrun baru.
    "Kau bersenang-senang saat ayahmu menderita. dan entah apalagi di bailk semuanya ini." Dan dia berbalik, meluncur kembali ke tempat darimana dia datang. Sebelum ujung selendang sutranya menghilang di balik pintu, sang calon Sallugrun baru memanggil namanya, seperti memberi penjelasan, seperti meringis kesakitan, seperti anak laki-laki yang phedofilia.
    "IBU!"

    IV. Rumah Batu Sallugrun

  • A. Moses Levitt
  • Anjing-anjing hutan menyalak. Kabut dingin meninggalkan ujung tanah. Tiupan sangkakala yang ke-23 baru usai. Kemudian seorang kepala rumah tangga Rumah Batu Sallugrun sendiri, berbicara dengan suara serak: "Yang Bijak dan Terkasih, Sallugrun kita sakit keras. Seluruh pelayannya tengah mengurusi hal ini. Oleh karena itu, untuk sementara, wewenang luhur Sallugrun akan dijalankan oleh manelais. Doakan Sallugrun, wahai penduduk Ordys Rexare. dan dengan sangat bersedih, Manelais menetapkan masa berdoa selama 11 hari penuh." Sangkakala ditiup 4 kali sebagai penutup pengumuman.
    Anjing hutan menyalak. kabut dingin sepenuhnya lenyap bak tersedot ke dalam tabung tak kasatmata. Mereka kembali ke tepi hutan dan menyatu ke dalamnya. Membelai kulit kayu, mengelus ranting-ranting lembut, menggemeresekkan karpet daun kering di tanah. Sesesok hijau mengapung-apung di sela-sela batang-batang pohon, kelihatannya sedang menuju ke Kotte du Flouwa. Sosok hijau itu berhenti sebentar, seperti berpaling dan mencoba menakar berapa lama jarak tempuh dari Humrikessia ke kompleks Rumah Batu. Menilik sosok hijau yang tak dikenal ii, seharusnya penduduk mulai curiga. Dan apakah para penjaga gerbang dari menara pedang tidak melihatnya? sedangkan di dalam tembok-tembok batu setinggi 3 meter itu, para pengawal, penjaga pintu, tukang ronda, pelayan, dan tentara upahan dari golongan Surlatec yang gagah perkasa, membuat taruhan, "Benarkah Sallugrun sakit atau itu cuma kedok Manelais dan parasit-parasitnya itu." Taruhan 3:1 untuk kedok Manelais.

    III. Rumah Batu Sallugrun

  • A. Moses Levitt
  • Pagi-pagi sekali, matahari belum sepenuhnya terangkat dari balik dataran dan lautan yang luas, sangkakala berbunyi 23 kali. Di sebuah rumah batu tingkat dua, Anastasya menengadahkan kepalanya ke arah jendela dapur. Ditinggalkannya sementara adonan roti bakarnya di meja dan pergi menjenguk putri sulungnya, Izinbella, yang tengah duduk di tengah ranjang kusut dan menatapnya dengan bola mata melebar dan indah itu.
    "Sudah bangun, Sayang?"
    Bukan jawaban kata yang didapat Anastasya tapi tangisan tanpa suara. Sang ibu melangkah pelan ke dalam kamar dan naik ke tengah ranjang. Dipeluknya putrinya itu dan ditekannya ke dadanya, sebab sebagai ibu Izinbella, dia nyaris nyata merasakan kedukacitaan yang diderita putrinya jika ada seorang laki-laki di Ordys Rexarex meninggal. Kenyataan itu merupakan rahasia kecil keduanya, tapi Izinbella belum mengatakan pada ibunya kalau temannya yang suka menjailinya, Jamaty, juga mungkin tahu.
    "Tidak apa-apa, Sayang. Elloc tahu apa yang terbaik untuk kita manusia."
    "Dia akan meninggal, Ibu. Dia sudah tidak punya harapan. Tidakkah mereka tahu itu, Ibu?"
    Bahwa dia yang akan meninggal bukan karena kehendak Elloc yang Maha Agung? Bahwa dalam mimpinya barusan, Izinbella melihat seorang laki-laki tinggi kurus memasukkan ramuan hijau ke dalam minuman sang Pemimpin Tanah Timur? Bahwa manusia dapat mengambil nyawa manusia demi sepiring kerakusan?

    II. Sungai+Tukang Cerita

  • Jumat, 02 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • Semua orang suka pada Talles terutama karena dia jago dan dengan senang gembira akan membagi-bagikan legenda atau kisah-kisah yang menakjubkan tentang Tanah Ellezmaior. Sallugrun setidaknya selama dia memimpin Ordys Rexare--Kerajaan Timur, tak terhitung, mengundang Talles ke Rumah Batunya untuk mendengarkan laki-laki tua berjenggot perak itu menghibur para pelayan yang bekerja padanya. Sallugrun akan menyisihkan 15 menit waktunya untuk mendengar kisah  dan lalu memohon diri untuk melanjutkan tugasnya di Kotte du Flouwa--Rumah Musim Semi. Jadi orang-orang desa tahu Talles akan sangat bersedih dan menjadi pendiam juga begitu takut jika musim semi berlalu tanpa panggilan dari hamba setia Sallugrun.
    "Tapi Jiwa Bandit telah menghancurkan Jiwa Bijak yang Kekanak-kanakan," Talles berkata begitu jika dia ditanya apa yang kau lihat di masa-masa mendatang? Talles bukan peramal terpercaya namun garis keturunannya memiliki reputasi itu. Kakeknya meramalkan kebakaran Hutan Ur-Adamah. Ayahnya mengatakan akan ada peralihan kekuasaan dari pewaris para ketua klan kepada penipu. Namun ramalan yang paling besar dan yang terus hidup dalam diri Talles dn penduduk desa (yang pada saat tukang cerita itu berbicara pada sungai, ada di dekat situ) adalah Kelahiran Putra Kembar yang akan meletakkan semuanya pada tempatnya. Dan keduanya akan berakhir seperti para pendahulunya, bahkan lebih dari itu. Apakah itu bualan? Tak ada yang pernah tahu sampai hal itu terjadi.

    I. Legenda+Tanah Ellezmaior

  • Kamis, 01 Oktober 2009
  • A. Moses Levitt
  • Label
  • Talles duduk, seperti biasanya jika dia sedang merasa kesepian, di pinggir sunga kecil berair bening yang oleh penduduk desa Humrikessia disebut dengan nama Witwayih. Dalam bahasa kuno pegunungan, Witwayih mempunyai dua arti: Air dari mulut madu dan Air yang mengalir ke jurang. Sebenarnya penamaan itu tidak terlalu mengherankan sebab anak-anak seperti Dorruk dan sepupunya yang setia dan pemberani, Jamaty, biasa mengeruk madu dari cekungan yang rumit di Bukit Illh darimana sumber air itu terpancar.
    Kesepian tak pernah cukup kuat mengikat lidah Talles si Tukang Bual untuk bercerita tentang ramalan yang cuma dirinya dan Tellypa, dengar. "Pada malam itu kosong," Talles selalu memulai bualannya begitu, "dan dari kosong timbul ketiadaan yang diyakini berisi sesuatu. Itulah Elloc, bapa dari terang dan ibu dari malam. Elloc tak pernah dilihat oleh Adruck, tapi putra Adruck yang bernama Inteck bersumpah bahwa dia melihat Elloc, meski dalam rupanya yang paling purba. Tanah ini setua Adruck, bahkan mungkin lebih tua dari padanya. Adruck menamainya Ellezmaior namun, oh Zubaal..." dan dia akan berakhir di situ untuk melanjutkan kisah itu beberapa minggu kemudian jika dia sedang gelisah.
    Related Posts with Thumbnails

    La Musica